foto : arsip grup fb atasangin |
SAYA MENYUKAI karya Haruki
Murakami. Beberapa karyanya yang sudah saya punya adalah Dengarlah Nyanyian
Angin, Norwegian Wood, dan 1Q84 jilid 1-2.
Saya sering ditanya mengapa sering menyebut nama Murakami. Dan saya kok kaget ya, ternyata sulit memaparkan alasannya. Seperti sedang jatuh cinta begitu. Kadang sulit sekali menjawab pertanyaan mengapa saya cinta dia? Maka hal paling mungkin adalah mencari-cari alasan. Dan mencari alasan tentu bukan berarti menciptakan kebohongan bukan?
Awal mula saya mengenal karya
Murakami adalah dari seorang kawan saya bernama Daisy, tahun 2012 lalu. Dia perempuan
30 tahunan yang masih lajang, aktivis literasi yang sedang ada kegiatan kampanye
membaca selama dua tahun di Bojonegoro. Dalam sebuah perjumpaan, dia
menunjukkan pada saya sebuah buku kecil berjudul Dengarlah Nyanyian Angin. Dia
bilang itu buku bagus dan murah, cuma 10rb. Saya langsung membelinya di Toga Mas.
Dari keterangan di sampul belakang novel tipis itu, Murakami ternyata adalah
kandidat peraih Nobel Sastra semenjak 2008. Dia wakil Asia, kebangsaan Jepang. Tahun ini, namanya masih muncul
sebagai kandidat kuat. Namun lagi-lagi dia tersingkir yang kali ini oleh
seorang penulis kebangsaan Perancis, Patrick Modiano.
Awalnya saya malu membaca
Murakami dan heran mengapa dia sampai masuk kandidat peraih nobel sastra.
Malunya karena saya tidak merasakan bobot apa-apa. Kalau standar bagus dan
tidaknya sebuah karya sastra itu diukur dari kebesarannya dalam mengungkap
sesuatu yang historis, maka sepertinya tidak dengan Murakami. Nyaris tidak ada
sesuatu yang sifatnya revolusioner. Hanya dialog-dialog, jalan-jalan, makan,
minum, nonton film, berjemur, begadang, mabuk, seakan-akan hidup begitu
membosankannya. Hal itu nampak dalam Dengarlah Nyanyian Angin. Lebih-lebih
Norwegian Wood. Tentang Toru Watanabe, mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang
bekerja sebagai penunggu toko piringan hitam. Dia biasa-biasa saja. Tidak
pernah punya andil besar dalam masyarakat secara luas. Dia hidup seperti
sewajarnya pemuda rumahan. Menjalin hubungan dengan beberapa perempuan, menjadi
pendengar tulen yang kadang tidak paham apa yang dibicarakan, serta punya
keberuntungan karena sering diajak bercinta. Saya sering membayangkan Murakami
itu orang yang tidak punya gairah hidup. Oh, ini tentang absurdtas. Barangkali
begitu.
Tetapi sungguh, berpikir
mengenai keunggulan atau hal luar biasa apa yang ada dalam karya Murakami, saya
kesulitan. Seorang kawan bilang Murakami itu kran bocor. Novelnya cerewet dan
tanpa teknik cerita dan struktur atau plot yang bagus. Cuma mengandalkan
celometan tokoh-tokohnya yang seringkali tentang sesuatu yang sebenarnya tidak
perlu. Murakami mungkin adalah seorang keras kepala yang tidak akan
mengindahkan soal ini itu dalam menulis. Dia menulis sesuka dia mau menulis.
Tetapi itu tak menyurutkan saya
untuk menyukai karya Murakami. Malah saya suka hal-hal yang justru nampak tidak
berguna itu. Murakami menceritakannya dengan bagus sekali yang belum tentu
penulis lain mampu. Kok mau-maunya menulis sesuatu yang nampak sepele, itu kesalutan
saya. Debu, asbak, bau sake, pakaian kotor, sehelai rambut, gerakan daun, warna
baju, terasa sekali hidup dalam kepala saya tiap kali membaca kalimat-kalimat
Murakami saat menjelaskan semua itu. Itulah yang orang Jepang kuno sebut
sebagai sibhumi, barangkali.
Hal lain yang saya sukai dari
Murakami adalah penyebutan buku-buku dalam setiap ceritanya. Dalam Dengarlah
Nyanyian Angin, saya banyak mengenal penulis-penulis lain yang diceritakan
secara santai dan jenaka, tanpa memaksakan sebuah pemahaman dan analisa.
Flaubert dengan Madam Bovarynya, saya kenal dari buku itu. Kemudian dalam
Norwegian Wood ada The Great Gatsbynya F. Scott Fitzgerald, buku yang tidak
bosan dibaca Watanabe berkali-kali. Buku itu lama tergeletak tak tersentuh di
rak saya. Karena membaca Norwegian Wood, saya tergerak membacanya.
Serta yang tidak terlewatkan
dari Murakami adalah adegan seks yang sangat vulgar. Tokoh-tokohnya juga tanpa
tedeng aling-aling dan tanpa sungkan begitu mudahnya bicara soal seks. Coba
simak ini, dialog ketika Watanabe dan Midori, salah satu tokoh perempuan dalam
Norwegian Wood, sedang nonton film yang ada ‘adegan’nya di bioskop :
“Hei,
Watanabe, kalau melihat film seperti ini apa itumu berdiri?” tanya Midori.
“Ya,
kadang-kadang,” kataku. “Soalnya film seperti ini dibut dengan maksud seperti
itu!”
“Lalu,
jika adegan seperti itu muncul, itu kepunyaan semua orang yang ada di sini pun
berdiri? 30 – 40 batang serentak berdiri? Kalau dipikir-pikir aneh juga ya?”
Yang seperti itu banyak sekali
dalam karya Murakami.
Catatan ini akan saya
lanjutkan. Saya belum selesai membaca Murakami. Sekarang sedang berusaha
menuntaskan 1Q84 jilid 1. Sudah saya mulai sejak Agustusan lalu. Saya merasakan
kelambatan yang dialami oleh tokoh-tokoh Murakami.
1 comment
Itu mukanya siapa
Posting Komentar