BENGAWAN SOLO

Oleh Mohamad Tohir

Foto : TBS, toh

MEMBACA TULISAN teman tentang bengawan solo, saya jadi ingin nyatet tentang bengawan Solo juga. Tulisan teman saya itu tentang keharusan kita untuk bangga punya sungai besar. Sungai itu aset bagi kita dan Bojonegoro untuk dibuat foto-foto, diambil yang berharga darinya, dijaga kebersihannya, direnungkan keberadaannya. Sungai itu adalah milik Bojonegoro dan harus diakui dengan sungguh-sungguh. Sungai itu bukan saja bengawan solo, tetapi bengawan Bojonegoro. Meskipun, saya tidak sepakat kalau nantinya dinamai Bengawan Bojonegoro, yang otomatis juga membuka peluang munculnya nama-nama baru di daerah-daerah yang dilintasi sungai terpanjang seJawa itu.
Maka, bengawan Solo mengingatkan saya pada Gesang. Gesang Martosurono atau siapa namanya itu. Gesang adalah seniman keroncong legendaris yang kita punya dan langka. Dia pencipta lagu Bengawan Solo yang terkenal itu. Lewat lagunya, dia berkontribusi besar mengenalkan nama bengawan solo ke mana-mana. Dia asli Solo.
Seorang seniman, baik di bidang suara, tulis, maupun rupa mempunyai sebuah proses kreatif yang terkadang unik, dalam, dan berkesan di setiap karya-karya mereka. Saya yakin Gesang juga demikian. Dia hidup di daerah hulu pinggiran sungai terpanjang seJawa itu yang sudah pasti merasakan sendiri pahit dan manisnya (hulu Bengawan Solo adalah Wonogiri, diapit pegunungan sewu). Pun ada obsesi dan motif yang mendasari lahirnya sebuah karya seni yang kadang sulit dibahasakan. Pembaca atau penikmat hanya mampu menelaah dan mengapresiasinya.
Bengawan Solo juga mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Ekspedisi Bengawan Solo. Buku ini merupakan catatan ekspedisi tim Kompas sekitar 2007 lalu. Subjudulnya mengerikan : Kehancuran Peradaban Sungai Besar. Saya membaca buku itu dari kepunyaan seorang kawan yang adalah jurnalis di Radar Bojonegoro. Melihat tahunnya, itu bertepatan dengan banjir besar yang menenggelamkan ratusan desa di pinggir sungai itu.
Buku itu disusun dari laporan jurnalistik tim ekspedisi yang melibatkan wartawan, aktivis lingkungan hidup, peneliti dan dosen. Saya pernah bertemu dengan salah satu di antara mereka yang kebetulan berkunjung ke Bojonegoro, seorang dosen Universitas Negeri Surakarta. Namanya Supriyadi. Dia koordinator ekologi pada tim ekspedisi itu.
Saat saya tanya mengenai pengalaman ekspedisinya itu, dia mengatakan kondisi sungai itu mengerikan sekarang. Mayoritas orang hanya berpikir bagaimana sungai memenuhi kebutuhan kita tanpa kepedulian dan perhatian balik. Sayang, saya tak bisa ngobrol lebih jauh karena tak punya pengalaman apa-apa. Dalam statemennya di buku tersebut, dia menulis bahwa bengawan solo “mendesak untuk diselamatkan”. (213)
Barangkali, statemen itu adalah yang jadi kesimpulan buku itu, ekspedisi itu. Membaca bukunya sendiri, kita akan merasakan kegundahan Supriyadi. Sayang sekali entah mengapa gaungnya kurang ada. Hanya segelintir orang yang punya perhatian dan kekhawatiran pada sungai kita itu. Hanya beberapa saja yang mengenal bahwa sungai ini adalah sungai yang bukan saja sebatas aliran air untuk kita keruk yang berguna di dalamnya. Ada sejarah panjang yang mengiringi aliran sungai itu. Dari keberadaan Bengawan Solo purba yang di daerah selatan yang berbelok arah menjadi seperti ini arena bencana alam jutaan tahun lalu, hingga persoalan-persoalan manusianya dari jaman ke jaman. Semua itu jarang diketahui oleh orang sehingga kesadaran untuk menjaga, merawat dan mencintainya kurang ada.
Barangkali, kekhawatiran itu perlu ditularkan dan dibentuk sedemikian rupa secara massif. Oleh siapa? Siapa saja tentunya. Terutama kita yang hidup di wilayah dekat sungai atau daerah aliran sungai (DAS).
Saya jadi teringat lagi pada Gesang. Mendengar lagu Gesang, kekhawatiran itu merambat perlahan dalam kepala saya. Seandainya ada karya-karya seni lainnya, yang lebih banyak, lebih menggugah, perubahan massal itu barangkali akan bakal membuat kita optimis.
Beberapa hari yang lalu saya nonton film berjudul POMPEII. Film itu tentang gunung di zaman Yunani kuno yang meletus besar dan memporak-porandakan salah satu daerah kekuasaan Yunani yang terkenal indah dan masyarakatnya berbudaya, Pompeii. Kota itu hilang dalam beberapa jam.

2 comments

Arshi Ardinta 20 November 2014 pukul 12.18

Pompeii, saya sempat berkenalan dengan wilayah itu dulu sekali, sewaktu saya menuntaskan tugas Bahasa Indonesia di jenjang SMP saya. Saya mengenalnya di Kompas Minggu edisi trevelling..

Cerita Desa 23 November 2014 pukul 15.28

Waah, ingatannya Mak Nyus Bu... Kota itu ditemukan lagi reruntuhannya kata berita-berita di tipi. Kompas Minggu rubrik perjalanan maksudnya barangkali...

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates