MEMBACA TULISAN teman tentang
bengawan solo, saya jadi ingin nyatet tentang bengawan Solo juga. Tulisan teman
saya itu tentang keharusan kita untuk bangga punya sungai besar. Sungai itu
aset bagi kita dan Bojonegoro untuk dibuat foto-foto, diambil yang berharga
darinya, dijaga kebersihannya, direnungkan keberadaannya. Sungai itu adalah
milik Bojonegoro dan harus diakui dengan sungguh-sungguh. Sungai itu bukan saja
bengawan solo, tetapi bengawan Bojonegoro. Meskipun, saya tidak sepakat kalau nantinya dinamai Bengawan Bojonegoro, yang otomatis juga membuka peluang munculnya nama-nama baru di daerah-daerah yang dilintasi sungai terpanjang seJawa itu.
Maka, bengawan Solo
mengingatkan saya pada Gesang. Gesang Martosurono atau siapa namanya itu.
Gesang adalah seniman keroncong legendaris yang kita punya dan langka. Dia
pencipta lagu Bengawan Solo yang terkenal itu. Lewat lagunya, dia berkontribusi
besar mengenalkan nama bengawan solo ke mana-mana. Dia asli Solo.
Seorang seniman, baik di bidang
suara, tulis, maupun rupa mempunyai sebuah proses kreatif yang terkadang unik,
dalam, dan berkesan di setiap karya-karya mereka. Saya yakin Gesang juga
demikian. Dia hidup di daerah hulu pinggiran sungai terpanjang seJawa itu yang
sudah pasti merasakan sendiri pahit dan manisnya (hulu Bengawan Solo adalah Wonogiri, diapit pegunungan sewu). Pun ada obsesi dan motif yang
mendasari lahirnya sebuah karya seni yang kadang sulit dibahasakan. Pembaca
atau penikmat hanya mampu menelaah dan mengapresiasinya.
Bengawan Solo juga mengingatkan
saya pada sebuah buku berjudul Ekspedisi Bengawan Solo. Buku ini merupakan
catatan ekspedisi tim Kompas sekitar 2007 lalu. Subjudulnya mengerikan :
Kehancuran Peradaban Sungai Besar. Saya membaca buku itu dari kepunyaan seorang
kawan yang adalah jurnalis di Radar Bojonegoro. Melihat tahunnya, itu
bertepatan dengan banjir besar yang menenggelamkan ratusan desa di pinggir
sungai itu.
Buku itu disusun dari laporan
jurnalistik tim ekspedisi yang melibatkan wartawan, aktivis lingkungan hidup,
peneliti dan dosen. Saya pernah bertemu dengan salah satu di antara mereka yang
kebetulan berkunjung ke Bojonegoro, seorang dosen Universitas Negeri Surakarta.
Namanya Supriyadi. Dia koordinator ekologi pada tim ekspedisi itu.
Saat saya tanya mengenai
pengalaman ekspedisinya itu, dia mengatakan kondisi sungai itu mengerikan
sekarang. Mayoritas orang hanya berpikir bagaimana sungai memenuhi kebutuhan
kita tanpa kepedulian dan perhatian balik. Sayang, saya tak bisa ngobrol lebih
jauh karena tak punya pengalaman apa-apa. Dalam statemennya di buku tersebut,
dia menulis bahwa bengawan solo “mendesak untuk diselamatkan”. (213)
Barangkali, statemen itu adalah
yang jadi kesimpulan buku itu, ekspedisi itu. Membaca bukunya sendiri, kita
akan merasakan kegundahan Supriyadi. Sayang sekali entah mengapa gaungnya
kurang ada. Hanya segelintir orang yang punya perhatian dan kekhawatiran pada
sungai kita itu. Hanya beberapa saja yang mengenal bahwa sungai ini adalah
sungai yang bukan saja sebatas aliran air untuk kita keruk yang berguna di
dalamnya. Ada sejarah panjang yang mengiringi aliran sungai itu. Dari
keberadaan Bengawan Solo purba yang di daerah selatan yang berbelok arah
menjadi seperti ini arena bencana alam jutaan tahun lalu, hingga
persoalan-persoalan manusianya dari jaman ke jaman. Semua itu jarang diketahui
oleh orang sehingga kesadaran untuk menjaga, merawat dan mencintainya kurang
ada.
Barangkali, kekhawatiran itu
perlu ditularkan dan dibentuk sedemikian rupa secara massif. Oleh siapa? Siapa
saja tentunya. Terutama kita yang hidup di wilayah dekat sungai atau daerah
aliran sungai (DAS).
Saya jadi teringat lagi pada
Gesang. Mendengar lagu Gesang, kekhawatiran itu merambat perlahan dalam kepala
saya. Seandainya ada karya-karya seni lainnya, yang lebih banyak, lebih
menggugah, perubahan massal itu barangkali akan bakal membuat kita optimis.
Beberapa hari yang lalu saya
nonton film berjudul POMPEII. Film itu tentang gunung di zaman Yunani kuno yang
meletus besar dan memporak-porandakan salah satu daerah kekuasaan Yunani yang
terkenal indah dan masyarakatnya berbudaya, Pompeii. Kota itu hilang dalam
beberapa jam.
2 comments
Pompeii, saya sempat berkenalan dengan wilayah itu dulu sekali, sewaktu saya menuntaskan tugas Bahasa Indonesia di jenjang SMP saya. Saya mengenalnya di Kompas Minggu edisi trevelling..
Waah, ingatannya Mak Nyus Bu... Kota itu ditemukan lagi reruntuhannya kata berita-berita di tipi. Kompas Minggu rubrik perjalanan maksudnya barangkali...
Posting Komentar