HITAM PUTIH DI MERAH HIJAU


OLEH MOHAMAD TOHIR


Pada mulanya adalah hitam putih.
HANYA ada dua warna pada sebuah kanvas lukis atau kanvas kehidupan ini, sebelum akhirnya coreng moreng beragam warna. Dua itu adalah hitam dan putih. Seperti layar kaca kita di era 80-an. Dan hitam putih itu dipertontonkan di sudut sebuah perempatan jalan kota Bojonegoro, tengah Februari lalu.
Sebuah pameran sketsa, fotografi, dan gambar dihelat kecil-kecilan di sudut perempatan itu, pada sebuah ruko berukuran tiga kali empat meteran yang juga difungsikan sebagai studio photo, UGD Photography. Sempit dan kecil memang, namun bukan lantas sepele. Di depan studio, jalan poros kota membentang, pengendara bermotor pun tumpah ruah.
Studio tersebut tepat berada pada sudut perempatan abang ijo, Jalan Untung Suropati. Orang berhenti saat lampu merah menyala, pasti akan tergoda untuk sekadar menengoknya, meski juga hanya setengah menit.
Mungkin seperti asal muasal sebuah warna, hitam dan putih, pameran itu adalah awal. Seperti Eko Peye, perupa yang sekaligus penggagas pameran, mengatakan itu adalah langkah awal untuk mengadakan pameran sungguhan.
“Kami ingin mengumpulkan para perupa Bojonegoro. Terutama yang muda-muda,” kata Eko Peye.
Tema Hitam Putih Rasa Strawbery adalah entitas sebuah semangat, bahwa hitam putih bukan hal sepele. Ia berasa. Atau paling tidak, semoga berasa, manis, nyres, mak nyus, seperti strawberry. Juga menyimpan rindu akan warna, merah buah dan hijau daun strawberry, buah cantik itu. Yang pasti, hitam putih tidak bisa dipandang sebagai hitam putih saja, sebagai satu persatu warna. Perpaduannya menciptakan kelabu dan dalam kelabu tersimpan remang-remang yang menyimpan banyak warna.
Memasuki studio, tanpa berkelok-kelok, mata kita akan langsung dihadang ratusan karya para perupa Bojonegoro. Karya-karya itu, kebanyakan dalam ukuran A4, berbingkai, meski ada yang minimalis sekali karena bingkai bukan dari kayu tapi cukup dari lak ban hitam, didisplay rapi di dinding berbalut satin gelap.
Kurang etis tentunya melontarkan kritik pada display yang terkesan kurang sret dan berjumpalitan, karena ruangan memang hanya segitu. Juga pada laiknya teknis sebuah pameran yang menyediakan katalog, kurator, atau pemandu yang siap sedia menyapa ramah dan menjelaskan ini itu tentang karya yang dipamerkan. Karena ini bukan Jogja, Bandung, atau Bali, Bung! Ada kehendak, itu sudah cukup menjadi objek apresiasi. Atau memang kitanya yang masih miskin apresiasi ya?.
Tidak ada tema yang mengikat dalam tubuh karya (tentu saja hitam putih bukan tema dalam tubuh, sehingga ia dikatakan mengikat). Namun membaca nuansanya, rata-rata karya-karya itu melontarkan kritik, baik terhadap superior, fenomena, atau pribadi.
Kincir Air Sekonang, karya Fatchoerohman Jacobs, menampilkan pemandangan miris bangkai sebuah kincir angin di sebuah pelosok desa di Kecamatan Temayang, Bojonegoro selatan. Kincir air itu, katanya, dulu pernah menjadi sebuah pembangkit listrik warga kampung Sekonang. Tidak adanya perhatian, membuat kincir itu menjadi bangkai. Padahal, di kampung halaman yang miskin pariwisata ini, sebuah kincir yang langka bisa menjadi daya tarik masyarakat. Meskipun, pada mulanya, maksudnya bukan demikian, hanya kebosanan warga sekitar pada dedetnya malam.
Acara itu berlangsung selama tiga hari. Ada pernak-pernik penghias acara, seperti diskusi rupa yang mendatangkan rupawan Hari Suraatmaja dari Unesa, hunting foto bersama Artirupa. Selain itu, seniman-seniman musik dan teater juga ambil bagian dalam memeriahkan pameran itu. OKB keroncong kontemporer, Pantomime dari Ekspressive dan TOP Mime, menampilkan kebolehan-kebolehan mereka.
Tapi, yang pasti, seni rupa kita sedang ramai diminati. Lihatlah, jika boleh dihitung sebagai penonton, sudah berapa ribu pengendara yang berhenti dan menoleh ke sudut kecil itu saat lampu merah menyala? Tapi sayang, lampu hijau setengah menit kemudian menyala. Apa artinya?



Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates