BANGKIT DARI KUBUR


Oleh Mohamad Tohir
Akhirnya aku memutuskan membaca Cantik itu Lupa, setelah beberapa kali menimbang-nimbang : 1) To Kill a Mocking Bird, setelah membaca artikel di sebuah situs bahwa ini satu-satunya novel Harper Lee. Novel ini menang Pulitzer. Maklumlah, pembaca kelas coro, masih melihat-lihat buku dari penghargaannya. Tapi keren lho, novel cuma satu, menang kompetisi lagi. Dan bukan lagi sekelas Dewan Kebudayaan Bojonegoro lho. Tapi Pulitzer, Bro! 2) Dengarlah Nyanyian Angin, karena aku merasa tidak begitu memahami karya Murakami selain kesederhanaan-kesederhanaan dan sepele-sepele yang tumpah ruah. Karya sekelas penulis yang jadi kandidat preaih Nobel Sastra tentu bukan sekadar itu. Membacanya terasa beban sekali. Aku perlu mengulik-nguliknya dengan cermat betul, dengan membaca ulang mulai dari novel pertama Murakami itu. 3) Self Transformationnya Audifax, ini tentang pengembangandiri. Tentang energi minimal, legenda pribadi, sastra jendra hayuningrat pangruwatingdiyu, dan rasa sejati yang perlu dipegang dan kembangkan. Semacam buku motivasi begitu. Tapi kemasannya menarik. Audifax bicara dengan sandaran film-film dan karya sastra. Tapi, baca buku motivasi itu rasanya gimana gitu. Lalu aku geletakkan lagi.
Akhir-akhir ini, aku rajin otak-atik Sebatas Menengok. Aku bikin biblio di rumah ini, semacam situs-situs rekomendari dari aku sendiri. Salah satunya adalah jurnalnya Eka Kurniawan. Aku mengikuti tulisan-tulisan Eka yang energik, kuat, renyah, dan sreg di hati. Catatan-catatan itu banyak membuatku mencari-cari buku-buku atau film yang sedikit banyak dikutip atau dianalisa Eka.
Nah, rasa-rasanya, aku belum pernah baca karya Eka selain cerpennya yang Cinta Tak Ada Mati. Kok merasa bersalah begitu. Terlambat begitu. Dan tiba-tiba terbersit di dada untuk membacanya. Tapi aku tak punya karya Eka. Hanya punya satu, yang terbaru itu : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Kucari-cari, eh, malah tidak ada di rak. Entah siapa yang menggondolnya. Akhrinya, aku memutuskan pinjam Sarwo Mudji, kawanku yang baik hati itu.
Aku meluncur ke rumah pelukis bertubuh gemuk itu tadi sore, menembus hujan deras tengah kota. Karena terlalu deras, aku mandeg di terminal dulu. Aku duduk-duduk di kursi tunggu sambil membuka-buka acak novel Harper Lee. Beberapa orang memperhatikanku. Seperti cewek-cewek yang menunggu bus itu. Memangnya laki-laki kusut yang sedang pegang buku itu keren apa? Matanem klawu!
Aku tiba di rumah Sarwo. Ada Maks di sana. Komikus yang beberapa kali bingung cari referensi untuk komik pesanan sebuah penerbit Surabaya itu. Kuterima Cantik itu Luka dari Sarwo. Dan sedikit kami bincang soal merawat buku-buku. Dia bisa sedih hatinya karena melihat sebuah buku coklek sampulnya. Bagi orang lain itu terlipat, dia pakai istilah coklek. Kubilang aku juga sayang pada buku-buku. Dan aku bisa marah pada siapa yang melipat halaman buku-buku. Tapi aku kerap teledor. Seringkali aku mengelus-elus buku sementara tanganku kotor sehingga buku jadi nampak hitam dan lungset. Sering juga aku bantalan pakai buku. Itu romantis sekali lho.
Cantik itu Luka, oh! Mulai kubaca sekarang. Ini buku karya Eka Kurniawan asli. Novel debutnya. Ini digadang-gadang menyerupai teknik dan gaya Gabriel Garcia Marquez, maestro dari Amerika Latin itu. Kota Halimunda adalah Macondonya Gabo di Seratus Tahun Kesunyian.
“Adegan seksnya juga vulgar,” kata Sarwo. Dia mengatakan hampir serupa dengan Fredy S. “Seperti adegan guna ingin mengetahui seorang perempuan itu masih perawan atau tidak, jari dirogohkan ke kemaluannya,” kata Sarwo. Edan!

Ya, tak apalah. Aku sudah suntuk dengan soal begituan. Dari jaman dulu hingga sekarang, sebuah kehidupan akan hampa tanpa itu. Tapi tentang seorang perempuan bernama Ayu Dewi yang bangkit dari kubur setelah mati selama sekitar duapuluh tahun. Kukutipkan kalimat pembukanya. Eka termasuk orang yang percaya pada kekuatan kalimat pembuka. Kalau perlu kalimat pembuka, atau paragraf awal, adalah inti keseluruhan novel. Ini tentang foreshadowing. Hanya penulis-penulis sakti yang mampu mengamalkannya.

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburnya setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum sempat melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua, dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi lutut, tapi semua orang mengenalnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia mati pada umur lima puluh dua tahun, hidup lagi setelah dua puluh satu tahun mati, dan kini hingga seterusnya tak ada orang yang tahu bagaimana menghitung umurnya.


Selanjutnya, apakah aku akan setia mengikuti ceritanya yang setebal 479 halaman ini, seperti Maneo yang bertahan selama 60 tahun dalam penantian akan cinta? Akhir-akhir ini aku memang merasa sedang dalam kuburan karena tidak pernah menuntaskan sebuah buku. Mungkin harus bagkit dari kubur?

Klampok, 24 November 2014
Pukul 20.03

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates