Catatan Kecil Mohamad Tohir
“Apalah yang pasti dari perasaan manusia?”
Seno Gumira Ajidarma, Jazz Parfum & Insiden
I
SAYA
mempunyai kebiasaan buruk dalam memilih buku yang saya baca. Kebiasaan buruk
itu, misalnya, kecenderungan saya untuk meniru bacaan orang lain. Bahkan orang
lain itu adalah sosok atau tokoh dalam buku-buku yang saya baca. Misalnya,
tokoh dalam sebuah buku yang saya baca sedang membaca buku ini atau itu, saya
akan tertarik untuk membacanya pula. Belakangan ini, saat saya membaca
Norwegian Wood, saya tergerak membaca The Great Gatsby (Toru Watanabe, tokoh
utama ciptaan Haruki Murakami ini, menggandrungi novel karya Fitzgerald).
Termasuk kasus ini adalah buku-buku yang menjadi referensi sebuah tulisan yang
saya baca. Demikianlah kemudian saya memilih membaca Kho Ping Hoo.
II
Pada sebuah esai di Koran Tempo dua tahun lalu, Kho
Ping Hoo (dan Tan Khoen Swie) diulas begitu apik dalam kaitannya dengan gerakan
mencerdaskan bangsa lewat buku. Di zaman itu, dengan semangat dan motivasi
berbeda dan di zaman berbeda pula, mereka berdua sadar bahwa buku haruslah
menjadi citra peradaban dan kebudayaan manusia. Apa yang mereka (untuk
selanjutnya cukup disebut satu saja, Kho Ping Hoo, guna kepentingan tulisan) lakukan
adalah sebuah ikhtiar melawan kebodohan. Namun, sebagaimana tulis Heri
Priyatmoko pada esai itu, figur Kho Ping Hoo telah tergelincir dari catatan
sejarah Nusantara. Buku babon (Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia) karya
seorang pakar sejarah Tionghoa, Leo Suryadinata, bahkan tidak mencantumkan nama
sastrawan asal Surakarta itu (Baca Kaum Tionghoa dan Penerbitan Buku, Tempo,
A11, 12 Februari 2013).
Tidak pentingkah Kho Ping Hoo? Tentu saja penting.
Beberapa pengarang besar modern kita, memiliki memori tersendiri terhadap
pengarang peranakan Tionghoa ini, yang hidup di Surakarta, satu-satunya kota
yang pernah menyandang kota literasi, ini. Abdurrahman Wahid, dia adalah
pembaca yang hebat. Pikiran dan sepak terjangnya yang unik dan lincah, sudah
barang tentu terbentuk dari asupan otaknya. Dan siapapun mengakui bahwa Gus Dur
adalah seorang pejuang Tionghoa. Dan dia mengawali persinggungannya dengan
Tionghoa adalah dari cersil-cersil Kho Ping Hoo (Greg Barton, The Authorized
Biography of Abdurrahman Wahid) saat duduk di bangku SMP di Jogja.
Eka Kurniawan, sastrawan muda yang mulai
diperbincangkan namanya di kancah sastra
dunia ini, mengaku pengagum berat Kho Ping Hoo. Secara nakal, dia menyebut
bahwa membaca karya tiga penulis ini, sudah cukup untuk ‘memasuki
rimba kesusastraan’. Ketiganya adalah Pramoedya Ananta Toer, Kho Ping Hoo dan
Abdullah Harahap. Kata Eka, “harta karun kesusastraan
Indonesia saya terletak di novel-novel picisan yang tak terlalu dianggap oleh
kritikus sastra, para akademisi, bahkan oleh para
sastrawan,”(simak;ekakurniawan.com/ tag;Abdullah Harahap).
Taruhlah
pendapat penulis Cantik Itu Luka
itu terlalu subjektif dan berlebihan. Tapi bagaimanapun, membincang
cerita silat, tidak bisa tidak, orang harus mempertimbangkan Kho Ping Hoo. Dia
jauh lebih dulu ketimbang yang datang belakangan, seperti SH. Mintardja (Api di
Bukit Menoreh), S. Tidjab (Tutur Tinular), Tito Bastian (Wiro Sableng), Motinggo
Busye (Tujuh Manusia Harimau), Arswendo Atmowiloto (Senopati Pamungkas), dan
belakangan Seno Gumira Ajidarma (Nagabumi. Cersil bersambungnya ‘Naga Jawa-Pendekar
Atap Langit’ muncul bersambung di Jawa
Pos hingga sekarang).
Ketidakpopulerannya
sebenarnya hanyalah soal posisi saja. Karyanya tidak ada yang masuk di penerbit
besar. Semuanya dicetak dengan kertas buram dan sampul HVS biasa oleh penerbit
di Surakarta. Dia berada di kutub berbeda dengan Balai Pustaka yang plat merah
yang kemunculannya sebagai corong kolonial di zaman itu. Karena itulah dia
tidak masuk kanon. Tidak ada namanya disebut dalam daftar angkatan-angkatan
itu. Bukunya bertebaran secara murah dan banyak bukan di toko buku besar dan
elit. Bukunya ada di lapak-lapak buku bekas dan kios pinggir jalan. Namun
justru itu itu yang menjadi nilai plus Kho Ping Hoo. Karyanya menjangkau rakyat
bawah lebih luas.
Tentang ini, Seno, dalam pengantar untuk cerbungnya
di harian Jawa Pos itu, menulis bahwa fenomena itu adalah sebuah mitos yang
semestinya sudah tidak lagi berlaku. Yakni bahwa karya sastra itu semestinya
tinggi. Dan pada penentuan mana yang tinggi inilah terjadi semacam pengambilan
posisi yang politis. Akhirnya akan ada yang direndahkan dan kemudian pada
akhirnya tidak dianggap sama sekali.
Namun bukan berarti mitos itu harus dibalik.
Cukuplah ditunjukkan bahwa mitos itu memang hanyalah sekadar mitos. Yang tinggi
dan yang rendah, apapun itu, adalah karya sastra. Dan karena itu, mereka adalah
teks. (Cerita Tentang Cerita Bersambung, SGA, Jawa Pos, 29/06/2014)
Untuk menakar
bobot dan kualitasnya, tidak bisa tidak, orang harus membacanya. Orang
harus mempertimbangkan karya itu sendiri. Di tempat inilah sebuah karya akan
diuji, ditakar bandingkan, diperdebatkan, sekaligus dihujat.
III
Dua nomor di atas nampak sekali terlalu
bertele-tele. Padahal, catatan ini sebenarnya hendak berbicara mengenai salah
satu judul karya Kho Ping Hoo. Yakni, Sang Megatantra. Judul ini ada dua seri.
Dan yang saya maksud di sini adalah seri pertama yang ada 22 jilid itu.
Bayangkan, 22 jilid?
Tanpa daya tahan dan nafsu lapar yang besar, membayangkannya saja ngeri.
Namun 22 jilid itu bukan dalam ukuran masing-masing jilid sebesar dan setebal
bantal. Buku-buku itu bisa masuk saku baju atau celana dengan mudah. Dan tidak
membuat bosan. Dan di sinilah sebenarnya kemampuan seorang pengarang diuji.
Yakni seberapa lihaikah dia membuat pembaca ingin terus mengikuti lanjutannya.
Dan inilah yang saya temui saat membaca jilid demi jilid.
Misalnya, di jilid pertama, ada adegan tarung di
sebuah pantai antara seorang pertapa tua bernama Empu Dewamurti dan dua
pendekar hitam, lelaki dan perempuan. Mereka menculik muda-mudi di sebuah
kampung (yang laki membopong yang permpuan muda dan sebaliknya). Empu itu
mencegah dan menghentikan lalu terjadilah pertempuran. Saat itu, muncullah,
seorang pemuda bernama Nurseta yang hendak menyerahkan ‘barang temuan’ pada
sang Empu. Sambil menunggu pertempuran, Nurseta membangunkan muda-mudi yang
ternyata adalah kenalannya. Disuruhnya mereka kabur. Saat kedua pendekar hitam
tadi sadar buruannya lari dan sudah merasa kalah dengan sang Empu, mereka
menyerah dan kabur. Mereka mangejar barang buruan mereka. Pengejaran berhasil.
Tapi karena berkabut, buruan mereka tertukar. Sementara di muka ada sebuah
narasi bahwa maksud mereka menculik muda-mudi itu adalah untuk menuruti nafsu
birahi. “Maka, apa artinya?” tanya saya. Di sinilah jilid 1 berakhir.
Di sisi lain, seperti lumrahnya sebuah novel yang
mana di permulaan dihamparkan peta tokoh-tokoh dan karakternya, maka begitu
juga dengan ini. Empu Dewamurti itu siapa dan dua pendekar hitam itu siapa dan
mewakili apa mereka semua, dijelaskan dengan jelas oleh narator. Juga Nurseta
dan dua muda-mudi tadi. Narasinya jelas, tapi tidak detail. Karena detailnya
ada di belakang, sedikit demi sedikit. Juga narasi mengenai Kahuripan, Mataram,
hak keris megatantra, Raja Erlangga, Mpu Kanwa, disebutkan sekilas dengan
sengaja melontarkan penasaran. Dan bagi saya, Kho Ping Hoo berhasil. Ini
disebut suspense. Membuat sunpense, tidak ada teorinya, kata para pakar
penulisan. Hanya satu yang perlu dicamkan dalam tempurung kepala penulis, sapa
dan sayangilah calon pembacanya (AS. Laksana, Jawa Pos 03/05/2013, Perihal
Cerita-Cerita Buruk). Yakni dengan bagaimana membuat pembaca selalu kangen
dengan penulis.
IV
Membaca Kho Ping Hoo adalah juga membaca petuah dan
pesan moral yang dipaparkan secara vulgar. Pesan-pesan itu bisa muncul dari
siapa saja dan itu banyak sekali. Karena barangkali tergolong pembaca yang
malas mendengar nasehat (karena ini pulalah saya selalu mengantuk saat khotbah
jum’at), saya menjadi tidak nyaman dengan kenyataan ini.
Meski demikian, beberapa pembaca begitu menikmati
ini dan bahkan percaya bahwa tulisan atau karya yang baik itu diukur dari
seberapa bagus dan banyak petuah di dalamnya. Karena itu, saya harus kutipkan.
Tapi beberapa beberapa saja :
“Eyang,
apakah gunanya sebatang keris diperebutkan sampai mengadu nyawa?... Ketika saya
membaca kitab Weda, ayah saya menerangkan bahwa setiap alat apapun tidak
mempunyai sifat baik atau buruk. Kata ayah, baik dan buruknya sesuatu alat,
tergentung sepenuhnya pada cara kita yang mempergunakan alat itu. Contohnya
arit ini, eyang.... “ Saya sudahi sampai kalimat itu saja, karena panjang
sekali. Itu adalah dialog antara Nurseta dan Empu Dewamurti.
Sang Empu itupun membalas begini : “.... Ayahmu
benar. Memang baik dan buruk itu tidak ada, baik dan buruk baru muncul setelah
ada pandangan dan perbuatan. Agar mudah kau ingat, segala yang sifatnya
membangun, menjaga keindahan, mendatangkan manfaat bagi orang-orang lain adalah
baik dan segala sesuatu yang sifatnya merusak, menyebabkan keburukan,
mendatangkan manfaat hanya kepada diri sendiri, adalah buruk atau jahat.
Mengapa aku mencegah keris ini terjatuh ke tangan mereka? ....” begitu. Tentu
masih panjang, sebenarnya (jilid 1, h.15).
Adakalanya ditururkan oleh narator langsung, bukan
lewat dialog tokoh. Seperti adegan saat Patih Narotama hendak meminang Lasmini
dan Mantili (putri kerajaan Ratu Siluman). Saya kutipkan lagi : “Pada
keesokan harinya, Narotama mendaki Junggringslaka. Seperti biasa, orang muda
ini selalu dalam keadaan waspada. Sikap eling lan waspada (sadar dan waspada)
ini merupakan sikap yang tidak pernah meninggalkan dirinya lahir batin setiap
saat. Sadar akan keberadaan dirinya, sadar akan kekuasaan Maha Tinggi yang
menguasai dan mengatur segala sesuatu yang tampak dan tidak tampak, termasuk
diri pribadinya lahir batin, sadar dan ingat selalu bahwa dirinya merupakan
ciptaan dan alat Sang Hyang Widhi Wasa (Gusti Allah), bahwa kekuasaan maha
tinggi itu merupakan awal akhir, merupakan sangkan paraning dumadi (awal dan
akhir semua keberadaan). Di samping kesadaran rohani ini, juga selalu ada
kewaspadaan dalam dirinya melalui pancaindranya, pengamatan yang selalu baru
akan segala yang berada di dalam dan di luar dirinya. Dengan demikian, maka
segala gerak hati akal pikiran dan kelakuan dibimbing oleh Sang Dewa Ruci (Roh
Suci) sehingga yang berada dalam hati sanubari hanyalah upaya untuk “memayu
hayuning bawana” (menjaga keindahan alam). Dalam bimbingan Sang Dewa Ruci, si
aku, yang bukan lain hanya nafsu-nafsu.... “
Di penghujung cerita, petuah itu tumpah ruah.
Seperti pesan Patih Narotama pada Nurseta tentang pemberontakan Pangeran
Hendratama (saudara ipar Erlangga) dan bahayanya mengejar cita-cita.
“... Bukankah seorang manusia, apalagi sewaktu muda,
harus mempunyai cita-cita yang baik agar mencapai kemakmuran dan kebahagiaan
hidup? .... Cita-cita merupakan pendorong manusia untuk maju... ” Nurseta
mengejar.
Patih Narotama memberikan komentar bahwa ucapan
seperti itu hanya dilakukan orang yang menganggap bahwa yang terpenting dalam
hidup ini adalah mencari kemajuan yang berarti kekayaan dan kedudukan...
Cita-cita itu baru dapat dinilai bersih kalau ditujukan untuk kepentingan orang
banyak dalam hal ini rakyat jelata yang hidupnya merana.
“Bagaimana kalau ada yang bercita-cita menjadi orang
yang baik?” Nuseta masih mengejar.
V
Adalah keniscayaan, bahwa membaca Kho Ping Hoo, atau
cerita silat, adalah juga membaca sejarah Nusantara. Bukan hanya Kho Ping Hoo
saja tentu, penulis cersil lain juga. Seno, bahkan, untuk menulis cersil
bersambungnya di Jawa Pos, dia rela bolak-balik Tiongkok-Jakarta demi akurasi
data. Di judul ini, Sang Megatantra, fakta sejarah Kerajaan Kahuripan menjadi
latar peristiwa di sepanjang cerita. Dikisahkan bahwa terjadi pemberontakan
kepada Kahuripan yang rajanya adalah Erlangga oleh saudaranya sendiri, Pangeran
Hendratama. Disebutkan juga, di masa inilah kakawin Arjunawiwaha ditulis oleh
Mpu Kanwa. Kitab ini berisi kisah perkawinan Arjuna putra Pandu yang ditulis
Mpu Kanwa untuk membakar semangat pejuang dan raja.
Latar peristiwa itu diterangkan jelas oleh narator
secara singkat pada halaman 29-32 di jilid 2. “Dalam pergolakan yang
ditimbulkan akibat permusuhan Sang Prabu Erlangga dengan Kerajaan Wengker,
Kerajaan Wurawari, dan Kerajaan Ratu Durgamala atau yang lebih dikenal dengan
Kerajaan Parang Siluman itulah cerita ini terjadi.”
Dikisahkan bahwa raja Erlangga adalah raja yang adil
bijaksana, tidak sewenang-wenang, tidak memikirkan kepentingan dan kesenangan
diri sendiri. “Raja Erlangga tidaklah demikian, dia seorang raja bijaksana
yang memperhatikan kepentingan dan kemakmuran rakyat jelata... Bukan hanya
kemakmuran rakyat yang dia perhatikan. Raja Erlangga juga memperhatikan
kemajuan kebudayaan. Dia mendukung majunya kesusastraan dan kesenian. Dalam
jamannyalah karya sastra yang indah, yaitu kakawin ‘Arjuna Wiwaha’ ditulis...”
Sebagai pembaca yang miskin kaca mata, saya selalu
beresiko ketika menghadapi sebuah karya fiksi. Semacam ada pertanyaan seperti
ini, “ini kisah nyata apa nggak ya?” “Si cantik dalam novel ini apanya si
penulis ya?” Maka, kaitannya dengan karya cersil Kho Ping Hoo, pertanyaan itu
juga muncul. Apakah kebenaran yang dibeber dalam karya itu akurat? Misalnya
dalam hal ini adalah tentang dialog-dialog Raja Erlangga dengan Narotama.
Apakah dialog mereka benar adanya sebagaimana yang terjadi sebenarnya? Atau
misal lain, fakta bahwa Raja Erlangga mempersunting dua putri kerajaan Ratu
Siluman itu benar adanya? Ataukah hanya sebatas bumbu cerita saja? Di sinilah
barangkali kesaktian dan harga diri pengarang dipertaruhkan....
Tapi, bagaimanapun itu, dari pembacaan pada cerita
silat ini, ada beberapa catatan yang secara serampangan saya coba buat
berkenaan dengan fakta sejarah itu. Pertama, fakta sejarah merupakan ladang
subur bagi penulis cerita silat. Di sini nampaknya menemukan fungsinya sebagai
penguat cerita fiksi yang dibuatnya. Keris sang megatantra yang notabene hanya
fiktif, menjadi nampak benar-benar anda karena dibalut dengan bentangan fakta
sejarah. Begitu juga tokoh-tokoh fiksi yang ada dalam cerita itu sendiri.
Kedua, nampaknya, seperti halnya penulis cerita
silat lainnya, Kho Ping Hoo seperti hendak mengatakan bahwa peristiwa sejarah
tidak melulu berpusat di kalangan istana saja. Karena itulah dia membangun
tokoh-tokoh utamanya yang dalam novel ini, seorang pemuda biasa yang bekerja
sebagai buruh tani di desa.
Ketiga, saya memahami bahwa penulisan fakta sejarah
di dalam sebuah karya fiksi, dalam karya Kho Ping Hoo ini, adalah upaya untuk
membuat semacam perspektif sejarah. Bukan sejarah itu sendiri. Karenanya, bila
sebagai pembaca saya berkutat pada pertanyaan akurasi sejarah di dalamnya,
nampaknya tidak menemukan relevansinya. Bila akurasi fakta sejarah saya kejar,
maka yang saya incar harusnya adalah apa yang menjadi asupan atau referensi Kho
Ping Hoo.
Bagaimanapun itu, membaca Kho Ping Hoo itu nikmat.
Nikmat yang sulit untuk dijelaskan. Inilah komentar paling sempit dari sebuah
pembacaan. Subjektif sekali dan barangkali itulah makam atau kadar pembacaan
saya. Begitu...
Tabik
Mohamad Tohir
Tukang Sapu di Rumah Baca!
Sindikat Baca.
Catatan ini dibuat sebagai
pegangan dalam Forum Bulanan Arisan Buku Sindikat Baca.