|
blognyadodoth.blogspot.com |
Mohamad Tohir
SORE ITU HUJAN RINTIK-RINTIK saat aku berada di stasiun.
Setengah jam lewat aku duduk di kursi tunggu dan mungkin kereta akan telat
tiba. Suara tetes hujan yang jatuh di atap seng menimbulkan suara yang bising
sekali. Sesekali para calon penumpang mengucapkan kata-kata keluhan bahkan
umpatan dengan mimik muka kesal.
Aku duduk di kursi memandangi suasana riuh itu. Kupejamkan
mataku menikmati suara hujan yang perlahan-lahan semakin nikmat di telinga dan
merasuk di dada dan sekujur tubuhku. Aku seperti mengalami trance dalam
irama-irama hujan. Seorang badui Persia beberapa abad yang lalu mendapatkan inspirasi
dari suara tetes-tetes hujan hingga pada akhirnya ia menciptakan bahar-bahar
dan syair yang indah mempesona. Bahar-bahar yang kemudian menjadi sebuah
cawan-cawan ilmu pengetahuan yang diwariskan hingga berabad-abad lamanya.
Suara klakson membuatku membuka mata. Kereta tiba. Penumpang
berjubel masuk tertib sekali. Tak terlihat olehku mereka berdesak-desakan
dengan muka kesal. Padahal sedari tadi mereka nampak kecewa dengan
keterlambatan itu.
Aku tak tahu betul apakah itu keretanya. Sepertinya itu kereta
baru. Jurusan mana? Aku bertanya-tanya sendiri. Suara mesinnyapun tak begitu
familiar di telingaku. Lembut dan pelan sekali, seperti suara mesin mobil baru.
Apakah bukan kereta? Ah, lagipula apa peduliku. Aku sendiri tak yakin naik
kereta hendak kemana. Aku juga sudah lupa mengapa kakiku bisa sampai di stasiun
dan duduk di kursi tunggu itu. Aku hanya ingin naik kereta saja. Kemanapun
kereta pergi aku tak peduli.
Akhirnya aku masuk juga. Mesinnya mulai hidup dan berjalan
pelan. Sejenak kurasakan sekelilingku yang berjalan menjauh dariku dan kereta,
bukan keretanya yang berjalan. Kereta berjalan semakin cepat dan meninggalkan
stasiun menjadi sebuah titik hitam.
Orang-orang dalam gerbong diam saja. Sama sekali aku tak
menyapa mereka atau mereka menyapaku. Tak kutemui juga ibu-ibu penjual nasi
pecel dengan kulup daun turi seperti biasanya. Rasanya sepi sekali.
Tiba di sebuah stasiun, memasuki lorong gelap. Pandanga
mataku tak menemui ada plang penunjuk stasiun mana. Kereta melambat
perlahan-lahan hingga akhirnya berhenti..
Orang terlalu padat di situ. Sama seperti di stasiun
pemberangkatanku tadi, di sini juga nampak wajah-wajah gelisah karena kereta
terlambat. Beberapa orang turun dari kereta membawa ransel-ransel besar, tas
kresek, dan keranjang-keranjang dari bambu atu entah apa.
Di sebuah sudut nampak ibu-ibu bermuka murung sedang
menggendong atau menggandeng anak kecil. Sepasang orang separuh baya
berangkulan dan sesekali berciuman. Entah mereka suami istri atau bukan aku tak
tahu. Ach, apa hubungannya ciuman dengan suami istri? Bantahku tak terucap.
Beberapa orang duduk di kursi tunggu. Wajahnya aneh-aneh.
Seperti bukan orang sebangsaku. Ada yang berkulit kemerah-merahan dengan rambut
pirang yang nyaris putih tapi kumisnya hitam. Ada yang berbadan besar sekali
namun sama sekali bukan gendut di antara sekeliling yang tingginya hanya
sesikut. Entah dia yang besar atau sekelilinya yang kterlalu kecil aku tak
tahu. Dari balik kaca kereta aku melihat itu.
Lebih dekat lagi, tepat beberapa meter di bawah atau di
depanku, di balik kaca tentunya, duduk seorang perempuan berambut hitam dan
panjang. Kuperhatikan perempuan itu betul-betul karena dia yang nampak paling
terang di sekitarnya. Mengapa sendirian? Menunggu kekasihnyakah? Atau suaminya?
Atau sedang bertengkar? Atau tidak menunggu siapa-siapa? Darimana aku tahu dia
punya kekasih atau bersuami? Bisajadi dia sepertiku juga yang hanya ingin
naik-naik kereta saja tanpa tujuan kemana. Tentu bukan aku saja yang begitu
kan? Bisa jadi dan mungkin saja.
Aku jadi teringat saat di peron pada stasiun pemberangkatan
tadi ketika petugas menanyaiku hendak kemana. Kujawab aku tak tahu. Kukira ia
akan marah, atau menyangkaku main-main, mengabaikanku, atau bahkan
mengumpatiku. Tapi tidak. Dia tetap memberiku karcis dan menerima uangku yang
kuberikan ala kadarnya. Kulihat karcisku, tertera tulisan tujuan tidak tahu.
Aku tersenyum heran. Kenapa ada yang seperti itu? Kalau memang ada, tentu saja
itu disediakan bukan untukku saja.
Kuperhatikan lagi perempuan itu. Perempuan yang lembut.
Kulitnya putih bersih meski hanya terlihat muka dan tangannya saja yang sedang
memegang buku. Buku yang dipegangnya itu nampak seperti buku kuno yang kusam
dan kusut, berwarna kuning kecokelatan. Segera muncul beberapa judul novel
dalam kepalaku.
Aku juga jadi teringat dengan Maut dan Cintanya Mochtar
Lubis yang habis kubaca beberapa bulan yang lalu. Apakah perempuan selembut itu
juga tertarik dengan kisah-kisah peperangan dan semangat-semangat revolusi yang
diulas dalam novel itu? Ataukah ia hanya tertarik dengan kisah-kisah cintanya
yang selalu saja bermula atau berakhir di ranjang?
Oh, tidak…buku itu! Kuusap-usap mataku. Aku heran. Aku belum
percaya dengan yang kulihat. Halaman-halaman buku yang dibolak-bailk perempuan
itu sama sekali tak nampak tulisannya. Halaman-halaman itu kosong melompong.
Sekali lagi kuusap-usap mataku. Aku benar-benar tak salah lihat.
Aku turun dan mendekati perempuan itu. Dari dekat aku bisa
melihat wajahnya. Juga buku yang dipegang atau dibacanya itu. Dan semakin yakin
olehku bahwa halaman-halaman itu benar-benar kosong.
Perempuan bermata sipit. Seperti orang Cina, atau Jepang,
Korea, atau entah mana. Hidungnya kecil namun tak bisa disebut pesek. Bibirnya
juga kecil dan merah mentah-agak kering. Sesekali ia tersenyum-senyum sendiri
seperti begitu larut menikmati apa yang ia baca. Aku ingin menyapanya namun
masih berfikir akan pakai bahasa apa kalau benar-benar ia bukan orang
sebangsaku. Aku tak bisa bahasa Cina, Jepang, atau Korea. Inggriskupun buruk
sekali.
Ketika aku ingin buka suara tiba-tiba aku tersentak kaget.
Oh tidak! Aku hanya komat-kamit. Tak ada bunyi, tak ada suara yang keluar. Aku
tak bisa bicara? Mengapa jadi begini? Ya, aku tak bisa bicara. Memang benar
bicara, tapi tak bersuara..!!! Tak ada suara yang keluar dari rongga mulutku.
Kupukul-pukul telingaku. Sama saja. Aku tetap yakin yang tak beres adalah
suaraku. Suaraku hilang.
Aku geram dan jengkel sekali. Aku juga masih belum bisa
percaya dan menerima keanehan ini. Kubuka mulutku lebar-lebar. Kugerakkan lidahku
ke atas dan ke bawah lalu ke kanan dan kiri. Kucoba berteriak
sekencang-kencangnya hingga mataku berair. Tetapi tetap saja tak ada suara yang
keluar samasekali. Aku ingin bertanya pada perempuan itu apakah ia mendengar
suaraku tapi aku keburu yakin memang benar tak ada suara yang kukeluarkan.
Kucoba lagi berteriak sebisa-bisaku. Kuucapkan kata-kata kotor
sebanyak-banyaknya, nama-nama binatang, nama-nama alat kelamin, mumpung takkan
ada yang mendengar. Kalaupun toh tiba-tiba terdengar biarlah aku digebuki atau
dibalas dengan umpatan atau entah diapakan. Itu lebih membuatku senang daripada
seperti ini. Tapi ah, tetap saja tak berbunyi.
Dalam kepalaku telah penuh deretan kata-kata yang mulanya
rapi namun lama-lama campur aduk dan tumpang tindih. Beberapa hari yang lalu
aku masih bisa mendebat kawanku yang sok agamis dengan teori-teori marxis,
komunisme, struturalisme, dan lain sebagainya. Aku masih ingat bagaimana
berapi-api dan lantangnya suaraku. Menyusul muncul dalam kepalaku judul-judul
buku, satu, dua tiga, dua puluh, hingga entah berapa. Disusul judul-judul film
beserta adegan-adegannya yang menurutku paling berkesan. Disusul wajah-wajah
perempuan yang sering kulirik wajahnya, kemudian makanan-makanan yang pernah
masuk melalui mulutku, nama ibuku, nama ayahku, guru-guruku, wajah penjual nasi
uduk langganganku, Seno Gumira Adjidarma, STA, PAT, TAS, Roland Barthes,
Gabriel Garcia, F. Fukuyama, dan kemudian suara
nguunnng…ngiiiinnnggg…ngooongggg… Aaarggh… kepalaku pusing sekali!
Apakah ini pertanda awal akan gila? Apakah aku akan sinting?
Kulihat sekelilingku. Penjual nasi pecel di bawah tiang dekat peron menatapku
sambil sesekali tersenyum, anak-anak kecil juga nampak berderet-deret menatapku
aneh, petugas perhubungan juga melongo melihatku dengan tatapan aneh,
beratus-ratus pasang mata di balik kaca jendela dalam gerbong kereta juga
seperti tertuju padaku. Aku jadi risih dan kikuk. Benarkah begini yang
dirasakan orang gila, menjadi pusat perhatian banyak orang dimanapun.
Benarkah aku gila? Gila? Ya, gila. Tapi apakah orang gila
tahu kalau dirinya gila? Aku masih bisa tahu objek-bjek sekeliling dengan
nama-namanya pula. Mereka manusia, nasi pecel, tukang sapu, botol Aqua, kaus
kutang yang jadi lap, Warung Kopi Mbak Olip, calo, lambang PT. Kereta Api, roda,
sepatu, motor-motoran, celana dalam yang kelihatan sedikit itu-dibalik celana
seorang laki-laki, Adidas, tulisan Smoking Area, poster-poster konser orkes
dengan gambar panyanyinya yang seksi, slogan rajin baca buku, pamflet lomba
modelling,… aku tahu semua itu. Aku tahu. Aku tidak sedang gila. Tidak. Aku
yakin itu.
Kupukul-pukul kepalaku sendiri. Kuraba mataku, hidung,
bibir, lidah, gigi. Semua masih utuh. Kumasukkan tanganku ke dalam
tenggorokanku hingga mau muntah. Kupencet-pencet selangkanganku. Ah, aku masih
manusia. Aku laki-laki.
Kucoba-coba sekuat tenaga mencari apa yang ganjil dalam
diriku. Stasiun manakah ini? aku tak tahu. Dimanakah rumahku? Aku tak tahu. Eh,
tahu. Bukakah aku berasal dari sana? Apa lagi? Namaku? Eh,… Oh.. Hai.. Ah, aku
tak bisa.. namaku? Siapa namaku? Tak bisa. Kenapa ini? Ah, siapakah aku?
Siapakah namaku? Kenapa aku bisa lupa? Beberapa nama kupaksakan dalam kepalaku,
Olifia, Saridin, Jasman, Alex, Power Ranger, Lux, ddddrrrtt… Tidak semua itu!
Aku tak tahu siapa namaku. Aku tak ingat lagi. Apakah aku punya nama? Apakah
aku pernah punya nama? Kepalaku pusing sekali. Ah, peduli apa!
Dari sekian orang yang memandangiku di stasiun itu hanya
perempuan itu yang masih tetap anteng dan seakan samasekali tak menghiraukanku.
Apakah aku kualat karena telah menduga-duga menurut sekilas pandangan mataku
terhadapnya? Lantas makhluk apakah dia? Perempuankah dia? Apa indikatornya?
Apakah karena dia cantik? Laki-laki toh banyak yang cantik. Payudara? Vagina?
Apakah harus kubuka pakaiannya. Ataukah ia bukan manusia melainkan bidadari,
atau malaikat, atau mungkin iblis, hantu, ataukah ia objek yang sudah
terlepas dari label-label dan jenis-jenis? Apakah dia bukan siapa-siapa atau
apa-apa..? Ataukah siapa-siapa atau apa-apa…? Ataukah dia…? Tak mungkin!
Mungkinkah dia…? Tuhan? Semoga bukan! Sialan, aku benar-benar pusing.
Tiba-tiba perempuan itu menatap diriku. Matanya memandang
mataku. Ia tersenyum manis sekali. Sekarang aku dapat melihat jelas wajahnya.
Ia benar-benar cantik. Dan ini bukan hanya dalam dugaanku atau bayanganku saja.
Ia nyata.
Lihatlah, ia menyentuh pundakku! Sebuah rasa entah apa
perlahan menjalar ke seluruh tubuhku. Perlahan-lahan, dari pundak kemudian
menjalar ke kepala, ke tangan, kaki, paha, selangkangan, perut, dada, jantung,
paru-paru, usus, semuanya. Kurasakan tubuhku ringan sekali. Aku seperti
melayang tanpa beban. Kutatap, kuselami kedua mata perempuan itu. Setitik
cahaya terang dalam mata hitam itu seperti menyedotku. Putih. Putih. Silau
sekali. Aku tak dapat melihat apa-apa.
Perempuan itu masih duduk dengan bukunya. Tapi kali ini
entah di mana. Dia hanya berdua denganku. Aku tak tahu tempat apa itu. Sebuah
taman dan belukar tanpa penghuni seperti yang hanya kulihat dalam film-film
Walt Disney.
Udaranya sejuk. Banyak pohon-pohon rindang dengan dedaunan
hijau menyala. Ah, bukan hijau. Bukan. Itu biru. Oh, nampaknya juga bukan.
Warna biru terasa sejuk dan mengganjal namun nikmat di sudut mata sebelah kiri.
Dan warna itu sama sekali tidak begitu. Rasanya lain. Entah warna apa itu.
Buahnya juga lebat sekali dan belum pernah kulihat sebelumnya, menyerupai
cangkir kopi. Aku teringat beberapa waktu lalu saat ngopi di warung Mak Bah.
Seorang temanku berkata, setelah menyeruput kopi manisnya, bahwa buah-buah di
sorga bentuknya menyerupai cangkir kopi.
Apakah aku di sorga? Tak mungkin. Aku masih ingat beberapa
hari yang lalu telah mencuri beberapa judul buku di sebuah toko buku saat
penjualnya sedang lalai. Aku juga ingat bagaimana telah membentak ibuku
saat ia menanyaiku hendak kemana naik kereta-kubilang padanya dengan
suara keras sekali “urus saja urusanmu sendiri!”. Dan aku tahu semua itu
dosa. Dosa adalah biji-biji atau benih neraka kata orang. Hoo, apakah aku
sedang di neraka? Sesejuk inikah neraka? Tentu saja bukan. Bukan.
Tiba-tiba aku ingin minum kopi pahit kesukaanku. Perempuan
itu memandangku sambil tersenyum. Ditutupnya buku itu lalu tangan kanannya
merogoh ketiaknya yang kiri. Tak beberapa lama kemudian aku dibuatnya takjub,
di tangannya telah ada secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Baunya wangi
sekali.
Kami masih belum bicara. Kuhirup wangi kopi itu lalu
kuseruput perlahan. Hemmh, nikmat sekali. Pahitnya pas sekali. Namun bukan
berarti manisnya tak ada. Pahit dan manisnya begitu menyatu dan tekstur
kelembutannya terasa betul di lidah, mulut, tenggorokan, dan perut sekalipun.
Efek aftertastenya begitu terasa berputar-putar di otak hingga terpejam
mata ini saking terbuai nikmatnya. Sekujur tubuh juga dialiri semacam
kehangatan yang landai dan lembut sekali.
“dgg ttre euuuyy twr $#%%?” Sebuah suara keluar dari
dalam rongga mulutku. Aneh, tiba-tiba aku bisa bicara. Kuulangi sekali lagi.
Benar-benar suara itu berasal dariku. Tapi mengapa kedengarannya aneh sekali.
Aku tak mengenal bahasa itu. Padahal aku ingin bertanya pada perempuan itu
siapa namanya. Ach, apakah aku berada pada dunia dimana kata-kata telah kembali
pada jatidirinya sebagai sebuah mantra. Apakah kata-kata benar-benar telah
kehilangan makna? Ach, aku aku tak begitu faham tentang ini.
“#Yte d dhhhf ter *& ## jjj .” jawab perempuan itu
juga dengan bahasa yang tadi kuucapkan, yang benar-benar belum pernah kudengar.
Tapi aku bisa memahami maksudnya. Ia memprekenalkan diri dengan nama Ike dan
kembali menanyai namaku. Kujawab bahwa nama itu begitu indah seindah yang punya
nama, dan aku adalah lelaki tanpa nama. Kemudian dia kembali bertanya apa itu
laki-laki. Kujelaskan padanya tentang klasifikasi manusia berdasarkan kelamin
beserta ciri-ciri dan fungsinya. Ia bercerita bahwa di tempatnya itu tak ada
kelamin, laki-laki maupun perempuan, tak ada keinginan maupun cita-cita, semua
berjalan begitu saja tanpa ada sistem-sistem yang terstruktur rapi. Aku
bertanya mengapa tadi aku masih ingin minum kopi? Ia menjawab bahwa itu bukan
keinginan. Segala sesuatu yang muncul dalam benak dan sudah pasti bakal
terwujud itu bukan lagi keinginan. Keinginan hanya ada ketika berhadapan dengan
kemungkinan bakal terwujud atau tidak terwujud. Aku bingung mencernanya. Aneh
sekali.
Tiba-tiba ia meraih tanganku. Kurasakan telapak tangannya
yang lembut sekali. Darahku berdesir-desir. Kuhentikan langkahku. Ia kaget dan
ia menatap wajahku. Pandangan mata kami bertemu. Matanya indah sekali. Senyum
yang sangat manis tersungging dari bibirnya. Ah, betapa indahnya perempuan itu.
Perempuanku, Ikeku.
Kembali ia menarikku. Aku menurut saja. Secangkir kopi yang
belum habis semuanya tadi ikut terbang mengikuti kami. Aku takjub dan tak bisa
berfikir.
Sebuah danau, kali, atau entah apa terhampar luas dan indah
di depanku. Tak ada ujung yang bisa tertangkap oleh mataku. Warna airnya kuning
keemasan. Indah dan menakjubkan sekali. Suara jerit perempuan terdengar di
sudut jauh sana, pada danau atau entah sungai itu. Kabut tipis di atas air
menghalangi pandanganku meski aku tahu itu adalah ketelanjangan. Beberapa meter
di sampingku tergeletak beberapa pakaian. Perempuan-perempuan dibalik kabut
tipis itu sedang beramai mandi.
Angin lembut menerpa kulitku, hangat atau entah dingin,
nikmat sekali. Ike tersenyum. Wajahnya nampak indah terkena bias cahaya sungai
itu. Sebelah rambutnya terlihat menyala-nyala keemasan. Aku memandanginya
lekat-lekat seperti tak mau lagi memandang selainnya.
“hehtt yeht bdsgt ereyu bgdsetr!” Ia mengajakku mandi dan
memintaku melepaskan baju. Aku kikuk sekali. Belum pernah aku buka baju di
depan seorang perempuan. Kulihat ia melepas pakaiannya dahulu. Aku merasa
tak enak sekali. Namun mata ini enggan juga berkedip. Kuseruput kopiku lagi,
seteguk, dua, tiga, hingga habis tak berampas.
Aku ternganga. Serasa masih belum percaya dengan apa yang
kulihat di depan mataku, putih kulit Ike dan wangi baunya itu. Kain itu telah
terjatuh di tanah. Aku tak berkedip memandangi lekuk tubuh yang indah tanpa
sehelai benangpun itu.
Ia tersenyum dan memintaku melepas baju. Mataku masih belum
berpindah memandangi tubuhnya hingga kutangkap keganjilan itu. Tubuh itu… ya,
tubuh itu benar-benar.. O, aku teringat dengan kata-katanya tadi bahwa di sini
tak ada laki-laki atau perempuan. Tak kudapati payudara di dadanya, begitu pula
sebuah vagina dan lobangnya.
Segera kulepas bajuku. Ia juga tanpa berkedip memandangiku
seperti melihat sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Bibirnya
terkembang manis sekali. Kubalas senyumnya.
Saat kuraba selangkanganku aku terkejut. Kugosok-gosok
mataku. Kupukul-pukulkan tanganku tepat di tengah selangkanganku. Benar-benar
rata. Tak mungkin. Kupukul lagi lebih keras. Lebih keras.
Tiba-tiba ia mendorongku mencebur ke sungai atau kali atau
danau itu. Aku gelagapan. Aku tak bisa berenang. Aku juga tak ingin bisa
berenang. Karena katanya keinginan tak ada di sini.
Suara klakson bertubi-tubi memekakkan telinga. Aku ternganga
dan merasa bingung sekali. Kereta Feeder jurusan Bojonegoro-Semarang telah
berhenti di depanku. Kuusap peluh yang memenuhi dahiku. Aku seperti ngantuk.
Lamat-lamat mataku menangkap siluet perempuan yang sedang memandangiku di
sampingku.
“Itu,” suaranya lembut sekali. Kupandangi wajah wanita itu.
Perempuan bermata sipit. Perempuan Cina, Jepang, ataukah
Korea itu. Perempuan yang tadi mengeluarkan secangkir kopi dari balik
ketiaknya.
Ike? Ike siapa? Aku tak kenal Ike. Telunjuknya menunjuk ke
bawah kakiku. Sebuah buku yang tadi kubaca terjatuh. Rupanya aku tertidur tadi.
Kupungut buku itu. Sebuah buku tua. Kantukku hilang.
Kugosok-gosok halaman-halamannya. Buku itu tak berjudul. Buku itu kosong.
Halaman-halamannya tak bertuliskan apapun.
Perempuan di sampingku berdiri. Matanya mendelik. Ia
megap-megap seperti ingin mengatakan sesuatu tapi susah sekali. Mulutnya
terbuka lebar. Aku dapat melihat giginya yang putih. Nafasnya wangi. Lidahnya
bergerak-gerak ke atas ke ke bawah dan ke kanan ke kiri.
Bojonegoro, 23 Juli 2012