CINTA O CINTA

Oleh Mohamad Tohir
Dostoyevsky. cartoonstock.com
AKU BARU SAJA MEMBACA cerita pendek para maestro dalam antologi Cinta Tak Pernah Mati. Itu buku adalah kumpulan cerpen terjemahan Anton Kurnia dan Atta Verin, istrinya. Siapa para maestro itu? Mereka adalah Akutagawa, Balzac, Checkov, Dostoyevsky, O Henry, Joyce James, Kipling, Poe, Tagore, Tolstoy, Mark Twain, dan beberapa lagi. Dari kesemua itu, empat di antaranya adalah peraih Nobel Sastra, penghargaan sastra yang dianggap paling bergengsi di dunia.
Buku itu diterbitkan oleh Serambi, yang belakangan ini nampaknya getol menerjemahkan sastra dunia karya para master, seperti Cinta yang Hilang (kumpulan cerpen O Henry), Kenangan Cinta (kumcer Chekhov), Cinta Sejati (kumcer Maupassant), dan beberapa lainnya. Seperti yang lain-lain, ini tentang cinta, sebagaimana judulnya (yang adalah judul salah satu cerpen dalam buku ini, karya Balzac). Dalam pengantarnya, Anton Kurnia menulis bahwa diterbitkannya buku-buku itu menandai kepedulian Serambi terhadap dunia sastra dan kebudayaan secara luas. Kisah-kisah dalam buku ini berisi tentang beragam hal, dari cinta yang ganjil sampai misteri berbau cinta. Di balik segenap suka dan duka kehidupan, sesungguhnya cintalah yang pada akhirnya akan menyelamatkan kita. Dan, cinta, bukan melulu soal hubungan lelaki dan perempuan. Itu tergambar tegas dalam cerita-cerita di buku ini.
Seperti karya Dostoyevsky, Maling yang Jujur. Ini tentang rasa cinta yang tulus seorang lelaki mantan tentara miskin, yang telah beralih jadi tukang jahit, terhadap lelaki tua yang menjengkelkan. Lelaki menjengkelkan itu numpang di rumahnya dan dia pengangguran, tidak punya keahlian apapun dan peminum berat. Tuan rumah, mantan tentara itu, harus menghidupinya. Dia kasihan melihat lelaki tua itu hidup menggelandang. Dia diajak ke rumah dengan maksud awal hanya sehari dua hari. E, ternyata malah tidak menunjukkan niat untuk beranjak. Parahnya dia malah mencuri celana tuan rumah yang sebenarnya akan diberikan kepadanya sebagai modal usaha (setelah dijual tentunya). Adakah maling yang jujur? Cerpen ini menjawabnya. Berkat cinta, maling yang jujur itu ada.
Juga ada karya Edgar Allan Poe yang terkenal itu, Kucing Hitam. Membaca cerpen ini, orang pasti begidik. Aku tokoh cerpen, dengan tega dan bengisnya mencongkel dan menggantung seekor kucing kesayangannya. Dia awalnya suka dengan kucing itu, gemas karena dia nurut dan lucu. Hingga tiba suatu saat si tokoh jadi gemar minum-minuman. Karena pengaruh alkohol, dia jadi sering merah-marah dan kasar. Dia kasar pada istrinya, juga pada hewan-hewan piaraannya. Dia mengasari kucing hitam tadi. Mencongkel matanya. Menggantung lehernya di tangkai sebuah pohon. Istrinyapun pada akhirnya mati di tangannya. Kepala istrinya dibacoknya sendiri dengan sebuah kapak tajam dan mati sebelum sempat menjerit. Inikah tentang cinta? Entah cinta macam apa.
O Henry, yang terkenal dengan cerita penuh kejutan itu, hadir di sini dengan Tamu Pernikahan. Ceritanya tentang seorang lelaki muda bernama Andy Donovan yang jatuh cinta pada perempuan yang selalu memakai pakaian hitam setiap harinya, Nona Conway namanya. Setelah didekati, ternyata dia sedang berkabung sebab kekasihnya baru saja meninggal karena terbunuh, Mazzini namanya. Mereka akhirnya dekat. Conway bercerita tentang almarhum Mazzini dan memperlihatkan fotonya yang tersimpan dalam gandulan kalung pada Donovan, juga foto yang lebih besar yang dipajang di tembok. Donovan mengamati foto itu dengan seksama, seperti mengagumi ketampanan dan kegagahan Mazzini. Hingga suatu ketika, mereka nyambung dan cocok lalu mengumumkan pernikahan mereka pada orang-orang. Suatu hari menjelang hari H pesta nikah, Donovan nampak murung. Dia ditanya oleh Conway, dan nampak ragu untuk menceritakan masalahnya. Setelah didesak, Donovan akhirnya bercerita bahwa dia barusan bertemu dengan kawan lamanya di luar kota, Mike Sullivan namanya. Mike Sullivan menyatakan kesanggupannya untuk hadir di pesta nikah mereka, tapi Donovan mencegahnya. Apa yang menyebabkan kemurungan Donovan? Adalah pertautan antara Sullivan dan Mazzini itu sebenarnya. Mereka adalah orang sama dengan nama yang berbeda. Sementara, kata Conway, Mazzini sudah mati. Benarkah demikian? Bukan O Henry kalau tidak memberikan kejutan.
Guy De Maupassant, murid kesayangan Flaubert itu hadir dengan cerpennya berjudul Senyum Schopenhauer. Cerpen ini agak konyol dan entah dimaksudkan sebagai cerpen horor atau entah bagaimana. Ceritanya tentang seseorang yang sedang menginap di sebuah hotel. Dia penasaran dengan tetangga kamarnya yang selalu ditemui dengan sebuah buku bacaan. Selalu begitu. Akhirnya mereka berkenalan dan buku dipinjamkannya. Ternyata itu adalah buku sang guru, Schopenhauer, filsuf Jerman edan itu. Dia adalah filsuf penghancur mimpi dan cita-cita. Bagi filsuf seide dengan Camus ini, hidup ini tidak ada maknanya. Menyelami hidup adalah menikmati ketidakbermaknaan. Orang Jerman tadi adalah muridnya asli. Dia bercerita bahwa sang guru mempunyai senyum yang mengerikan. Bahkan hingga matinya. Kemudian dia bercerita tentang sebuah kisah yang dialaminya sendiri. Yakni ketika sang filsuf baru saja meninggal. Dia bersama seorang kawannya harus menunggui jenazah yang disemayamkan itu. Wajah sang filsuf masih tersenyum meski sudah mati. Mereka merasa sang filsuf masih hidup. Arwahnya sedang bebas dari tubuh dan sedang menyelimuti mereka. Suatu malam mereka melihat sesuatu berwarna putih melesat dari kepala sang filsuf, jatuh ke lantai. Mereka berlari ketakutan. Diberanikannya diri mereka untuk memeriksa jenazah. Mereka kaget bukan main karena sang filsuf tidak lagi tersenyum. Mereka akhirnya lega karena melihat sesuatu putih tergeletak di lantai. Ternyata sebuah gigi palsu. Begitu saja ceritanya. Namun menikmati teks Maupassant tentu saja punya rasa dan sensasi tersendiri.
Cerita yang menjadi judul buku, Cinta tak Pernah Mati, karya Balzac, bukanlah cerita melodramatis seperti Cinta tak Ada Matinya Eka Kurniawan yang mirip Cinta Sepanjang Musim Koleranya Gabo itu. Cerpen ini tentang cinta seorang manusia bekas serdadunya Napoleon dengan seekor harimau. Mereka hidup berdua selama beberapa bulan di sebuah gurun pasir di Mesir. Di tengah hamparan padang pasir yang luas, mereka hidup berdua, dan saling menjaga. Bayangkan coba, dengan harimau!
Pada mulanya serdadu itu ditawan oleh tentara Arab dan dibawa sejauh mungkin dari kawanan tentara Perancis. Mereka istirahat di sebuah gurun yang luas. Karena kegesitannya, tentara serdadu perancis itu berhasil kabur dan menggondol kuda tentara Arab. Dia kabur sekencang-kencangnya menjauhi mereka. Karena terus dipacu tanpa henti, kudanya ambruk. Serdadu Perancis terhenti di sebuah padang yang ia sama sekali tidak tahu di mana. Dia hampir putus asa. Hingga akhirnya ada sebuah pepohonan kurma yang berbuah lebat. Dia berhenti di sana dan tertidur di sebuah batu. Saat bangun dia kaget sekali karena di dekatnya ada seekor harimau. Dia ketakutan dan yakin akan tamat sampai di situ hidupnya. Tapi, ternyata dia meleset, harimau itu, meskipun nampak mengerikan, dia bagaikan seekor kucing piaraan yang jinak. Harimau itu seperti menemukan teman bermain di padang pasir maha luas itu. Mereka hidup berbulan-bulan di sana.
Begitulah, cerpen-cerpen ini menjadi teman minum teh yang nikmat di sebuah sore saya beberapa hari ini. Banyak lain lagi yang menarik tapi tentu tidak semua saya catat di sini. Saya kurang bisa menceritakan ulang dengan baik dan teratur. Tambah membosankan nanti.
18 September 2014




Read More →

PEREMPUAN YANG MEMBACA NOVEL TANPA KATAKATA

blognyadodoth.blogspot.com

Mohamad Tohir

SORE ITU HUJAN RINTIK-RINTIK saat aku berada di stasiun. Setengah jam lewat aku duduk di kursi tunggu dan mungkin kereta akan telat tiba. Suara tetes hujan yang jatuh di atap seng menimbulkan suara yang bising sekali. Sesekali para calon penumpang mengucapkan kata-kata keluhan bahkan umpatan dengan mimik muka kesal.
Aku duduk di kursi memandangi suasana riuh itu. Kupejamkan mataku menikmati suara hujan yang perlahan-lahan semakin nikmat di telinga dan merasuk di dada dan sekujur tubuhku. Aku seperti mengalami trance dalam irama-irama hujan. Seorang badui Persia beberapa abad yang lalu mendapatkan inspirasi dari suara tetes-tetes hujan hingga pada akhirnya ia menciptakan bahar-bahar dan syair yang indah mempesona. Bahar-bahar yang kemudian menjadi sebuah cawan-cawan ilmu pengetahuan yang diwariskan hingga berabad-abad lamanya.
Suara klakson membuatku membuka mata. Kereta tiba. Penumpang berjubel masuk tertib sekali. Tak terlihat olehku mereka berdesak-desakan dengan muka kesal. Padahal sedari tadi mereka nampak kecewa dengan keterlambatan itu.
Aku tak tahu betul apakah itu keretanya. Sepertinya itu kereta baru. Jurusan mana? Aku bertanya-tanya sendiri. Suara mesinnyapun tak begitu familiar di telingaku. Lembut dan pelan sekali, seperti suara mesin mobil baru. Apakah bukan kereta? Ah, lagipula apa peduliku. Aku sendiri tak yakin naik kereta hendak kemana. Aku juga sudah lupa mengapa kakiku bisa sampai di stasiun dan duduk di kursi tunggu itu. Aku hanya ingin naik kereta saja. Kemanapun kereta pergi aku tak peduli.
Akhirnya aku masuk juga. Mesinnya mulai hidup dan berjalan pelan. Sejenak kurasakan sekelilingku yang berjalan menjauh dariku dan kereta, bukan keretanya yang berjalan. Kereta berjalan semakin cepat dan meninggalkan stasiun menjadi sebuah titik hitam.
Orang-orang dalam gerbong diam saja. Sama sekali aku tak menyapa mereka atau mereka menyapaku. Tak kutemui juga ibu-ibu penjual nasi pecel dengan kulup daun turi seperti biasanya. Rasanya sepi sekali.
Tiba di sebuah stasiun, memasuki lorong gelap. Pandanga mataku tak menemui ada plang penunjuk stasiun mana. Kereta melambat perlahan-lahan hingga akhirnya berhenti..
Orang terlalu padat di situ. Sama seperti di stasiun pemberangkatanku tadi, di sini juga nampak wajah-wajah gelisah karena kereta terlambat. Beberapa orang turun dari kereta membawa ransel-ransel besar, tas kresek, dan keranjang-keranjang dari bambu atu entah apa.
Di sebuah sudut nampak ibu-ibu bermuka murung sedang menggendong atau menggandeng anak kecil. Sepasang orang separuh baya berangkulan dan sesekali berciuman. Entah mereka suami istri atau bukan aku tak tahu. Ach, apa hubungannya ciuman dengan suami istri? Bantahku tak terucap.
Beberapa orang duduk di kursi tunggu. Wajahnya aneh-aneh. Seperti bukan orang sebangsaku. Ada yang berkulit kemerah-merahan dengan rambut pirang yang nyaris putih tapi kumisnya hitam. Ada yang berbadan besar sekali namun sama sekali bukan gendut di antara sekeliling yang tingginya hanya sesikut. Entah dia yang besar atau sekelilinya yang kterlalu kecil aku tak tahu. Dari balik kaca kereta aku melihat itu.
Lebih dekat lagi, tepat beberapa meter di bawah atau di depanku, di balik kaca tentunya, duduk seorang perempuan berambut hitam dan panjang. Kuperhatikan perempuan itu betul-betul karena dia yang nampak paling terang di sekitarnya. Mengapa sendirian? Menunggu kekasihnyakah? Atau suaminya? Atau sedang bertengkar? Atau tidak menunggu siapa-siapa? Darimana aku tahu dia punya kekasih atau bersuami? Bisajadi dia sepertiku juga yang hanya ingin naik-naik kereta saja tanpa tujuan kemana. Tentu bukan aku saja yang begitu kan? Bisa jadi dan mungkin saja.
Aku jadi teringat saat di peron pada stasiun pemberangkatan tadi ketika petugas menanyaiku hendak kemana. Kujawab aku tak tahu. Kukira ia akan marah, atau menyangkaku main-main, mengabaikanku, atau bahkan mengumpatiku. Tapi tidak. Dia tetap memberiku karcis dan menerima uangku yang kuberikan ala kadarnya. Kulihat karcisku, tertera tulisan tujuan tidak tahu. Aku tersenyum heran. Kenapa ada yang seperti itu? Kalau memang ada, tentu saja itu disediakan bukan untukku saja.
Kuperhatikan lagi perempuan itu. Perempuan yang lembut. Kulitnya putih bersih meski hanya terlihat muka dan tangannya saja yang sedang memegang buku. Buku yang dipegangnya itu nampak seperti buku kuno yang kusam dan kusut, berwarna kuning kecokelatan. Segera muncul beberapa judul novel dalam kepalaku.
Aku juga jadi teringat dengan Maut dan Cintanya Mochtar Lubis yang habis kubaca beberapa bulan yang lalu. Apakah perempuan selembut itu juga tertarik dengan kisah-kisah peperangan dan semangat-semangat revolusi yang diulas dalam novel itu? Ataukah ia hanya tertarik dengan kisah-kisah cintanya yang selalu saja bermula atau berakhir di ranjang?
Oh, tidak…buku itu! Kuusap-usap mataku. Aku heran. Aku belum percaya dengan yang kulihat. Halaman-halaman buku yang dibolak-bailk perempuan itu sama sekali tak nampak tulisannya. Halaman-halaman itu kosong melompong. Sekali lagi kuusap-usap mataku. Aku benar-benar tak salah lihat.
Aku turun dan mendekati perempuan itu. Dari dekat aku bisa melihat wajahnya. Juga buku yang dipegang atau dibacanya itu. Dan semakin yakin olehku bahwa halaman-halaman itu benar-benar kosong.
Perempuan bermata sipit. Seperti orang Cina, atau Jepang, Korea, atau entah mana. Hidungnya kecil namun tak bisa disebut pesek. Bibirnya juga kecil dan merah mentah-agak kering. Sesekali ia tersenyum-senyum sendiri seperti begitu larut menikmati apa yang ia baca. Aku ingin menyapanya namun masih berfikir akan pakai bahasa apa kalau benar-benar ia bukan orang sebangsaku. Aku tak bisa bahasa Cina, Jepang, atau Korea. Inggriskupun buruk sekali.
Ketika aku ingin buka suara tiba-tiba aku tersentak kaget. Oh tidak! Aku hanya komat-kamit. Tak ada bunyi, tak ada suara yang keluar. Aku tak bisa bicara? Mengapa jadi begini? Ya, aku tak bisa bicara. Memang benar bicara, tapi tak bersuara..!!! Tak ada suara yang keluar dari rongga mulutku. Kupukul-pukul telingaku. Sama saja. Aku tetap yakin yang tak beres adalah suaraku. Suaraku hilang.
Aku geram dan jengkel sekali. Aku juga masih belum bisa percaya dan menerima keanehan ini. Kubuka mulutku lebar-lebar. Kugerakkan lidahku ke atas dan ke bawah lalu ke kanan dan kiri. Kucoba berteriak sekencang-kencangnya hingga mataku berair. Tetapi tetap saja tak ada suara yang keluar samasekali. Aku ingin bertanya pada perempuan itu apakah ia mendengar suaraku tapi aku keburu yakin memang benar tak ada suara yang kukeluarkan. Kucoba lagi berteriak sebisa-bisaku. Kuucapkan kata-kata kotor sebanyak-banyaknya, nama-nama binatang, nama-nama alat kelamin, mumpung takkan ada yang mendengar. Kalaupun toh tiba-tiba terdengar biarlah aku digebuki atau dibalas dengan umpatan atau entah diapakan. Itu lebih membuatku senang daripada seperti ini. Tapi ah, tetap saja tak berbunyi.
Dalam kepalaku telah penuh deretan kata-kata yang mulanya rapi namun lama-lama campur aduk dan tumpang tindih. Beberapa hari yang lalu aku masih bisa mendebat kawanku yang sok agamis dengan teori-teori marxis, komunisme, struturalisme, dan lain sebagainya. Aku masih ingat bagaimana berapi-api dan lantangnya suaraku. Menyusul muncul dalam kepalaku judul-judul buku, satu, dua tiga, dua puluh, hingga entah berapa. Disusul judul-judul film beserta adegan-adegannya yang menurutku paling berkesan. Disusul wajah-wajah perempuan yang sering kulirik wajahnya, kemudian makanan-makanan yang pernah masuk melalui mulutku, nama ibuku, nama ayahku, guru-guruku, wajah penjual nasi uduk langganganku, Seno Gumira Adjidarma, STA, PAT, TAS, Roland Barthes, Gabriel Garcia, F. Fukuyama, dan kemudian suara nguunnng…ngiiiinnnggg…ngooongggg… Aaarggh… kepalaku pusing sekali!
Apakah ini pertanda awal akan gila? Apakah aku akan sinting? Kulihat sekelilingku. Penjual nasi pecel di bawah tiang dekat peron menatapku sambil sesekali tersenyum, anak-anak kecil juga nampak berderet-deret menatapku aneh, petugas perhubungan juga melongo melihatku dengan tatapan aneh, beratus-ratus pasang mata di balik kaca jendela dalam gerbong kereta juga seperti tertuju padaku. Aku jadi risih dan kikuk. Benarkah begini yang dirasakan orang gila, menjadi pusat perhatian banyak orang dimanapun.
Benarkah aku gila? Gila? Ya, gila. Tapi apakah orang gila tahu kalau dirinya gila? Aku masih bisa tahu objek-bjek sekeliling dengan nama-namanya pula. Mereka manusia, nasi pecel, tukang sapu, botol Aqua, kaus kutang yang jadi lap, Warung Kopi Mbak Olip, calo, lambang PT. Kereta Api, roda, sepatu, motor-motoran, celana dalam yang kelihatan sedikit itu-dibalik celana seorang laki-laki, Adidas, tulisan Smoking Area, poster-poster konser orkes dengan gambar panyanyinya yang seksi, slogan rajin baca buku, pamflet lomba modelling,… aku tahu semua itu. Aku tahu. Aku tidak sedang gila. Tidak. Aku yakin itu.
Kupukul-pukul kepalaku sendiri. Kuraba mataku, hidung, bibir, lidah, gigi. Semua masih utuh. Kumasukkan tanganku ke dalam tenggorokanku hingga mau muntah. Kupencet-pencet selangkanganku. Ah, aku masih manusia. Aku laki-laki.
Kucoba-coba sekuat tenaga mencari apa yang ganjil dalam diriku. Stasiun manakah ini? aku tak tahu. Dimanakah rumahku? Aku tak tahu. Eh, tahu. Bukakah aku berasal dari sana? Apa lagi? Namaku? Eh,… Oh.. Hai.. Ah, aku tak bisa.. namaku? Siapa namaku? Tak bisa. Kenapa ini? Ah, siapakah aku? Siapakah namaku? Kenapa aku bisa lupa? Beberapa nama kupaksakan dalam kepalaku, Olifia, Saridin, Jasman, Alex, Power Ranger, Lux, ddddrrrtt… Tidak semua itu! Aku tak tahu siapa namaku. Aku tak ingat lagi. Apakah aku punya nama? Apakah aku pernah punya nama? Kepalaku pusing sekali. Ah, peduli apa!
Dari sekian orang yang memandangiku di stasiun itu hanya perempuan itu yang masih tetap anteng dan seakan samasekali tak menghiraukanku. Apakah aku kualat karena telah menduga-duga menurut sekilas pandangan mataku terhadapnya? Lantas makhluk apakah dia? Perempuankah dia? Apa indikatornya? Apakah karena dia cantik? Laki-laki toh banyak yang cantik. Payudara? Vagina? Apakah harus kubuka pakaiannya. Ataukah ia bukan manusia melainkan bidadari, atau malaikat, atau mungkin iblis,  hantu, ataukah ia objek yang sudah terlepas dari label-label dan jenis-jenis? Apakah dia bukan siapa-siapa atau apa-apa..? Ataukah siapa-siapa atau apa-apa…? Ataukah dia…? Tak mungkin! Mungkinkah dia…? Tuhan? Semoga bukan! Sialan,  aku benar-benar pusing.
Tiba-tiba perempuan itu menatap diriku. Matanya memandang mataku. Ia tersenyum manis sekali. Sekarang aku dapat melihat jelas wajahnya. Ia benar-benar cantik. Dan ini bukan hanya dalam dugaanku atau bayanganku saja. Ia nyata.
Lihatlah, ia menyentuh pundakku! Sebuah rasa entah apa perlahan menjalar ke seluruh tubuhku. Perlahan-lahan, dari pundak kemudian menjalar ke kepala, ke tangan, kaki, paha, selangkangan, perut, dada, jantung, paru-paru, usus, semuanya. Kurasakan tubuhku ringan sekali. Aku seperti melayang tanpa beban. Kutatap, kuselami kedua mata perempuan itu. Setitik cahaya terang dalam mata hitam itu seperti menyedotku. Putih. Putih. Silau sekali. Aku tak dapat melihat apa-apa.
Perempuan itu masih duduk dengan bukunya. Tapi kali ini entah di mana. Dia hanya berdua denganku. Aku tak tahu tempat apa itu. Sebuah taman dan belukar tanpa penghuni seperti yang hanya kulihat dalam film-film Walt Disney.
Udaranya sejuk. Banyak pohon-pohon rindang dengan dedaunan hijau menyala. Ah, bukan hijau. Bukan. Itu biru. Oh, nampaknya juga bukan. Warna biru terasa sejuk dan mengganjal namun nikmat di sudut mata sebelah kiri. Dan warna itu sama sekali tidak begitu. Rasanya lain. Entah warna apa itu. Buahnya juga lebat sekali dan belum pernah kulihat sebelumnya, menyerupai cangkir kopi. Aku teringat beberapa waktu lalu saat ngopi di warung Mak Bah. Seorang temanku berkata, setelah menyeruput kopi manisnya, bahwa buah-buah di sorga bentuknya menyerupai cangkir kopi.
Apakah aku di sorga? Tak mungkin. Aku masih ingat beberapa hari yang lalu telah mencuri beberapa judul buku di sebuah toko buku saat penjualnya sedang lalai. Aku juga ingat bagaimana telah membentak ibuku saat  ia menanyaiku hendak kemana naik kereta-kubilang padanya dengan suara keras sekali “urus saja urusanmu sendiri!”. Dan aku tahu semua itu dosa. Dosa adalah biji-biji atau benih neraka kata orang. Hoo, apakah aku sedang di neraka? Sesejuk inikah neraka? Tentu saja bukan. Bukan.
Tiba-tiba aku ingin minum kopi pahit kesukaanku. Perempuan itu memandangku sambil tersenyum. Ditutupnya buku itu lalu tangan kanannya merogoh ketiaknya yang kiri. Tak beberapa lama kemudian aku dibuatnya takjub, di tangannya telah ada secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Baunya wangi sekali.
Kami masih belum bicara. Kuhirup wangi kopi itu lalu kuseruput perlahan. Hemmh, nikmat sekali. Pahitnya pas sekali. Namun bukan berarti manisnya tak ada. Pahit dan manisnya begitu menyatu dan tekstur kelembutannya terasa betul di lidah, mulut, tenggorokan, dan perut sekalipun. Efek aftertastenya begitu terasa berputar-putar di otak hingga terpejam mata ini saking terbuai nikmatnya. Sekujur tubuh juga dialiri semacam kehangatan yang landai dan lembut sekali.
“dgg ttre  euuuyy twr $#%%?” Sebuah suara keluar dari dalam rongga mulutku. Aneh, tiba-tiba aku bisa bicara. Kuulangi sekali lagi. Benar-benar suara itu berasal dariku. Tapi mengapa kedengarannya aneh sekali. Aku tak mengenal bahasa itu. Padahal aku ingin bertanya pada perempuan itu siapa namanya. Ach, apakah aku berada pada dunia dimana kata-kata telah kembali pada jatidirinya sebagai sebuah mantra. Apakah kata-kata benar-benar telah kehilangan makna? Ach, aku aku tak begitu faham tentang ini.
“#Yte d  dhhhf ter *& ## jjj .” jawab perempuan itu juga dengan bahasa yang tadi kuucapkan, yang benar-benar belum pernah kudengar. Tapi aku bisa memahami maksudnya. Ia memprekenalkan diri dengan nama Ike dan kembali menanyai namaku. Kujawab bahwa nama itu begitu indah seindah yang punya nama, dan aku adalah lelaki tanpa nama. Kemudian dia kembali bertanya apa itu laki-laki. Kujelaskan padanya tentang klasifikasi manusia berdasarkan kelamin beserta ciri-ciri dan fungsinya. Ia bercerita bahwa di tempatnya itu tak ada kelamin, laki-laki maupun perempuan, tak ada keinginan maupun cita-cita, semua berjalan begitu saja tanpa ada sistem-sistem yang terstruktur rapi. Aku bertanya mengapa tadi aku masih ingin minum kopi? Ia menjawab bahwa itu bukan keinginan. Segala sesuatu yang muncul dalam benak dan sudah pasti bakal terwujud itu bukan lagi keinginan. Keinginan hanya ada ketika berhadapan dengan kemungkinan bakal terwujud atau tidak terwujud. Aku bingung mencernanya. Aneh sekali.
Tiba-tiba ia meraih tanganku. Kurasakan telapak tangannya yang lembut sekali. Darahku berdesir-desir. Kuhentikan langkahku. Ia kaget dan ia menatap wajahku. Pandangan mata kami bertemu. Matanya indah sekali. Senyum yang sangat manis tersungging dari bibirnya. Ah, betapa indahnya perempuan itu. Perempuanku, Ikeku.
Kembali ia menarikku. Aku menurut saja. Secangkir kopi yang belum habis semuanya tadi ikut terbang mengikuti kami. Aku takjub dan tak bisa berfikir.
Sebuah danau, kali, atau entah apa terhampar luas dan indah di depanku. Tak ada ujung yang bisa tertangkap oleh mataku. Warna airnya kuning keemasan. Indah dan menakjubkan sekali. Suara jerit perempuan terdengar di sudut jauh sana, pada danau atau entah sungai itu. Kabut tipis di atas air menghalangi pandanganku meski aku tahu itu adalah ketelanjangan. Beberapa meter di sampingku tergeletak beberapa pakaian. Perempuan-perempuan dibalik kabut tipis itu sedang beramai mandi.
Angin lembut menerpa kulitku, hangat atau entah dingin, nikmat sekali. Ike tersenyum. Wajahnya nampak indah terkena bias cahaya sungai itu. Sebelah rambutnya terlihat menyala-nyala keemasan. Aku memandanginya lekat-lekat seperti tak mau lagi memandang selainnya.
“hehtt yeht bdsgt ereyu bgdsetr!” Ia mengajakku mandi dan memintaku melepaskan baju. Aku kikuk sekali. Belum pernah aku buka baju di depan seorang perempuan.  Kulihat ia melepas pakaiannya dahulu. Aku merasa tak enak sekali. Namun mata ini enggan juga berkedip. Kuseruput kopiku lagi, seteguk, dua, tiga, hingga habis tak berampas.
Aku ternganga. Serasa masih belum percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku, putih kulit Ike dan wangi baunya itu. Kain itu telah terjatuh di tanah. Aku tak berkedip memandangi lekuk tubuh yang indah tanpa sehelai benangpun itu.
Ia tersenyum dan memintaku melepas baju. Mataku masih belum berpindah memandangi tubuhnya hingga kutangkap keganjilan itu. Tubuh itu… ya, tubuh itu benar-benar.. O, aku teringat dengan kata-katanya tadi bahwa di sini tak ada laki-laki atau perempuan. Tak kudapati payudara di dadanya, begitu pula sebuah vagina dan lobangnya.
Segera kulepas bajuku. Ia juga tanpa berkedip memandangiku seperti melihat sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Bibirnya terkembang manis sekali. Kubalas senyumnya.
Saat kuraba selangkanganku aku terkejut. Kugosok-gosok mataku. Kupukul-pukulkan tanganku tepat di tengah selangkanganku. Benar-benar rata. Tak mungkin. Kupukul lagi lebih keras. Lebih keras.
Tiba-tiba ia mendorongku mencebur ke sungai atau kali atau danau itu. Aku gelagapan. Aku tak bisa berenang. Aku juga tak ingin bisa berenang. Karena katanya keinginan tak ada di sini.
Suara klakson bertubi-tubi memekakkan telinga. Aku ternganga dan merasa bingung sekali. Kereta Feeder jurusan Bojonegoro-Semarang telah berhenti di depanku. Kuusap peluh yang memenuhi dahiku. Aku seperti ngantuk. Lamat-lamat mataku menangkap siluet perempuan yang sedang memandangiku di sampingku.
“Itu,” suaranya lembut sekali. Kupandangi wajah wanita itu.
Perempuan bermata sipit. Perempuan Cina, Jepang, ataukah Korea itu. Perempuan yang tadi mengeluarkan secangkir kopi dari balik ketiaknya. 
Ike? Ike siapa? Aku tak kenal Ike. Telunjuknya menunjuk ke bawah kakiku. Sebuah buku yang tadi kubaca terjatuh. Rupanya aku tertidur tadi.
Kupungut buku itu. Sebuah buku tua. Kantukku hilang. Kugosok-gosok halaman-halamannya. Buku itu tak berjudul. Buku itu kosong. Halaman-halamannya tak bertuliskan apapun.
Perempuan di sampingku berdiri. Matanya mendelik. Ia megap-megap seperti ingin mengatakan sesuatu tapi susah sekali. Mulutnya terbuka lebar. Aku dapat melihat giginya yang putih. Nafasnya wangi. Lidahnya bergerak-gerak ke atas ke ke bawah dan ke kanan ke kiri.

Bojonegoro, 23 Juli 2012

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates