Oleh Mohamad Tohir
mynameisnia.blogspot.com |
SHINTA, kawan perempuanku
yang baik hati itu, hari ini ulang tahun. 22 umurnya sekarang. Tiga tahun lebih
muda dariku. Beberapa hari aku tak bertemu dengan dia. Mungkin sengaja
sembunyi, sambil siaga bahwa kapan saja sebuah kejutan bisa saja mendadak terlontar
di kepalanya. Bukan kejutan yang membahayakan. Atau tak apa membahayakan. Tapi
membahayakan dalam artian lain lagi. Karena kadang manusia memang butuh
menikmati bahaya.
Mungkin saja
ada perayaan. Seperti tahun lalu, perayaannya adalah nonton film. Film horor.
Manusia butuh perayaan. Biar siapapun merasa berarti dan tidak benar-benar
sendiri. Lantas, aku jadi teringat diriku yang sepi perayaan. Berapa kali aku
merayakan diri sendiri? Lantas apa yang hendak kurayakan? Tak ada bukan?
Aku
mengucapkan selamat ulang tahun padanya, pagi tadi, lewat pesan pendek seluler.
Aku tidak mempersiapkan hadiah untuknya. Tidak pula kejutan. Bukan pula yang
membayakan. Aku hanya melontarkan doa. Do’a yang wajar-wajar saja. Harap-harap
keselamatan dan kebahagiaan. Untuknya.
Dan kubuatkan
sebuah cerita pendek yang buruk dan hanya kusimpan saja di blog saya ini. Ini
untuknya. Bukan tentangnya. Yang tak akan dia tahu kalau tidak membukanya
(Apakah ini adalah kejutan?). Apakah akan dibuka? Siapa yang tahu. Dan, apa
berartinya sebuah cerita pendek?
KITAB KEMATIAN KOMARI TUA
MALAM INI Yahya membawa buku warna merah tua itu, dan dua
hari yang lalu Pak Komari masih hidup. Pak Komari adalah pemilik buku itu, yang
selalu ditentengnya kemana-mana. Tidak ada yang pernah tahu buku apa itu. Saat
ada yang mencoba bertanya, dia selalu mengalihkan bahasan. Bercerita apa saja
yang bisa membuat orang lupa.
Hampir setiap malam Pak Komari datang di
kedai teh yang juga langganan kami, semenjak kedatangannya di kota ini sekitar sebulan
yang lalu. Dia disukai banyak orang karena enak diajak bicara, meskipun harus
dipancing tanya dulu. Dia banyak bicara, tapi disuka orang-orang. Dia pandai
cerita tentang petualangan-petualangan dan aneka jenis makanan di suku-suku
terpencil. Tapi dia tak pernah cerita tentang dirinya.
Malam ini, Yahya masuk ke kedai, seperti
Pak Komari, menenteng buku itu. Karena dia membawa barang Pak Komari, beberapa
orang menghampiri mejanya bersama rasa penasaran.
“Kau sekarang jadi pewaris Pak Komari.
Coba perlihatkan pada kami, apa isi buku itu,” pinta seorang pemuda pada Yahya.
Yahya diam saja. Hanya tersenyum dan
menghisap rokoknya. Sebentar kemudian segelas teh dingin datang di mejanya.
Sama seperti teh Pak Komari, gelasnya pakai yang ukuran jumbo dan berwarna
coklat.
“Wah. Benar-benar seperti Pak Komari,”
hardik mereka.
Malam masih panjang. Di luar, nampak dari
kaca, hujan masih belum sepenuhnya mengguyur bumi. Seperti perempuan yang malas
cuci muka saat rasa kantuk menggantung di mata.
“Buku ini tidak boleh dibaca,” kata Yahya
tiba-tiba. Mukanya serius. Dia seruput lagi tehnya. Es batunya bergerak-gerak
pingpong.
“Pak Komari mati gara-gara ini.”
Wajah mereka ikut serius.
“Ceritakan pada kami,” kata mereka. “Kami
pernah memergoki buku ini terjatuh di depan kedai. Saat kami mengambilnya dan
baru saja hendak membukanya, Pak Komari sudah di belakang kami sambil
mengumpati kami akan mati dibunuhnya. Kami jadi ketakutan dan penasaran. Wajahnya
mengerikan. Tapi saat itu kami tak pernah lagi bertanya.”
Yahya mengambil napas.
“Buku ini yang membuat Pak Komari
menderita seumur hidupnya yang tua dan ringkih. Kalian keliru bahwa dia lelaki
tua yang kuat. Sama sepertiku yang juga mengira demikian.
Suatu malam, aku membuntutinya pulang.
Dia agak loyo malam itu. Aku membeli nasi bungkus di tepi jalan. Aku tahu dia
belum makan, karena sedari sore dia di sini dan hanya minum segelas besar teh. Dia
bicara terus menerus karena kalian terus menanyainya macam-macam seakan-akan
dia tahu segala apa yang hidup di bumi ini. Untungnya dia merasa senang karena
sejenak bisa melupakan kesedihannya. Tapi setelah kalian berpisah dengannya,
dia akan kembali ke kesendiriannya di rumah sewaannya yang sepi dan kotor. Dia
hidup sendiri dan berantakan. Uang pensiuannya yang tak seberapa akan segera
habis.”
“Apa dia tak punya istri? Atau
anak-anaknya?”
Yahya menghela napas. “Nah, ini
masalahnya. Jiwanya keropos. Dia didera rasa bersalah yang parah. Dia tak
henti-hentinya merasa bersalah. Dia dihantui bayang-bayang kekasihnya yang
telah mati bertahun-tahun lamanya. Saking parahnya, dia tidak punya keinginan
untuk menikah. Perempuan kekasihnya itu
bernama Shinta Yusita.
Di kota tempatnya tinggal sebelum ini,
dia menghabiskan waktunya hanya untuk jalan-jalan, merenung, dan minum-minum.
Dia pindah dari kota ke kota. Menyewa rumah untuk dua sampai tiga bulan, lalu
ditinggalkannya sebelum waktu sewa itu habis. Dan kota terkutuk ini adalah kota
singgahnya yang terakhir.
Tidak ada yang tahu darimana dia berasal
dan di daerah mana asmara yang dijalin bersama kekasih malangnya itu. Dia
tertutup sekali. Bahkan dulu dia menjadi pegawai pemerintahan apa juga tidak
cerita. Sama seperti pada kalian selama ini, dia hanya bilang dia dari selatan.
(bersambung)
1 comment
Kira-kira kapan sambungannya disambungkan lagi? Hehe
Btw, terimakasih untuk masih selalu ingat :)
Posting Komentar