Oleh Mohamad Tohir
SAYA PERTAMA kali tahu-meskipun
hanya sekilas-film ini akhir tahun lalu, dari sebuah catatan di Kompas Minggu
(Desember 2012). Sejak itu saya mencoba untuk bertanya-tanya ke beberapa rental
film di Bojonegoro, ternyata belum ada. Search di internet juga belum bisa,
baru sebatas thriller belaka. Hingga pada akhirnya, brengsek betul, seorang
kawan perempuan saya berhasil medapatkannya. Sebulan kemudian, seorang kawan
lainnya (laki-laki)juga menontonnya. Saya pikir, saya yang akan menontonnya
kali pertama, eh ternyata… Dan tadi malam (21 Maret 2013), atas ide cemerlang
seorang kawan laki-laki saya itu, film itu ditonton bareng. Bersama kurang
lebih 11 penikmat film, Life of Pi menjadi hidangan nikmat di malam minggu.
Life
of Pie adalah film garapan sutradara ternama asal Taiwan, Ang Lee. Film-film
Ang Lee yang pernah kutonton lainnya adalah HULK (tentang makhluk ujicoba yang
dicoba hancurkan dan diciderai kemanusiaannya) dan Lust, Caution (tentang
perjuangan gerilya membebaskan China dari pendudukan Jepang). Life of Pie ini
memenangi Anugerah bergengsi prefilman dunia, Oscar, tahun lalu, kategori
sutradara terbaik.
Life
of Pie ini diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Yann Martel
(2001). Sebagai sebuah novel, tentu saja unsur fiksi amat dominan di sini. Bila
dibilang nyata, sulit dipercaya tentunya, terlebih ketika kita menyaksikan
bagaimana kecelakaan laut itu hanya menyisakan seorang saja, Pi, dan beberapa
binatang yang melesat, terempas, masuk pada sekoci yang membawa tubuh Pi. Amat
kentara adegan itu begitu dibuat-buat.
Adalah
seorang lelaki muda bernama Patel, yang gemar mengamati perilaku binatang.
Terlebih, ayahnya adalah pemilik sebuah kebun binatang. Patel seperti kesirep
pada binatang-binatang itu. Sampai-sampai ia tak butuh jam unutk mengetahui
waktu. Gerak waktu, pagi, waktu sarapan, dan berangklat sekolah ia tandai dari
perilaku binatang-binatang itu. Patel biasa dipanggil dengan Pi, yang menjadi
judul film ini.
Dari
binatang-biantang itu, ada satu yang kelak menjadi bidikan cerita. Adalah
Richard Parker (bukan Peter Parker tentunya), seekor harimau Bengali yang
pernah suatu ketika Pi ingin memberinya makan dengan tangan terbuka di
kandangnya. Sangkanya, binatang itu seperti manusia, sama-sama makhluk Tuhan,
punya hati dan perasaan sayang. Sang ayah menegurnya, menganggap ulahnya itu
gila, dan bahwa binatang tetaplah binatang, tak punya ikatan emosi dalam
kepalanya.
Suatu
ketika, karena entah suatu apa, keluarga Patel memutuskan berlayar ke Kanada
dan membawa semua binatang-binatangnya. Namun naas, pada malam hari di tengah
samudra Pasifik, mereka dihantam badai besar. Dalam situasi kalang kabut, Pi
membuka kandang-kandang binatang itu dan semua terlepas. Badai begitu besar dan
akhirnya menenggelamkan semua yang ada. Yang selamat Pi seorang, dalam sebuah
sekoci bersama seekor zebra. Paginya ketika badai reda, seekor orang utan
datang mendekat dengan berselancar pada beberapa tandan pisang. Bertambahlah
kawan Pi. Tak dinyana, seekor serigala juga ikut dalam sekoci itu, tersenmbuyi
di sebuah ruang dalam sekoci itu. Juga yang lebih mengagetkan, Parker juga.
Mereka berlima terombang-ambing di samudra raya tanpa arah.
Meski
dalam sebuah sekoci, hukum rimba tetap berlaku. Binatang-binatang itu kerah dan
menyisakan harimau Bengali itu dan Pie seorang. Ketika dua makhluk ini yang
tersisa, meski dalam suasana yang mengancam, cerita fantastis, miris,
menggelikan, dan mengharukan, mereka harus bersinergi bertahan hidup di tengah
laut.
Pi
adalah seorang spiritualis, meskipun agamanya tidak spesifik. Ia merasakan
tenteram saat salat, saat membaca al-Kitab, dan berhadapan dengan Dewa Wisnu.
Maka, petrualangannya di tengah samudra bersama parkerpun menjadi sebuah
perjalanan spiritual. Berbagai situasi bathin dilaluinya. Kesepian karena
ditinggal keluarga dan segala kepemilikannya, bencana alam yang mengancam
nyawanya, ketakutan, kemarahan, kasihan, hingga situsi ketidakberatian sebagai
sbuah pribadi di tengah hampa raya lautan maha luas. Ia menyapa Tuhan dalam
situasi-situasi itu. Hingga tibalah ia pada situasi paling mentog, pasrah.
Yakni, ketika badai menerjang lautan kembali. Ia sapa Tuhan Sang Maha Besar. Ia
satukan, seperti menyusun sebuah puzle, Tuhan-Tuhan yang tercerai berai oleh
agama.
Bersama
Parker ia terjengkang hampir binasa, namun pda situasi itulah ia merasakan
keindahan bersentuhan dan berdekatan dengan Parker. Rasa sayang, keterharuan,
dan cinta karena senasib sepenanggungan muncul dalam sanubari Pi. Ia merasa tak
bisa bertahan di tengah laut selama 227 hari tanpa kehadiran Parker. Bangunan jiwa
itu begitu kuat tertanam dalam diri Pi. Hingga suatu ketika, ia histeris karena
dikagetkan dengan kejadian yang meluluhlantakkan bangunan itu. Parker, ketika
mereka terdampar di sebuah pulau, pergi begitu saja meninggalkannya. Pada
akhirnya, ia kembali teringat dengan apa yang dikatakan ayahnya dulu, bahwa
binatang tetaplah binatang. Ia tak memiliki emosi apapun dengan manusia.
Life
of Pie mengingatkan saya pada film India era 90-an yang kerap menampilkan
keselarasan manusia-binatang. Manusia dengan gajah, ular, dan kuda hidup dengan
cinta kasih nampak di film-film itu. Namun Life of Pie seperti menyangkal hal
itu. Hanya saja, bukan hubungan kedua makhluk beda jenis itu yang ingin
dijadikan inti barangkali, melainkan bangunan spiritual. Ketersingkapan, kesadaran,
yang Ilahi sifatnya, nampaknya, dari pembacaan atas Life of Pi, ternyata harus
melalui berbagai situasi yang mencekam, melibatkan emosi, kemarahan, ketakutan,
kebahagiaan, dan kepasrahan yang semuanya itu benar-benar optimal atau mentog.
Secara
visual, Life of Pi benar-benar wonderful. Efek-efek cahaya dari ragam makhluk
lautan di tengah malam berbintang sungguh memukau. Kita tak pernah sekalipun
bertanya-tanya apakah semua itu buatan atau asli. Kita juga tak sesekali
mengumpat seperti bila kita menonton ftv Indosiar). Semua itu hadir seakan-akan
memberikan sentuhan di hati kita tentang sebuah kebesaran yang tak terukur. Ada
kekuatan dengan k besar yang tak tertangkap oleh k kecil kita ketika k besar
itu hadir di tengah ringkih tubuh kita yang terombang ambing di lautan maha
luas.
Hanya
saja, ada setitik kerinduan dari film India ketika tidak menemui tak dung tak
dung dan tarian gemulainya. Sekali yang dihadirkan di film ini, tak begitu
kuat, seakan hanya syarat saja. Mungkin karena ini karena faktor penggarapnya
yang bukan orang India. Meskipun, di film yang juga digarap oleh non-India
lainnya, kita menyaksikannya (film Oscar terbaik malah, Sumdolg Millionare,
garapan Danny Boyle. Seperti film India kebanyakan, lagunyapun, Jai Ho, menjadi
hits. )
Sebagai
seorang penonton atau pembaca kita boleh percaya atau tidak percaya,
sebagaimana yang ditawarkan Pi dalam ending film ini, kepada seorang
pewawancaranya. Namun yang jelas, pengalaman batin itu tidak dapat kita tolak,
sebagai situasi jiwa yang tentu saja pernah dialami oleh setiap manusia di
belahan bumi manapun. Namun, apakah kita perlu mengalami jungkir balik di
tengah samudra raya terlebih dahulu? Mungkin iya. Maka, kehidupan Pi di tengah
laut bersama Parker itu, menjadi bahan refleksi buat kita. Om, Swaha! Eh, Amin
Ya Allah!