BADAI PASTI BERLALU



kompasiana.com
Mohamad Tohir
Bung Eko Black yang minta

Kami bernafas di bawah naungan penuh tanya
Harus apa ini hidup?
Langkah yang slalu diterpa badai
Hampir mengampas tubuh kecil ini jatuh ke parit
Lalu kami bagun lagi dan jalan
Selama nafas masih punya dan mampu
Lalu badai menerpa lagi
Kami yang coba bertahan dalam badai derita ini
Ingin tahu betul apa arti ini hidup
Haruskah berpongah sesuka sepingin hati
Masa bodoh yang bernama moral-akhlak
Badai yang mengempas dan menerpa kami
Itu satu uji bagi tekad bulat ini
Kalau tak ridho dada kami pasti sudah hilang harapan
Lagipula tak selamanya kan badai
Badai berlalu saja
Dan kami tersenyum dan bertahan penuh ridho
29 Agustus 2007

Read More →

PUZLE ILAHI DI TENGAH LAUT


Oleh Mohamad Tohir

SAYA PERTAMA kali tahu-meskipun hanya sekilas-film ini akhir tahun lalu, dari sebuah catatan di Kompas Minggu (Desember 2012). Sejak itu saya mencoba untuk bertanya-tanya ke beberapa rental film di Bojonegoro, ternyata belum ada. Search di internet juga belum bisa, baru sebatas thriller belaka. Hingga pada akhirnya, brengsek betul, seorang kawan perempuan saya berhasil medapatkannya. Sebulan kemudian, seorang kawan lainnya (laki-laki)juga menontonnya. Saya pikir, saya yang akan menontonnya kali pertama, eh ternyata… Dan tadi malam (21 Maret 2013), atas ide cemerlang seorang kawan laki-laki saya itu, film itu ditonton bareng. Bersama kurang lebih 11 penikmat film, Life of Pi menjadi hidangan nikmat di malam minggu.
Life of Pie adalah film garapan sutradara ternama asal Taiwan, Ang Lee. Film-film Ang Lee yang pernah kutonton lainnya adalah HULK (tentang makhluk ujicoba yang dicoba hancurkan dan diciderai kemanusiaannya) dan Lust, Caution (tentang perjuangan gerilya membebaskan China dari pendudukan Jepang). Life of Pie ini memenangi Anugerah bergengsi prefilman dunia, Oscar, tahun lalu, kategori sutradara terbaik.
Life of Pie ini diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Yann Martel (2001). Sebagai sebuah novel, tentu saja unsur fiksi amat dominan di sini. Bila dibilang nyata, sulit dipercaya tentunya, terlebih ketika kita menyaksikan bagaimana kecelakaan laut itu hanya menyisakan seorang saja, Pi, dan beberapa binatang yang melesat, terempas, masuk pada sekoci yang membawa tubuh Pi. Amat kentara adegan itu begitu dibuat-buat.
Adalah seorang lelaki muda bernama Patel, yang gemar mengamati perilaku binatang. Terlebih, ayahnya adalah pemilik sebuah kebun binatang. Patel seperti kesirep pada binatang-binatang itu. Sampai-sampai ia tak butuh jam unutk mengetahui waktu. Gerak waktu, pagi, waktu sarapan, dan berangklat sekolah ia tandai dari perilaku binatang-binatang itu. Patel biasa dipanggil dengan Pi, yang menjadi judul film ini.
Dari binatang-biantang itu, ada satu yang kelak menjadi bidikan cerita. Adalah Richard Parker (bukan Peter Parker tentunya), seekor harimau Bengali yang pernah suatu ketika Pi ingin memberinya makan dengan tangan terbuka di kandangnya. Sangkanya, binatang itu seperti manusia, sama-sama makhluk Tuhan, punya hati dan perasaan sayang. Sang ayah menegurnya, menganggap ulahnya itu gila, dan bahwa binatang tetaplah binatang, tak punya ikatan emosi dalam kepalanya.
Suatu ketika, karena entah suatu apa, keluarga Patel memutuskan berlayar ke Kanada dan membawa semua binatang-binatangnya. Namun naas, pada malam hari di tengah samudra Pasifik, mereka dihantam badai besar. Dalam situasi kalang kabut, Pi membuka kandang-kandang binatang itu dan semua terlepas. Badai begitu besar dan akhirnya menenggelamkan semua yang ada. Yang selamat Pi seorang, dalam sebuah sekoci bersama seekor zebra. Paginya ketika badai reda, seekor orang utan datang mendekat dengan berselancar pada beberapa tandan pisang. Bertambahlah kawan Pi. Tak dinyana, seekor serigala juga ikut dalam sekoci itu, tersenmbuyi di sebuah ruang dalam sekoci itu. Juga yang lebih mengagetkan, Parker juga. Mereka berlima terombang-ambing di samudra raya tanpa arah.
Meski dalam sebuah sekoci, hukum rimba tetap berlaku. Binatang-binatang itu kerah dan menyisakan harimau Bengali itu dan Pie seorang. Ketika dua makhluk ini yang tersisa, meski dalam suasana yang mengancam, cerita fantastis, miris, menggelikan, dan mengharukan, mereka harus bersinergi bertahan hidup di tengah laut.
Pi adalah seorang spiritualis, meskipun agamanya tidak spesifik. Ia merasakan tenteram saat salat, saat membaca al-Kitab, dan berhadapan dengan Dewa Wisnu. Maka, petrualangannya di tengah samudra bersama parkerpun menjadi sebuah perjalanan spiritual. Berbagai situasi bathin dilaluinya. Kesepian karena ditinggal keluarga dan segala kepemilikannya, bencana alam yang mengancam nyawanya, ketakutan, kemarahan, kasihan, hingga situsi ketidakberatian sebagai sbuah pribadi di tengah hampa raya lautan maha luas. Ia menyapa Tuhan dalam situasi-situasi itu. Hingga tibalah ia pada situasi paling mentog, pasrah. Yakni, ketika badai menerjang lautan kembali. Ia sapa Tuhan Sang Maha Besar. Ia satukan, seperti menyusun sebuah puzle, Tuhan-Tuhan yang tercerai berai oleh agama.
Bersama Parker ia terjengkang hampir binasa, namun pda situasi itulah ia merasakan keindahan bersentuhan dan berdekatan dengan Parker. Rasa sayang, keterharuan, dan cinta karena senasib sepenanggungan muncul dalam sanubari Pi. Ia merasa tak bisa bertahan di tengah laut selama 227 hari tanpa kehadiran Parker. Bangunan jiwa itu begitu kuat tertanam dalam diri Pi. Hingga suatu ketika, ia histeris karena dikagetkan dengan kejadian yang meluluhlantakkan bangunan itu. Parker, ketika mereka terdampar di sebuah pulau, pergi begitu saja meninggalkannya. Pada akhirnya, ia kembali teringat dengan apa yang dikatakan ayahnya dulu, bahwa binatang tetaplah binatang. Ia tak memiliki emosi apapun dengan manusia.
Life of Pie mengingatkan saya pada film India era 90-an yang kerap menampilkan keselarasan manusia-binatang. Manusia dengan gajah, ular, dan kuda hidup dengan cinta kasih nampak di film-film itu. Namun Life of Pie seperti menyangkal hal itu. Hanya saja, bukan hubungan kedua makhluk beda jenis itu yang ingin dijadikan inti barangkali, melainkan bangunan spiritual. Ketersingkapan, kesadaran, yang Ilahi sifatnya, nampaknya, dari pembacaan atas Life of Pi, ternyata harus melalui berbagai situasi yang mencekam, melibatkan emosi, kemarahan, ketakutan, kebahagiaan, dan kepasrahan yang semuanya itu benar-benar optimal atau mentog.
Secara visual, Life of Pi benar-benar wonderful. Efek-efek cahaya dari ragam makhluk lautan di tengah malam berbintang sungguh memukau. Kita tak pernah sekalipun bertanya-tanya apakah semua itu buatan atau asli. Kita juga tak sesekali mengumpat seperti bila kita menonton ftv Indosiar). Semua itu hadir seakan-akan memberikan sentuhan di hati kita tentang sebuah kebesaran yang tak terukur. Ada kekuatan dengan k besar yang tak tertangkap oleh k kecil kita ketika k besar itu hadir di tengah ringkih tubuh kita yang terombang ambing di lautan maha luas.
Hanya saja, ada setitik kerinduan dari film India ketika tidak menemui tak dung tak dung dan tarian gemulainya. Sekali yang dihadirkan di film ini, tak begitu kuat, seakan hanya syarat saja. Mungkin karena ini karena faktor penggarapnya yang bukan orang India. Meskipun, di film yang juga digarap oleh non-India lainnya, kita menyaksikannya (film Oscar terbaik malah, Sumdolg Millionare, garapan Danny Boyle. Seperti film India kebanyakan, lagunyapun, Jai Ho, menjadi hits. )
Sebagai seorang penonton atau pembaca kita boleh percaya atau tidak percaya, sebagaimana yang ditawarkan Pi dalam ending film ini, kepada seorang pewawancaranya. Namun yang jelas, pengalaman batin itu tidak dapat kita tolak, sebagai situasi jiwa yang tentu saja pernah dialami oleh setiap manusia di belahan bumi manapun. Namun, apakah kita perlu mengalami jungkir balik di tengah samudra raya terlebih dahulu? Mungkin iya. Maka, kehidupan Pi di tengah laut bersama Parker itu, menjadi bahan refleksi buat kita. Om, Swaha! Eh, Amin Ya Allah!


Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates