1 Jam Bersama Buku


Mohamad Tohir

KAMIS minggu lalu (29 Mei), bersama beberapa kawan saya bicara soal buku-buku yang terakhir kami baca. Pertemuan itu terpaksa. Saya bilang pada mereka, pada saat-saat tertentu kita harus memaksa membaca buku dan saling berbagi. Mereka adalah penghuni Rumah Baca yang saya tak paham mengapa mereka tak pernah menampakkan sikap pada buku. Mereka adalah Bambang Sofi, Fatoni, dan Eka. Kami menamainya 1 Jam Bersama Buku.
Rumah Baca ini ibarat gentong. Airnya adalah buku-buku. Sekarang adalah jamannya gentong. Kita adalah gelasnya. Kalau ingin dapat sesuatu harus menyiduk sendiri air pada gentong. Saya katakan lagi, buku-buku itu adalah endapan dari sebuah gerak kreativitas. Gerak itu tidak akan dapat kita rasakan tanpa kita menjamahnya lembar demi lembar. Membaca itu adalah kerja keras untuk mendapatkan atau menguak sesuatu. Saya contohkan sebuah dokumen Imam Muslim berjudul Jami’ as-Shahih (Shahih Muslim) yang kebetulan ada di rak buku Rumah Baca. Semua yang tertera dalam lembaran-lembaran itu adalah endapan dari kerja keras dan berdarah-darah oleh Imam Muslim ketika beliau menemui sebuah masa tragik di mana pemalsuan hadits demi kuasa muncul bak kecambah sehabis turun hujan di jamannya (Dinasti Umawiyah).
Saya bercerita tentang sebuah novel berjudul Anak Bajang Menggiring Angin, sebuah epos Ramayana yang diceritakan dengan sentuhan spiritual oleh Sindhunata yang seorang romo dan pakar filsafat. Cerita wayang yang tak lekang oleh jaman. Ramayana atau Mahabarata adalah sebuah epos yang bicara soal tokoh-tokoh, tapi pada jiwa. Setiap tokoh adalah jiwa. Jiwa yang ada pada diri manusia. Rahwana, Anoman, Arjuna, Bhisma adalah jiwa-jiwa dalam diri manusia. Selama manusia masih ada, Ramayana atau Mahabarata akan tetap ada.
Bambang Sof bercerita sebuah novel karya Paulo Coelho tentang pentingnya sebuah cita-cita, perjuangan, kesepian, pengembaraan, dan kesabaran. Buku itu dijadikan bacaan wajib di fakultas Ekonomi di sebuah perguruan tinggi di Brunei Darusalam dan negara-negara lainnya. Novel itu berjudul The Alchemist. Ada seorang anak gembala bernama Santiago yang suatu malam bermimpi sebuah harta karun menantinya di sebuah kawasan yang ada piramidanya. Dia memulai perjalanan itu dan menemui banyak kejadian yang membuatnya makin mencintai hidup.
Fatoni bercerita tentang sebuah buku tentang penemuan makam Yesus. Dia tak tuntas membaca buku itu dan menceritakannya secara membingungkan. Katanya, buku itu diberi pengantar oleh James Cameron (penggarap film Titanic dan Avatar).
Sebuah buku berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dilontarkan oleh Eka. Dia tidak tahu siapa penulisnya. Membaca buku tanpa tahu siapa penulisnya rasanya menjengkelkan sekali, seperti menyentuh sebuah tahi yang tiba-tiba ada di sajadah saat hendak shalat. Tapi sayang dia sudah lupa apa isinya. Dia sudah lama sekali membaca buku itu sampai lupa.
Ya, begitulah. Sebatas menengok!
Bojonegoro, 06 Juni 2014

Read More →

65 Ribu

Oleh Mohamad Tohir


SAAT catatan ini mulai saya buat, saya sedang duduk di bangku sebuah warung kopi di ujung Kabupaten Jombang. Beberapa meter di depanku adalah hutan jati di bawah pengelolaan KPH Mojokerto. Di balik hutan sudah masuk kabupaten Lamongan (wilayah Babat).
Wanita berumur meletakkan kopi di meja, kopi putih, yang segera saya hirup aroma waningnya kemudian minum. Hmmmh, sedaaap!
Saya baru saja mengikuti sebuah workshop penulisan kreatif di STIKIP PGRI Jombang. Saya baru saja melihat, bertatapan, salaman dengan Seno Gumira Ajidarma, salah satu idola saya. Dia diundang sebagai pembicara di workshop itu. Saya tahu informasi itu dari kawan saya Wu Lang. Terimakasih Wu Lang!
Saya tak punya kesempatan ngobrol dengannya. Beda dengan Joko Pinurbo yang amat biasa riwa-riwi, Seno tidak. Dia lumayan dikawal.
Saya hanya minta tanda tangannya pada halaman muka buku karyanya; Trilogi Insiden. Saya senang sekali karena saya yakin sekali dari sekian yang hadir, hanya saya yang membawa buku karyanya. Saat dia memandang saya sesaat setelah memberi tandatangan, rasa senang saya bertambah. Kemudian kami salaman. Sudah. Tanpa bicara. Memang, seperti Paulo Coelho, “idola tak bicara”.
Sepulangnya saya mampir untuk ziarah ke makam Kiai Wahab Hasbullah. Saya pikir akan antri atau berdesak-desakan di sana. Tapi saya keliru. Tak ada apa-apa di dekat makam itu selan saya. Pusara Kiai Wahab tidak ada tanda atau tulisan namanya di nisan. Kiai besar perdiri NO itu kesepiankah?
Saat sampai pada catatan ini, seorang pria keluar dari kamar dalam warung ini diikuti seorang perempuan muda. Saya tak begitu perhatikan awalnya, hingga saat si lelaki duduk sebentar di samping saya lantas kemudian menanyakan totalannya. Perempuan menjawan 65 ribu. Saya perhatikan perempuan yang menjawab tadi. Dandanannya menor. Dia bukan perempuan yang tadi melayani kopi saya. Jadi, ada dua perempuan ternyata.
Setelah si lelaki pergi, si menor menyerahkan uang itu pada perempuan pelayan kopi tadi dan ditanya uang apa itu. Si menor menjawab itu uang es sprite dan kamar. O, saya paham sekarang.
Yah, sebatas menengok!
Djombang, 03 Juni 2014

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates