SETELAH beberapa kali nggak ikutan Klub Lapar, Minggu malam kemarin
akhirnya aku datang. Aku tiba duluan di Taman Rajekwesi, lalu Bu Cusnul, Pak
Rizki, Pak Radinal, Pak Teguh, lalu Pak Ilham dan Bu Lina.
Buku setebal 281 halaman karya peraih Nobel
bidang sastra tahun 1920 itu masih belum beranjak dari bagian pertama
(seluruhnya ada 4 bagian). Aku sebenarnya sudah bosan mendengar ocehan tokoh
aku yang bagiku terlalu banyak omong itu. Bayangkan, dari halaman pertama
hingga empat puluh, cerita masih melingkar-lingkar soal keluhan tokoh aku yang
nggak kunjung bisa menulis. Pikirannya berputar-putar nggak karuan seperti
orang stres tapi nggak satu kalimat pun berhasil dituliskannya pada selembar
kertas. Selain itu, aku juga merasa benar-benar terbawa sugesti teman-teman
yang kerap bilang bahwa tokoh aku dalam novel itu mirip diriku. Sugesti itu
menjadikanku merasa seperti mencium pipiku sendiri saat membaca Lapar. Perasaan
itu membuatku punya alasan pribadi yang kuat untuk nggak ikut. Daripada merasa
terteror seperti itu, ya mendingan nonton duet Dani Daniels dengan Allie Haze.
Satu-satunya yang menjadikan aku tetap ikut
gabung adalah karena membaca buku di tengah sekeliling yang sedang asyik mojok
berduaan di sudut gelap taman adalah laku yang entah gimana. Nah entah gimana
itulah yang membuatku semangat untuk ikut.
Kembali ke cerita tokoh menyedihkan yang enggak
kunjung bisa nulis itu. Kondisi menyebalkan itu akhirnya mengalami perubahan
sebagaimana tergambar dalam kalimat pada paragraf di halaman 40 buku kecil itu.
Tiba juga saat di mana tokoh aku akhirnya bisa menulis beberapa halaman yang
dia sebut sebagai sebuah kata pengantar. Begini yang ditulis tokoh aku,"
Perlahan-lahan pikiranku mulai tenang dan terpusat. Aku hati-hati, serta
menulis pelan dan sesudah matang dipertimbangkan, beberapa halaman sebagai kata
pengantar, untuk apa saja; boleh jadi suatu riwayat perjalanan, suatu artikel
politik, semauku nanti. Kata pengantar itu hebat sekali, dan pasti cocok untuk
karya mana saja."
Membaca paragraf itu rasanya lega sekali. Itu
adalah sebuah momen sesaat setelah si aku hampir putus asa. Pada paragraf
sebelumnya, dan itu yang mendominasi obrolan kami di pertemuan kali ini, si aku
hendak berdiri namun duduk kembali lalu menulis.
Paragraf itu begini," Aku sendiri merasa
seperti serangga kecil yang sedang sekarat di dalam cengkeraman kebinasaan
dalam dunia yang sudah sesat ini. Aku berdiri, dan diburu oleh rasa takut yang
khas, aku berdiri melangkah pergi. Tidak! teriakku, dan mengepalkan kedua
tangan, ini harus berakhir! Dan aku duduk lagi, mengambil pensil sekali lagi
dan bertekad bulat untuk menulis suatu artikel. Pasti tak ada gunanya untuk
menyerah pada keputusasaan, padahal sewa kamar belum dibayar."
Kami lumayan lama mengulik maksud dan apa yang
bisa kami maknai dari kalimat: Aku berdiri, dan diburu oleh rasa takut yang
khas, aku berdiri melangkah pergi. Yakni mengenai diburu, rasa takut,
rasa takut yang khas.
Sebenarnya yang banyak mengulik adalah Pak Rizki
dan Bu Cusnul. Soalnya, konsentrasiku buyar oleh kemunculan seekor kucing yang
berputar-putar dan ngeang-ngeong di tengah taman. Kukira sebelumnya adalah
anjing, eh jebulnya kucing. Aku lalu memanggil, merengkuh dan mengelus-elus
kucing itu. Aku begitu menyukai kucing; makhluk yang katanya Pak Wisnu adalah
generasi setelah manusia di bumi ini punah. Karena sibuk dengan kucing,
otomatis aku ketinggalan jauh obrolan mereka. Saat kembali aku hanya bisa
menangkap bahwa mereka tengah debat tipis mengenai kalimat itu. Mereka tengah
mempermasalahkan tiga pokok yang aku sebut di atas tadi (diburu, rasa takut,
rasa takut yang khas). Misalnya Bu Cusnul yang mempersoalkan kenapa rasa
takut kok nggak rasa gelisah dan Mas Rizki yang menanyakan rasa takut yang khas
itu bagaimana. Pak Rizki pun menjawab sendiri; barangkali takut yang dirasakan
si tokoh adalah takut pada kemalasan, mengingat pada kalimat selanjutnya bahwa
tokoh aku kembali duduk dan menolak untuk putus asa.
Alih-alih turut menyumbang rembug, aku malah
bingung mereka mempersoalkan apa. Barangkali konsentrasiku masih ambyar karena kesirep
kucing tadi. Yang menggelikan aku malah mengulik persoalan lain yang sepintas
lalu sepele, yakni tentang susunan kalimat itu. Tepatnya masalah keberadaan dan
peletakan koma dalam kalimat itu.
Paragraf selanjutnya menjelaskan tentang keluhan
tokoh aku yang pikirannya kembali zonk. Dia lagi-lagi nggak bisa menuliskan
sesuatu sama sekali pada kertasnya seperti yang sudah-sudah. Hantu-hantu
masalah yang memburunya muncul lagi membuyarkan konsentrasinya.
Obrolan pun kami sudahi. Setelah itu obrolan
berpindah pada apakah di Pilkada kali ini kami akan golput atau nggak.
Bojonegoro, 22 Januari 2018
Catatan ini adalah dokumentasi tulis ala kadarnya tentang pertemuan Klub
Lapar kemarin Minggu (21/01) malam, bukan semacam kritik karya atau apalah.
Catatan yang bersifat kritik akan aku buat berbeda. Terimakasih!