Jurnalis di Dalam Komik

Oleh Mohamad Tohir

Seorang kawan, dia adalah jurnalis, bertanya pada saya buku apa yang isinya tentang seorang jurnalis. Karena menghindari dialog yang berat-berat saya akhirnya mengatakan pada dia ada beberapa komik yang isinya tentang seorang jurnalis. Untuk meringkas, saya sebutkan 3 buku kepada dia.

Pertama adalah Palestina Membara, Duka Orang-Orang Terusir, karya Joe Sacco. Isinya tentang perjalanan Joe Sacco saat meliput peristiwa kamanusiaan di Palestina. Membaca komik itu kita akan diasyikkan dengan perjalanan penuh ketegangan, kekocakan, kebingungan, dan lain-lain.

Sebenarnya buku itu terbilang berat. Bagaimana tidak? Isinya tentang duka orang Palestina yang sepanjang sejarah selalu mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh tetangga sebelah. Ada penembakan, pengeboman, pembunuhan yang setiap hari bisa saja terjadi di sana. Ketegangan terus menerus di siang dan malam.

Pengantar buku ini juga bikin keren, Erward Said dan Goenawan Mohamad. Edward Said adalah seorang intektual yang terkenal dengan teorinya mengenai orientalisme, yaitu kajian mengenai Barat memandang Timur. Barat itu dominan dan Timur itu didominasi, orientalime berkata seperti itu. Barat itu modorn, Timur itu kuno. Selalu ada semacam hadap-hadapan semacam itu. Tapi, Joe Sacco adalah salah satu orang Barat melepaskan hal-hal semacam itu. Kita dapat membacanya sendiri, menikmati gambar-gambarnya yang lucu-lucu.

Joe Sacco hadir sebagai tokoh utama dalam komiknya sendiri ini. Kita bisa melihat bagaimana dia melakukan wawancara, cara dia memasuki tempat berbahaya, pertemuan-pertemuannya dengan narasumber unik, narasumber yang mengalami keterpurukan, dan lain-lain.

Yang kedua adalah komik Tin Tin karya Herge. Tin Tin ini isinya lebih ke petualangan-petualangan. Dia jenis jurnalis yang hari ini bisa ada di Mesir dan besok ada di Belgia. Itu untuk mengusut sebuah kasus kelompok rahasia misalnya.

Perjalanan Tin Tin selalu ditemani oleh anjingnya yang setia, Snowy, dan kawannya yang pemabuk berat, Kapten Haddock. Kehadiran Kapten Haddok dalam komik ini cukup mewarnai jalannya cerita. Kalau misalnya tidak ada Kapten Haddock, cerita Tin Tin rasanya hambar. Cuma pengungkapan kasus biasa. Dan selera humor Tin Tin sangat lemah. Komik tanpa ada yang lucunya tentu saja bukan komik.

Nah Kapten Haddock yang punya peran lucu-lucuan itu. Selain pemabuk, dia adalah pemarah. Saat marah inilah, pembaca pasti tertawa. Dia pasti mengumpat dengan kata-kata yang di luar kewajaran saat marah. Umpatannya keji dan lucu sekaligus. Misal umpatannya adalah "seribu topan badai, kodok kesasar, racun tikus, biang panu, babon bulukan, jin peot," dan lain-lain. Sumpah serapah itu sunguh berhasil mebuat pembacanya tertawa sampai lapar.

Yang lainnya adalah karya Seno Gumira Ajidarma, Sukab Intel Melayu. Sebenarnya ini bukan tentang jurnalis, tapi tentang seorang detektif. Tapi cerita pengungkapan suatu kasus itulah yang dekat dengan dunia jurnalis.

Dari awal sudah tergambar jelas. Ini komik akan lucu. Belum membaca isinya sudah ada cap buat Sukab di bagian awal buku, "detektif penggemar sastra dan filsafat yang tugasnya selalu gagal".

Ceritanya tentang Sukab, seorang intel dengan pakaian khas ala detektif Dick Tracy dari Amerika. Dia dapat tugas bosnya untuk mencari harta Centini yang didapat dari hasil korupsi selama 30 tahun. Tidak ada kejelasan bagaimana tentang harta itu, tetapi Sukab menurut saja apa kata bosnya. "Kalau semuanya jelas, untuk apa ada Intel," batin Sukab menghibur diri. Sukab punya 2 pembantu, namanya Paidi dan Jom Bon yang bertugas sebagai informan. Cerita mulai menemukan bentuknya ketika Sukab menemukan petunjuk awal yakni saat membuntuti 2 orang jaksa yang bertugas memburu harta Centini. Namun seperti biasa dia mengalami kegagalan karena 2 orang jaksa tersebut tewas akibat mobilnya di tabrak lari oleh mobil Land Cruiser.

Seperti itulah, kegagalan-kegagalan sering menghinggapi dirinya. Sebagian besar karena pikirannya yang lelet. Dia punya alam pikirannya sendiri yang selalu dipelihara dan dinikmati sendiri padahal semestinya dia harus sigap bertugas. Akhirnya dia sering sekali terlambat dalam bertindak.

Begitulah. Namanya komik sudah pasti menghibur. Membaca komik seperti mendapat sebuah pesan bahwa buat serius-serius menjalani hidup. Hidup ini kan cuma main-main. Hidup ini penuh hal-hal yang lucu. Sesuatu yang semestinya begini tetapi ternyata begitu adalah hal yang lucu. Seseorang yang semestinya kaya tetapi ternyata melarat, itu lucu. Hidup ini harusnya ditertawakan saja.
Selepas tertawa, lalu apa? Nah....

Read More →

Pembaca Buku Yang Tidak Bahagia

(Resensi Novel Matilda Karya Roald Dahl)

Oleh Mohamad Tohir
SAYA baru merampungkan sebuah buku yang menyenangkan, mencerahkan dan mencengangkan. Buku itu adalah sebuah novel karya penulis kebangsaan Inggris bernama Roald Dahl (1916-1990). Judulnya Matilda. Setelah membaca itu, gairah membaca saya semakin membara. Saya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan tokoh di dalam buku ini yang luar biasa.

Buku itu berkisah tentang pembaca buku yang terasing dari komunitasnya, di tengah keluarga dan teman-teman sekolahnya. Lokasi cerita adalah di sebuah kota di Inggris. Namanya Matilda. Dia gadis kecil yang baru saja masuk sekolah. Dia hidup di tengah keluarga yang mendewa-dewakan harta dan gaya hidup mewah. Ayahnya adalah pengepul mobil rongsokan yang dijual kembali setelah diremake begitu rupa sehingga nampak baru. Ibunya adalah seorang wanita sosialita yang punya gaya hidup mewah, tidak cakap memasak, terlalu modis dan menor dan sering menghabiskan waktu bermain bingo. Pokoknya, orangtua Matilda adalah sosok orangtua yang tidak mau tahu apa dan bagaimana kehidupan anaknya. Mereka tidak pernah menyadari bahwa anaknya, Matilda, mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak lain. Kalaupun toh tahu, mereka tidak akan pernah percaya.

Matilda bosan hidup di tengah-tengah keluarga yang menjalani hidup dengan rutinitas yang begitu-begitu saja. Dia melampiaskan itu dengan membaca buku. Padahal usianya baru sekitar 4-5 tahun. Suatu kali ia meminta uang kepada ayahnya untuk beli buku. Bukannya dituruti dan disambut dengan baik, Matilda malah dapat makian. Bukankah apa yang kita inginkan dan ingin tahu sudah bisa didapat lewat televisi? Ya, keluarga Matilda adalah keluarga yang mendewakan televisi. Mereka menghabiskan watu bersama untuk nonton televisi dan menganggapnya sebagai guru. Gaya hidup mereka adalah gaya hidup karena iklan televisi.

Akhirnya, Matilda melampiaskan kekesalannya dengan mengunjungi perpustakaan umum di kota. Awalnya, dia membaca buku anak-anak, tetapi setelah buku anak habis, dia membaca habis karya-karya orang dewasa. Dia membaca karya Charles Dickens, Ernest Hemingway, dan penulis-penulis besar lainnya.
Saat tiba waktunya masuk sekolah, Matilda dikirim ke sekolah milik Miss Trunbull yang ternyata tidak lain adalah pelanggan ayahnya sendiri. Miss Trunbull adalah kepala sekolah yang berbadan superbesar dan jahat tiada terkira kepada anak-anak. Dia tidak suka sama sekali pada anak kecil. Anak kecil bagi Miss Trunbull adalah kecoa dan lalat yang harus dibasmi. Dia mengaku bahagia karena tidak pernah dilahirkan sebagai anak-anak. Entah bagaimana maksudnya. Sekolah di lembaga miliknya seperti malapetaka bagi anak kecil. Dia tak segan menyiksa anak-anak dengan menjewer telinga mereka sambil menggantung tubuhnya lalu dilempar layaknya melempar sebuah bungkus makanan. Tenaganyapun luar biasa besar. Sampai-sampai kalau ada anak yang melaporkan kekejaman yang dialaminya oleh Miss Trunbull, orang tua mereka tidak akan percaya ada orang sekejam dan sekuat itu.

Begitulah pada akhirnya novel ini menemukan cerita sesungguhnya ketika Matilda bertemu Miss Honey, guru kelasnya. Dengan Miss Honeylah dia bertemu, secara fisik maupun secara jiwa. Miss Honeylah yang bisa memahami kecerdasan dan kelebihan Matilda. Miss Honey tahu dan mengerti bahwa Matilda sudah bukan waktunya lagi belajar bersama anak-anak TK. tetapi dia harus lebih pas lagi berada di kelas paling akhir. Matilda tanpa berumit-rumit mampu menghitung sesuatu yang semestinya itu hanya mulai diajarkan di kelas akhir.

Hingga pada akhirnya Matilda membantu menyelesaikan masalah yang menimpa Miss Honey. Pasalnya, Miss Honey juga mengalami masalah serupa Matilda dari orang tuanya. Bahkan lebih parah lagi karena dia sampai terusir dari rumah dan seakan-akan dibuang. Ibunya berlaku kejam padanya sejak ayahnya meninggal. Rumah warisannnya diambil sepenuhnya oleh sang ibu dan dia terpaksa menyewa rumah yang sangat kecil dan tidak layak untuk ditempati oleh seorang guru cerdas, cantik, dan baik hati macam Miss Honey. Paling tidak begitulah pikir Matilda.

Siapa ibu yang telah kejam pada Miss Honey tersebut? Saya tidak akan mengulasnya di sini. Yang pasti saya sebagai pembaca yang terkadang agak malas membaca buku anak-anak, kali ini dibuat kaget, tercengang, dan harus menyatakan; salut! Setelah tahu siapakah sejatinya ibu Miss Honey, cerita yang sebelumnya nampak tercerai berai menjadi terang dan terjalin urutan yang rapi.

Sebagaimana cerita anak, umumnya pasti berakhir bahagia, begitulah adanya dengan novel ini. Matilda akhirnya hidup bahagia bersama Miss Honey dan berpisah dengan orang tua aslinya. Orangtuanya kabur karena kasus penipuan bisnis penjualan mobilnya.

Saya segera menemukan semacam kesadaran baru selepas membaca buku ini. Yakni ketika menyadari kenyataan bahwa para pembaca buku itu tidak semestinya lantas hidup bahagia. Kebahagiaan kerap dialami dan didapatkan secara lebih cepat oleh bahkan orang yang tidak membaca buku. Tidak ada jaminan para pembaca buku lantas lebih melejit karirnya, lebih pasti suksesnya. Saya yang sering-sering bilang bahwa kalau ingin sukses dan hidup bahagia, maka kuncinya harus membaca buku, lantas berpikir ulang. Matilda membuktikan itu. Dan orang-orang terpandang dan sukses di seklilingnya, orangtua Matilda dan Miss Trunbull contohnya, adalah orang-orang yang geli bila melihat atau berhadapan dengan buku.

Tapi buku ini, kembali lagi, adalah novel. Adalah fiksi. Meskipun tidak nyata, tapi paling tidak adalah cerminan atas pengalaman hidup faktual manusia. Apa yang dialami oleh fiksi tidak sekadar angan-angan kosong. Karena, seperti kata Seno Gumira Ajidarma, fiksi hidup di dalam pikiran. Pikiran siapa saja dan dimana saja. Bisa lebih luas pemaknaannya. Tergantung siapa yang memaknai dan bagaimana memaknai.

Siapa Roald Dahl? Saya termasuk orang yang terlambat mengetahui bahwa dia penulis luar biasa. Pada peringatan Worl Book Day pada 2003 silam, di Inggris diadakan polling kepada masyarakat siapa penulis yang digemari. Roald Dahl, di bawah JK. Rowling (pengarang Harry Potter) ternyata menyingkirkan nama-nama pengarang besar sekelas peraih Nobel seperti Ernest Hemingway, William Faulkner dan lain-lain.

Buku-buku karya Dahl antara lain The Gremlins, James and the Giant Peach, Charlie and the Chocolate Factory, The BFG, Revolting Rhyme, The Giraffe and the Pelly and Me dan masih banyak lagi lainnya.
Yang pasti, Matilda tidak rugi dibaca oleh siapapun. Karena, buku ini, meskipun tentang anak-anak, tidak lantas diperuntukkan hanya bagi anak-anak. Buku ini juga layak, bahkan sepertinya harus, dibaca oleh orang dewasa. Paling tidak mereka yang bergelut di dunia anak-anak. Paling tidak, mereka yang mempunyai anak.

Karena, kerap kali, orang tua memaksakan pikiran dewasanya untuk dipakai oleh pikiran anak-anak yang semestinya punya pikiran sendiri yang seringkali berbeda dan bisa jadi lebih baik. Membaca ini buku, paling tidak kita bisa mempertanyakan itu.

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates