Oleh Mohamad
Tohir
Judul: Ulid Tak Ingin ke Malayasia
Judul: Ulid Tak Ingin ke Malayasia
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Penyunting: Fenita Agustina
Penerbit: Jogja Bangkit
Tahun terbit: 2009
Tebal: 400 Halaman
SAYA baru saja membeli ini
buku. Dan saya merasa senang. Saya berharap Andapun senang. Judulnya Ulid Tak Ingin ke Malaysia.
Mengapa saya senang? Pertama,
buku ini murah. Bagaimana tidak murah? Tebalnya saja 400 halaman dan dibanderol
hanya dengan 10 ribu. Awalnya, saya berpikir penjualnya keliru. Tapi saya
urungkan untuk menanyakannya. Saya akhirnya berpikir bahwa ini hanya karena
saya terlalu serius berpikir bahwa harga buku itu pasti mahal.
Kedua, buku ini ditulis oleh
tetangga kita, orang Lamongan. Namanya Mahfud Ikhwan. Siapa dia?
Bagi saya, mempertimbangakan
latar belakang seorang penulis dalam memilih buku yang hendak saya baca atau
beli itu penting. Meski tidak selalu, karena saya juga sering sekali menemui
buku-buku bagus yang tidak saya ketahui samasekali latar belakang penulisnya.
Mahfud Ikhwan ini sorang
penulis yang gigih. Dia berproses dari tidak bisa menjadi bisa. Dari jurnalisme
kampus. Menulis untuk buku pelajaran. Menulis tentang sepak bola dan film
india. Dan kabar terbaru, belum lama ini, Mahfud Ikhwan diganjar sebagai juara
pertama sayembara penulisan novel Dewan Kesenian jakarta (DKJ). Judul novelnya Kambing
dan Hujan. Tentang dilema cinta sepasang kekasih berhaluan beda. Satu NU,
satunya Muhammadiyah.
Ketiga, novel ini bagus.
Memang sepintas lalu nampak seperti buku motivasi untuk perempuan berjilbab.
Sebab, sampulnya seorang perempuan muda yang sedang duduk termangu entah mikirin
apa.
Memang, buku itu tidak
diganjar penghargaan apa-apa. Bahkan, berdasarkan informasi yang saya terima,
novel ini sempat ditolak oleh beberapa penerbit. Di Jogja, yang dunia
penerbitannya seperti industri jajan rumahan itu, bahkan amat aneh kalu sebuah
buku sampai ditolak penerbit. Bisa jadi naskah itu sangat buruk. Atau
kemungkinan lain, ada indikasi tidak laku di pasaran.
Tapi, perlu diingat, buku ini
adalah novel pertama Mahfud Ikhwan. Sekarang dia sedang naik daun. Diperbincangankan
di mana-mana gara-gara bukunya menang DKJ. Dan kalau dia bisa terus menjaga
staminanya, tidak menutup kemungkinan dia bakal terus berkembang dan karyanya
bakal lebih bagus lagi. Saat dia berada di pucuk nanti, orang akan lupa kalu
dia pernah menulis buku semacam Ulid Tak Ingin ke Malaysia ini.
Saya ingin memberi ilustrasi.
Pramoedya Annata Toer yang namanya besar dan karyanya luar biasa itu, dulu
pernah menulis buku isinya tentang resep-resep obat Jawa. Naskah itu ditolak
oleh penerbit. Tidak ada yang tahu di mana itu naskah sekarang. Bisa jadi itu
adalah kalau saja naskah itu diterbitkan, bakal ramai yang mencarinya. Saya
membayangkan Mahfud bakal menemui nasib serupa. Maka tak ada salahnya memiliki
novel pertama Mahfud. Toh, bagi dia ini tentu saja istimewa. Jelek-jelek ini
buku pertama.
Tapi saya tak ingin
mengatakan bahwa buku ini jelek. Buku ini ditulis dengan baik. dengan
penelitian berdasarkan kisah nyata. Sebab, fiksi yang baik, kata para pakar,
tidak hanya ditulis berdasar imajinasi belaka. Tetapi ada kekuatan faktual di
balik kefiksiannya. Nah, buku ini demikian. Ceritanya tidak melayang di
awang-awang karena dekat dengan kehidupan sekitar. Tentang kehidupan anak desa,
yakni kehidupan petani bengkoang.
Namanya Ulid. Dia masih
kecil. Dia menikmati dan mencintai aktivitas orang-orang di desanya. Para
petani bengkoang. Penambang kumbung. Dia pendiam dan merasa risih dengan godaan
kawan-kawannya yang mencomblanginya dengan seorang cewek bernama Juwariyah. Dia
hidup di tengah sebuah pergeseran pola kehidupan masyarakat yang mendamba
mencari rejeki ke luar negeri, Malaysia khususnya. Dia tidak suka ke Malaysia
seperti banyak pemuda desa dan para laki-laki desa tersebut. Tapi ayahnya yang
seorang guru itu suatu ketika berangkat ke Malaysia karena ekonomi keluarga
masih bermasalah. Ke Malaysia, bagi Ulid, adalah tidak cinta Indonesia.
Makanya, dia marah dengan bapaknya ketika berangkat.
Suatu ketika Bapaknya pulang.
Tapi karena suatu kasus kriminal. Ulid jadi kian jengkel. Tambah jengkel lagi,
sebab kepulangan bapaknya ternhyata membuat ibunya yang berangkat ke Malaysia.
Nasib Ulid yang nampak sial tersebut itulah yang pada akhirnya membentuk
kepribadiannya. Tentang padangan-pandangannya terhadap mencari rejeki di luar
negeri dan urusan kesepian karena ditinggal orang tersayang.
Pokoknya membumi sekali. Saya
belum bisa menceritakan detailnya. Sebab saya kuatir Anda tidak jadi membeli
dan memilikinya. Sebab, kebanyakan orang memang lebih suka mendengar cerita
buku dari orang lain. Tapi, memilikinya tentu lebih nikmat. Yakinlah!
Foto Buku : www.heruls.net
*Pembaca
novel. Bergiat di Komunitas LESUNG, Bojonegoro