GARING



Oleh Mohamad Tohir




MALAM tadi, bersama-sama kawan Sindikat Baca, saya ke kahyangan api. Saya ikut saja mengikuti ajakan Shinta, seperti undangannya secara tertulis lewat pesan pendek seluler, ‘nonton’ Garin. Kalau biasanya yang saya tonton adalah karyanya, filmnya, kali ini orangnya.
Bayangan saya sebelum berangkat adalah saya bisa ketemu Garin dan dia akan ngobrol soal film. Kepada seorang kawan yang bertanya apa tema kedatangan Garin di Bojonegoro, saya menjawabnya secara ngawur bahwa kedatangannya untuk survei lokasi film terbarunya. Dia akan bikin film yang settingnya adalah Bojonegoro dan sebagian aktornya adalah putra Bojonegoro. “Isa uga kowe,” kata saya.
Tapi sayang sekali akhirnya saya kecewa. Saya hanya melihat Garin di panggung yang bicara tak karuan sambil membaca buku puisi Suyoto. Saya kaget dengan gaya bicaranya, ee…intonasi atau nadanya, mirip sekali dengan Suyoto. Saya juga heran mengapa kutipan kata-kata Bung Karno disampaikan dengan buruk sekali. Mengenai gaya bicara yang mirip tadi, kawan saya bilang, mentornya mungkin sama. Sama sekali Garin tak bicara soal film, sesuatu yang saya kira adalah bidang yang dikuasai dan digelutinya. Saya juga jengkel sekali dengan MC perempuan yang muncul di pembukaan yang bicara seperti orang bodoh. Saya geli sekali dengan kalimat ‘seorang sutradara kondang tingkat nasional dan internasional’.
Sungguh, saya tak begitu menikmati acara malam tadi. Garing sekali rasanya di dada. Saya tuntaskan kekecewaan dengan minum teh tanpa gula dan berlutut di depan api abadi. Tentu saja saya tak boleh kecewa berlebihan pada sesuatu di luar diri saya. Lha wong sebelumnya, saya tidak tahu temanya apa. Kalau kecewa, sudah tentu saya goblok sekali. Saya juga garing.
Tiba-tiba saya ingin memutar ingatan saya tentang film-film garapan Garin yang sudah saya tonton.
Garin adalah sineas kondang yang telah menciptakan beberapa fim sangar. Beberapa di antaranya adalah Daun di Atas Bantal, Bulan Tertusuk Ilalang, Cinta dalam Sepotong Roti, Mirror Never Lies, dan banyak lagi dan yang terbaru adalah Soegija dan Mata Tertutup.
Saya belum menonton semuanya, baru sedikit; Soegija, Under The Tree, Mata Tertutup, Mirror Never Lies dan saya senang sekali bisa menonton film pertamanya yang langsung diganjar Best Film FFI ’91, Cinta dalam Sepotong Roti. Saya nonton film ini dari pinjaman seorang teman asal Surabaya. Saat itu saya telah membaca novel adaptasinya (oleh Fira Basuki) dan ingin nonton filmnya.
Cinta Dalam Sepotong Roti adalah film mengharukan tentang cinta. Saya sampai menangis nonton film itu padahal saya tidak begitu suka menangis. Film itu mengisahkan sebuah hubungan yang rumit dalam cinta. Ada Mayang, suaminya (saya lupa namanya), dan Topan.
Mayang adalah seorang istri yang baik dan setia hingga pertengahan film. Ia begitu sabar menemani dan mendukung suaminya yang bermasalah dalam seks karena punya trauma. Suatu hari mereka pergi liburan, berniat terapi. Muncul Topan di sana. Topan adalah teman masa kecil mereka dan seorang fotografer. Karena Topan juga hendak pergi dengan tujuan yang sama, mereka ajak si Topan bergabung sekalian. Namun, sebagai penonton, saya langsung curiga pada Mayang dan Topan.
Dan terbukti, masalah mulai muncul secara pelan dan samar. Kian jelas bahwa mereka saling mencintai. Cinta topan ternyata sudah lama tersimpan dalam dada. Dia adalah lelaki yang tidak tertutup terhadap hubungan cinta. Dia menjalin hubungan dengan beberapa perempuan. Tapi hubungan itu benar-benar ‘tak pakai hati’. Topan lama menghilang karena tak punya harapan cintanya akan bertemu dengan cinta Mayang yang sebenanrya juga cinta. Sementara si Mayang, ia terlambat menyadari bahwan sebenarnya ia juga cinta. Saya begitu terbawa oleh kegelisahan dan pencarian Mayang pada cinta, bergelut dengan perasaannya sendiri apakah ini adalah cinta dan perasaan ini sudah terlampau lama saya rasakan tapi mengapa baru belakangan menyadarinya setelah keadaan berubah.
Saya ingin nonton filmnya yang lain sebenarnya, terlebih film-filmnya yang berjudul puitis seperti Bulan Tertusuk Ilalang (dari puisi Sapardi Djoko Damono), Dongeng Kancil untuk Negerinya, dan tentu saja Daun di Atas Bantal yang katanya adalah masterpiece si Garin.
Hmh!

Bojonegoro, 30 Desember 2013


Read More →

Anna (2)


mohamad tohir


SEBUAH buku menemani minggu pagi saya yang kesepian. Rispondimi judulnya, tertulis dengan font yang agak sulit terbaca di pojok kanan bawah kulit buku, karya Susanna Tamaro. Buku itu sudah lama saya melihatnya, tapi hati saya belum kunjung menyentuhnya. Asu!
Guru membaca saya, Nanang Fahrudin, membahasnya dua hari yang lalu-meski sebatas pada ingatan yang tak utuh (hanya seputar sampul buku dan sekilas karya Susanna Tamaro yang lain yang judulnya sulit dieja itu). Seorang guru membaca saya yang lain (ternyata guru membaca saya banyak sekali), Prawoto, juga pernah menyarankan saya membaca Susanna Tamaro, tapi yang Va’ Do Ti Porta Il Cuore (Pergilah Ke Mana Hati membawamu).
Ada tiga cerita dalam Rispondimi, yang terpisah satu sama lain namun menemukan benang merahnya pada makna cinta kasih dan Ketuhanan. Sayang sekali saya baru menuntaskan cerita yang terakhir, Hutan yang Terbakar. Sensasi yang muncul ketika membacanya adalah seperti saat saya membaca Paulo Coelho, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis –sama-sama melibatkan pemuka agama dan pesan-pesan religius penuh cinta.
Tokohnya adalah aku (Saverio), yang adalah seorang peminat tumbuhan dan botani. Dia adalah tipe pria penyendiri. Ia jatuh cinta dengan seorang perempuan cantik yang jadi murid baru di sekolahnya, Anna. Mereka nyambung karena sama-sama penyendiri-pendiam(172-173). Mereka kemudian menikah dan punya anak dan tinggal di dekat hutan.
Saverio bekerja sebagai pelindung hutan pinus yang berkewajiban menjaga kelestariannya dari kematian atau pembalakan liar. Dia hidup bahagia pada mulanya hingga kemudian masalah muncul.
Saverio adalah anti Tuhan nampak ketika Anna mulai berubah dan membuka diri pada gereja (187-188). Itu terjadi ketika Giulia, anak mereka sakit dan dirawat. Sejak itu Anna sering berhubungan dengan perawat Giulia (Silvia). Melaui perawat itulah kemudian Anna dekat dengan yang berbau Tuhan. Anna berubah. Anna jadi senang keluar rumah dan penampilannyapun berubah menjadi cerah. Adu argumentasi mulai terjadi antara ia dan Saverio. Dan Saverio mulai mendengus perubahan Anna dengan penuh curiga. “…kalau perempuan berubah, hanya ada satu alasan….. Dia jatuh cinta pada laki-laki lain”(192).
Suatu ketika, saat sedang bermobil, Saverio terlibat adu mulut dengan istrinya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah biarawan yang dalam anggapan Saverio adalah lelaki lain Anna. Mereka berdebat soal keberadaan Tuhan. Saverio mengebut dan hampir menabrak mobil di depannya sebelum kemudian dengan cekatan menghindarinya. Anna menangis ketakutan.
“Jadi, siapa yang menyelamatkan dirimu? Siapa yang menyelamatkan kita dari kecelakaan? Tuhan, atau aku?”(197).
Di sisi lain, hutan pinus juga bermasalah. Hutan pinus sekarat dan Saverio tak tahu sebabnya. Kemungkinan disebabkan oleh jamur, serangga, hujan asam, atau karena virus tak bisa dibuktikan oleh Saverio. Saverio sedih sekali, sebatang pohon mati dan mengacung ke langit dalam tempo yang lama sekali dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Suatu saat ia akan membakar hutan itu, pikir Saverio(200).
Di sinilah letak ceritanya sebenarnya, seperti judulnya, Hutan yang Terbakar. Hutan yang sekarat adalah isyarat untuk permenungan kalau Saverio menyadarinya. Saverio menyadari itu ketika Anna sudah mati. Anna mati di tangannya sendiri. Saverio membunuhnya ketika rasa cemburunya tak mampu ia tahan lagi.
Lewat surat biarawan, yang dicurigai ada affair dengan Anna itu, Saverio tersadar akan pertanda alam itu. Biarawan tertarik mengomentari pendapat terbaru Saverio tentang kematian pohon pinus bahwa mereka mati karena iri. Mereka mati karena iri berada tumbuh di tengah-tengah cemara putih dan merah serta pinus hitam. Pohon-pohon pinus, pada musim dingin, mengugurkan daunnya, sementara yang lain tidak. Biarawan mengomentari lewat surat kepada Saverio; Pohon-pohon pinus itu bukannya iri karena daun-daun jarumnya, melainkan karena cinta. Tidakkah juga demikian yang terjadi pada manusia? (208). Biarawan membandingkan dengan kisah-kisah di al-Kitab, tentang mengapa kain membunuh Abel dan Yusuf yang berusaha dibunuh oleh saudara-saudaranya. Orang yang mencintai menanggung resiko lebih besar dan sering harus membayar harga yang lebih tinggi.
Begitulah, menarik sekali kisah itu untuk permenungan! Tapi sayang, catatan ini terbatas sekali. Saya mencatat ini di sebuah warung kopi dan sebentar lagi harus beranjak karena kawan saya yang datang dari jauh sedang berkunjung dan tentu saja saya harus menemuinya dan meninggalkan catatan sebelum rampung. Tapi, paling tidak, kita telah menengok!

Bojonegoro, 28 Desember 2013

Read More →

Don't Play Boy




mohamad tohir




PADA sebuah sore, saya sedang kesepian dan menikmatinya di pinggir sungai di sebuah desa di Kecamatan Parengan-Tuban.
Sungai ini airnya bening. Kali Kening namanya, saya punya kenangan tersendiri padanya. Saya selalu mengunjunginya, meski hanya sekadar menyentuh airnya, tiap kali datang ke Binangun. Dulu saya sering mengangkut pasir dari sungai ini saat masih di Binangun (masuk Kecamatan Singgahan, jaraknya sekitar 10km dari desa itu).
Saya teringat dengan sungai di daerah saya, Bojonegoro –Bengawan Solo – beberapa minggu yang lalu meluap airnya. Beberapa  desa di pinggir bengawan tenggelam poleh banjir. Sekarang sudah tidak lagi. Kusetel lagu Bengawan Solo ciptaan almarhum Gesang yang dinyanyikan ulang oleh Bosanova Jawa.
Tak lama kemudian,  seorang perempuan berjalan melintasi saya. Umurnya sekitar 40-50an dan hanya mengenakan kain jarik. Sekilas dia memandang saya namun saya tak hiraukan. Sekilas saya dapat menangkap wajah cantik ibu-ibu itu. Dia berjalan terus ke bawah lalu menuju sebuah kelokan yang agak rimbun oleh dedaunan. Dia nyemplung di sana dan meletakkan perkakas mandi pada batu yang menonjol di tengah sungai.
Mata saya mengamati perempuan itu mandi. Saya kaget sekali saat mengetahui perempuan itu menanggalkan kain jariknya dan menggosoknya dengan sikat pada batu. Tapi saya diam saja. Saya teringat dengan cerita teman saya dari gunung beberapa tahun yang lalu. Kata teman saya, orang mandi buka-bukaan sudah biasa di sana. Mengelilingi sebuah sumur, tanpa ada sekat, lelaki dan perempuan mandi tanpa malu-malu di sana.
Saya jadi teringat dengan seorang kawan yang menegur saya karena tahu bahwa saya mengoleksi banyak sekali majalah ‘dewasa’ (saya punya beberapa edisi Majalah Play Boy Indonesia, Popular, MAXIM, dan lain-lain).
Memang, saya mengoleksi majalah-majalah Play Boy. Kalau di Surabaya, saat belanja buku, kalau ketemu Play Boy Indonesia, saya akan beli itu. Membeli majalah Play Boy Indonesia, saya bangga sekali. Pasalnya, langkah saya ini diikuti oleh kawan saya yang juga pemburu buku. Saya lebih dulu beli, itu letak kebanggaannya. Memang, ada sejenis gengsi-gengsian di kalangan pecinta buku, bahwa malu rasanya membeli buku yang sudah pernah dibeli oleh teman sesame pecinta buku. Kalau saya jadi teman saya itu (guru sebenarnya), saya pasti akan malu.
Pertama kali menemukan Play Boy Indonesia adalah saat saya ongkrah-ongkrah buku bekas di lapak Kampung Ilmu Surabaya. Saya menemukan Play Boy Indonesia dan membuka-buka dalamnya. Saya kaget sekali mengetahui isisnya yang ternyata bagus sekali. Gambar-gambar ceweknya menurut saya tidak begitu vulgar, masih parah Cosmopolitan. Tulisan-tulisan di Play Boy bagus-bagus. Artikel-artikelnya berbobot. Play Boy Indonesia pertama yang saya beli, ada wawancara budayawan Radhar Panca Dahana dan Goerge Junus Aditjondro. Saya tunjukkan majalah itu pada kawan saya dan saat dia belanja buku di kemudian hari, beruntung sekali, dia dapat edisi pertama. Ada wawancara Pramoedya Ananta Toer di edisi itu. Pram bicara soal sejarah, rokok Djarum, pengalaman ‘manis’nya di Pulau Buru, hubungan dengan perempuan, dan lain-lain.
Selain Play Boy Indonesia, saya juga dapat majalah Maxim yang ada Seno Gumira Ajidarmanya. Seno bicara soal sastra, kepengarangan, dunia remaja, dan komik di sana. Di wawancara itu, Seno mengaku bahwa ia bisa membuat cerpen seketika lewat telepon. Juga yang unik lagi, dalam sebuah edisi majalah Popular, ada wajah Gus Mus di sana, yang bicara soal 20 kemunafikan bangsa.
Akan bicara apa saya?
Bukan sesuatu yang penting kok. Saya hanya ingin mencatat tentang pandangan pertama. Saat pandangan mata saya tertuju pada perempuan mandi tadi, saya berfikir itu porno atau cabul. Dan saya menentangnya setelah teringat pada kisah kawan saya dari gunung tadi serta pertemuan saya dengan majalah-majalah dewasa. Semua itu tergantung bagaimana fikiran kita play.
Saya masih di pinggir sungai ketika perempuan tadi melintasi saya dan tersenyum ramah. Dia telah berkaus oblong dan bawahannya handuk. Saya menengoknya dengan fikiran yang tidak play.

Benden, 21 Desember 2013





Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates