mohamad tohir
PADA
sebuah sore, saya sedang kesepian dan menikmatinya di pinggir sungai di sebuah
desa di Kecamatan Parengan-Tuban.
Sungai
ini airnya bening. Kali Kening namanya, saya punya kenangan tersendiri padanya.
Saya selalu mengunjunginya, meski hanya sekadar menyentuh airnya, tiap kali
datang ke Binangun. Dulu saya sering mengangkut pasir dari sungai ini saat
masih di Binangun (masuk Kecamatan Singgahan, jaraknya sekitar 10km dari desa
itu).
Saya
teringat dengan sungai di daerah saya, Bojonegoro –Bengawan Solo – beberapa
minggu yang lalu meluap airnya. Beberapa desa di pinggir bengawan
tenggelam poleh banjir. Sekarang sudah tidak lagi. Kusetel lagu Bengawan Solo
ciptaan almarhum Gesang yang dinyanyikan ulang oleh Bosanova Jawa.
Tak
lama kemudian, seorang perempuan berjalan melintasi saya. Umurnya sekitar
40-50an dan hanya mengenakan kain jarik. Sekilas dia memandang saya namun saya
tak hiraukan. Sekilas saya dapat menangkap wajah cantik ibu-ibu itu. Dia
berjalan terus ke bawah lalu menuju sebuah kelokan yang agak rimbun oleh
dedaunan. Dia nyemplung di sana dan meletakkan perkakas mandi pada batu yang
menonjol di tengah sungai.
Mata
saya mengamati perempuan itu mandi. Saya kaget sekali saat mengetahui perempuan
itu menanggalkan kain jariknya dan menggosoknya dengan sikat pada batu. Tapi
saya diam saja. Saya teringat dengan cerita teman saya dari gunung beberapa
tahun yang lalu. Kata teman saya, orang mandi buka-bukaan sudah biasa di sana.
Mengelilingi sebuah sumur, tanpa ada sekat, lelaki dan perempuan mandi tanpa
malu-malu di sana.
Saya
jadi teringat dengan seorang kawan yang menegur saya karena tahu bahwa saya
mengoleksi banyak sekali majalah ‘dewasa’ (saya punya beberapa edisi Majalah Play
Boy Indonesia, Popular, MAXIM, dan lain-lain).
Memang,
saya mengoleksi majalah-majalah Play Boy. Kalau di Surabaya, saat belanja buku,
kalau ketemu Play Boy Indonesia, saya akan beli itu. Membeli majalah Play
Boy Indonesia, saya bangga sekali. Pasalnya, langkah saya ini diikuti oleh
kawan saya yang juga pemburu buku. Saya lebih dulu beli, itu letak
kebanggaannya. Memang, ada sejenis gengsi-gengsian di kalangan pecinta buku,
bahwa malu rasanya membeli buku yang sudah pernah dibeli oleh teman sesame
pecinta buku. Kalau saya jadi teman saya itu (guru sebenarnya), saya pasti akan
malu.
Pertama
kali menemukan Play Boy Indonesia adalah saat saya ongkrah-ongkrah buku
bekas di lapak Kampung Ilmu Surabaya. Saya menemukan Play Boy Indonesia
dan membuka-buka dalamnya. Saya kaget sekali mengetahui isisnya yang ternyata
bagus sekali. Gambar-gambar ceweknya menurut saya tidak begitu vulgar, masih
parah Cosmopolitan. Tulisan-tulisan di Play Boy bagus-bagus.
Artikel-artikelnya berbobot. Play Boy Indonesia pertama yang saya beli,
ada wawancara budayawan Radhar Panca Dahana dan Goerge Junus Aditjondro. Saya
tunjukkan majalah itu pada kawan saya dan saat dia belanja buku di kemudian
hari, beruntung sekali, dia dapat edisi pertama. Ada wawancara Pramoedya Ananta
Toer di edisi itu. Pram bicara soal sejarah, rokok Djarum, pengalaman
‘manis’nya di Pulau Buru, hubungan dengan perempuan, dan lain-lain.
Selain
Play Boy Indonesia, saya juga dapat majalah Maxim
yang ada Seno Gumira Ajidarmanya. Seno bicara soal sastra, kepengarangan, dunia
remaja, dan komik di sana. Di wawancara itu, Seno mengaku bahwa ia bisa membuat
cerpen seketika lewat telepon. Juga yang unik lagi, dalam sebuah edisi majalah Popular, ada wajah Gus Mus di sana, yang
bicara soal 20 kemunafikan bangsa.
Akan
bicara apa saya?
Bukan
sesuatu yang penting kok. Saya hanya ingin mencatat tentang pandangan pertama.
Saat pandangan mata saya tertuju pada perempuan mandi tadi, saya berfikir itu
porno atau cabul. Dan saya menentangnya setelah teringat pada kisah kawan saya
dari gunung tadi serta pertemuan saya dengan majalah-majalah dewasa. Semua itu
tergantung bagaimana fikiran kita play.
Saya
masih di pinggir sungai ketika perempuan tadi melintasi saya dan tersenyum
ramah. Dia telah berkaus oblong dan bawahannya handuk. Saya menengoknya dengan
fikiran yang tidak play.
Benden,
21 Desember 2013
Posting Komentar