ORASI



 mohamad tohir
 
Dwayne Johnson sebagai Hercules dalam Hercules (2014)

KATA-KATA, aku percaya, ia bukan bualan kosong. Ia bukan sekadar kata-kata. Acapkali aku meragukan dan memandang miring pada kata-kata. Seakan bilang begini untuk menghakimi orang; yang kita pandang jangan kata-katanya, tapi perbuatannya. Kata-kata, seakan – akan bukanlah  perbuatan. Begitu.
Presidenku yang pertama adalah seorang orator ulung. Soekarno. Dia akrab disapa Bung Karno. Diganti pak juga saru. Bung. Bung. Bung Karno. Dia dijuluki Singa Podium oleh banyak orang. Gaya orasinya berapi-api dan membakar semangat pendengarnya. Coba simak ini sembari membayangkan dia di podium dan  mengepalkan tangan : "BERI AKU SEPULUH PEMUDA, AKAN KUGUNCANG DUNIA!"
Aku menonton beberapa film klasik tentang kerajaan-kerajaan. Terjadi intrik kuasa, saling telikung, khianat, setia, dan perang-perang yang miris. Aku suka memperhatikan adegan pemanasan saat hendak perang. Yakni, ketika kata-kata menjadi penting di saat – saat mendesak sebuah pasukan hendak menyerbu. Yakni, ketika seorang panglima atau pemimpin perang membakar semangat pasukannya dengan kata-kata. Dengan sebuah orasi. Pasukan yang awalnya takut, ragu, dan pesimis menjemput kematian dan kekahalan, terbakar semangatnya.
Aku kutipkan beberapa di antaranya;

1.  “Maju, jangan takut kegelapan. Bangkitlah para penunggang Rohan! Tombak akan terguncang. Perisai akan pecah. Ini hari pedang. Ini hari bersimbah darah. Matahari segera terbit. Majulah! Majulah! MAJU UNTUK KEHANCURAN DAN AKHIR DUNIA! KEMATIAN!” kata-kata raja Rohan, Theodon, saat menyerbu para Orc dan pasukan kegelapan Sauron (dalam The Lord of The Ring 3, The Return of The King)
2. “Putera-Putera Gondor dan Rohan! Saudara-Saudaraku, kulihat di mata kalain ketakutan sama yang membuat aku gentar. Kelak tiba saat keberanian manusia hilang, saat kita tinggalkan teman-teman dan putuskan semua persaudaraan. Tapi bukan hari ini. Saat jiwa serigala koyak dan perisai pecah, bila massa manusia musnah. Tapi bukan hari ini. HARI INI KITA BERTEMPUR! Demi semua yang kalian sayangi di bumi yang indah ini. Kuminta kalian berdiri, Manusia dari Barat!" kata-kata Aragorn, pewaris kerajaan Gondor saat hendak menyerbu kekuatan kegelapan Sauron untuk mengulur waktu bagi Frodo Baggins yang hendak menghancurkan cincin (dalam The Lord of The Ring 3, The Return of The King)
3. “Pada saat ini, di hari ini, jadilah pria sejati seperti selayaknya! Kalian bisa melakukannya. Demi menciptakan sejarah baru. BIARKAN KEMATIAN MENJADI KEMENANGAN KITA!” kata-kata Hercules saat memimpin pasukan melawan pasukan misterius centurion, manusia berbadan kuda itu (dalam Hercules).
4.    “Aku tidak akan tunduk pada kekuasaan Roma! AKU MELUDAHINYA!” kata-kata Milo di hadapan petinggi Roma dan disambut gemuruh rakyat Pompeii. Dia mematahkan dan membuang lambang elang, simbol kebesaran Roma. (dalam Pompeii)
5.    “Dengarkan aku! Aku bukan siapa-siapa. Aku Thesius. Rakyat biasa seperti kalian. Aku berbagi darah bersama kalian. Juga rasa takut. Tapi lari berarti menawarkan roh kita dan roh anak-anak kita pada kegelapan. Bersiaplah. Kita harus melawan. Tetaplah berdiri! Siapa mereka sehingga kita takut? Hanya karena mereka mempunyai luka di wajah dan tubuh mereka bukan berarti mereka lebih berani atau lebih kuat dari kita. Mereka pengecut! Mereka sembunyi di balik topeng. Mereka manusia dan mereka berdarah seperti kita. Dengarkan aku. Tetap berdiri dan bertempurlah demi kehormatan. Bertempurlan demi orang di sampingmu. Bertempurlah demi ibu yang melahirkanmu. Bertempurlah demi anak-anakmu. Bertempurlah demi masa depanmu. Bertempurlah agar namamu dikenang. Bertempurlah. Demi keabadian! BIAR KITA TULIS SEJARAH DENGAN DARAH HERAKLION!” kata-kata Thesius saat memimpin pasukan yang hendak diserbu brutal oleh tentara raja Heraklion yang terkenal kejam dan haus darah (dalam Immortal)

Saat mendengar pekik provokatif itu, darahku berdesir. Dadaku membusung. Tanganku mengepal. Kopi di mulutku tumpah dan seekor kucing di bawah kaki saya tertawa.
Sudah, lima dulu itu. Akan aku tambah lagi. Karena beberapa film lainnya sedang tidak bisa diakses... Seperti Kingdom of Heaven, 300, The Gladiator, dll.

11 Desember 2014





Read More →

SETULUS APAKAH?


MOHAMAD TOH

AKU punya seorang kawan bernama Tulus. Tulus ini, entah mengapa, mengingatkanku pada Ajay Devgan, aktor India itu. Bukan tentang sifat atau sikap atau kepribadian tentunya, karena aku tak pernah kenal langsung dengan Devgan selain adalah suami Kajool. Juga dengan Tulus yang aku hanya mengamati dari tawa, kata-kata, dan langkah kakinya yang bisa saja palsu sepertiku. Hanya karena kemiripan. Karena, sepintas lalu, mata mereka mirip. Perhatikan saja kedua mata ini :



Aku menyukai film India. Saat duduk di MI dulu, sepulang sekolah film India adalah film wajib. Film India diputar habis-habisan setiap hari oleh RCTI atau TPI saat itu, seakan-akan sudah kehabisan stok film Indonesia. Saat itu aku hanya suka bintang-bintang laki-lakinya; Govinda, Salman Khan, dan Jackies Roof. Ajay Devgan tidak begitu. Film Ajay Devgan yang aku tonton saat itu adalah Dil Kya Karee, tentang konflik suami istri dan cinta pada anak.
Beranjak tua, aku menyukai yang perempuan. Aku kenal Kareena Kapoor dan jatuh cinta dan teringat terus bibirnya yang oh! Preity Zinta dengan senyumnya yang aucgh! Aku suka Katrina Kaif yang lembut dan meluluhlantakkan sisi bengalku sebagai lelaki.
Maka, kemudian, film India bukanlah sekadar film India. Dalam bahasa Mahfud Ikhwan, film India adalah perlawanan. Dushman Duniya Ka; dengan film India, akau melawan dunia, katanya dalam blog khusus kajian India yang dikelola dia.
Kembali ke Tulus. Dia membuatku teringat pada Ajay Devgan. Aku baru sadar dia jarang sekali muncul di seputaran film-film India yang moncer itu. Maka aku segera mencari-cari informasi mengenai kabar dia. Dan sekarang, aku menjadi suka Ajay Devgan. Rasanya, dia aku lupakan dari sekian deret bintang film India. Dia jarang tampil gemerlap memang, seperti Sahrukh Khan, Salman Khan, Amiir Khan, Hrithik Roshan, dan sederet nama lainnya. Film yang dibintangi Devgan kerap bukan film konvensional. Dia pernah membintangi The Legend of Bhagat Singh. Bhagat Singh adalah tokoh legendaris India. Dia adalah tokoh revolusi dan kemerdekaan India yang jarang diperhatikan dibanding Gandhi. Dia tidak kompromis seperti Gandhi. Dia agak bengal. Dia hampir seperti Tan Malaka kalau di Indonesia.
Devgan juga main dalam film berjudul Lajja. Film ini diangkat dari novel karya Taslima Nasrin. Aku pernah membaca novel ini. Tentang masa-masa genting antara Pakistan dan Bengali. Pendudukan masjid. Sebuah rekaman dan interpretasi atas tragedi kamanusiaan yang perih dan benturan agama yang miris. Di sampul belakang buku itu ditulis begini : Cukuplah agama berubah nama menjadi kemanusiaan. Penulisnya, konon, dicap sebagai Salman Rushdie betina! Tragedi Ayat-Ayat Setan terulang padanya. Buku itu diterbitkan oleh LKiS, aku ‘temu’kan di tahun 2009an lalu. Sayang aku tak tuntas membaca.
Tanggal 10 kemarin, Tulus ulang tahun. Aku memberi dia hadiah sebuah kaset film India. Dengan aktornya Ajay Devgan. Bukan muluk-muluk. Aku tak tak tahu apa yang dia suka. Dan memberi tidak harus mempertimbangakan yang kita beri itu suka atau tidak bukan?
Semoga dia jadi seperti Ajay Devgan? Oh, jangan! Terlalu dong! Itu kelewatan. Mending aku sendiri kalau begitu (kok nampaknya tidak tulus begini ya?).
Lalu? Hanya selipan doa. Doa agar dia bahagia dan sengsara sekaligus. Sebab apa arti bahagia tanpa merasakan sengsara?
Salam dari sudut gelap kegoblokan, Tulusno...

Bojonegoro, 11 Desember 2014

Read More →

BANGKIT DARI KUBUR


Oleh Mohamad Tohir
Akhirnya aku memutuskan membaca Cantik itu Lupa, setelah beberapa kali menimbang-nimbang : 1) To Kill a Mocking Bird, setelah membaca artikel di sebuah situs bahwa ini satu-satunya novel Harper Lee. Novel ini menang Pulitzer. Maklumlah, pembaca kelas coro, masih melihat-lihat buku dari penghargaannya. Tapi keren lho, novel cuma satu, menang kompetisi lagi. Dan bukan lagi sekelas Dewan Kebudayaan Bojonegoro lho. Tapi Pulitzer, Bro! 2) Dengarlah Nyanyian Angin, karena aku merasa tidak begitu memahami karya Murakami selain kesederhanaan-kesederhanaan dan sepele-sepele yang tumpah ruah. Karya sekelas penulis yang jadi kandidat preaih Nobel Sastra tentu bukan sekadar itu. Membacanya terasa beban sekali. Aku perlu mengulik-nguliknya dengan cermat betul, dengan membaca ulang mulai dari novel pertama Murakami itu. 3) Self Transformationnya Audifax, ini tentang pengembangandiri. Tentang energi minimal, legenda pribadi, sastra jendra hayuningrat pangruwatingdiyu, dan rasa sejati yang perlu dipegang dan kembangkan. Semacam buku motivasi begitu. Tapi kemasannya menarik. Audifax bicara dengan sandaran film-film dan karya sastra. Tapi, baca buku motivasi itu rasanya gimana gitu. Lalu aku geletakkan lagi.
Akhir-akhir ini, aku rajin otak-atik Sebatas Menengok. Aku bikin biblio di rumah ini, semacam situs-situs rekomendari dari aku sendiri. Salah satunya adalah jurnalnya Eka Kurniawan. Aku mengikuti tulisan-tulisan Eka yang energik, kuat, renyah, dan sreg di hati. Catatan-catatan itu banyak membuatku mencari-cari buku-buku atau film yang sedikit banyak dikutip atau dianalisa Eka.
Nah, rasa-rasanya, aku belum pernah baca karya Eka selain cerpennya yang Cinta Tak Ada Mati. Kok merasa bersalah begitu. Terlambat begitu. Dan tiba-tiba terbersit di dada untuk membacanya. Tapi aku tak punya karya Eka. Hanya punya satu, yang terbaru itu : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Kucari-cari, eh, malah tidak ada di rak. Entah siapa yang menggondolnya. Akhrinya, aku memutuskan pinjam Sarwo Mudji, kawanku yang baik hati itu.
Aku meluncur ke rumah pelukis bertubuh gemuk itu tadi sore, menembus hujan deras tengah kota. Karena terlalu deras, aku mandeg di terminal dulu. Aku duduk-duduk di kursi tunggu sambil membuka-buka acak novel Harper Lee. Beberapa orang memperhatikanku. Seperti cewek-cewek yang menunggu bus itu. Memangnya laki-laki kusut yang sedang pegang buku itu keren apa? Matanem klawu!
Aku tiba di rumah Sarwo. Ada Maks di sana. Komikus yang beberapa kali bingung cari referensi untuk komik pesanan sebuah penerbit Surabaya itu. Kuterima Cantik itu Luka dari Sarwo. Dan sedikit kami bincang soal merawat buku-buku. Dia bisa sedih hatinya karena melihat sebuah buku coklek sampulnya. Bagi orang lain itu terlipat, dia pakai istilah coklek. Kubilang aku juga sayang pada buku-buku. Dan aku bisa marah pada siapa yang melipat halaman buku-buku. Tapi aku kerap teledor. Seringkali aku mengelus-elus buku sementara tanganku kotor sehingga buku jadi nampak hitam dan lungset. Sering juga aku bantalan pakai buku. Itu romantis sekali lho.
Cantik itu Luka, oh! Mulai kubaca sekarang. Ini buku karya Eka Kurniawan asli. Novel debutnya. Ini digadang-gadang menyerupai teknik dan gaya Gabriel Garcia Marquez, maestro dari Amerika Latin itu. Kota Halimunda adalah Macondonya Gabo di Seratus Tahun Kesunyian.
“Adegan seksnya juga vulgar,” kata Sarwo. Dia mengatakan hampir serupa dengan Fredy S. “Seperti adegan guna ingin mengetahui seorang perempuan itu masih perawan atau tidak, jari dirogohkan ke kemaluannya,” kata Sarwo. Edan!

Ya, tak apalah. Aku sudah suntuk dengan soal begituan. Dari jaman dulu hingga sekarang, sebuah kehidupan akan hampa tanpa itu. Tapi tentang seorang perempuan bernama Ayu Dewi yang bangkit dari kubur setelah mati selama sekitar duapuluh tahun. Kukutipkan kalimat pembukanya. Eka termasuk orang yang percaya pada kekuatan kalimat pembuka. Kalau perlu kalimat pembuka, atau paragraf awal, adalah inti keseluruhan novel. Ini tentang foreshadowing. Hanya penulis-penulis sakti yang mampu mengamalkannya.

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburnya setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum sempat melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua, dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi lutut, tapi semua orang mengenalnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia mati pada umur lima puluh dua tahun, hidup lagi setelah dua puluh satu tahun mati, dan kini hingga seterusnya tak ada orang yang tahu bagaimana menghitung umurnya.


Selanjutnya, apakah aku akan setia mengikuti ceritanya yang setebal 479 halaman ini, seperti Maneo yang bertahan selama 60 tahun dalam penantian akan cinta? Akhir-akhir ini aku memang merasa sedang dalam kuburan karena tidak pernah menuntaskan sebuah buku. Mungkin harus bagkit dari kubur?

Klampok, 24 November 2014
Pukul 20.03

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates