Sosrodilogo Menggondol Kuda



Mohamad Tohir



Lelaki itu sedang melamun di bawah pohon saat seorang
serdadu Belanda berlari melintasinya.

I
DI BAWAHNYA, setelah melewati tebing, adalah sungai terpanjang se-Jawa, Bengawan Solo. Belanda itu tergopoh-gopoh dan langsung jongkok begitu sampai di bawah, pada pasir tepian bengawan.
Lamunannya buyar. Ia amati si Belanda. Sering ia bertanya-tanya, pada dirinya sendiri, apa sebenarnya makanan orang Belanda kok bisa galaknya minta ampun itu dan apakah mereka juga berak seperti dirinya?
Dia bisa mendengar suara kentut dari bawah sana.
Saat kembali naik, Belanda itu bicara entah apa padanya. Dia sama sekali tak paham.
“Maman,” katanya. Barangkali menanyakan namanya, pikir Maman. Tapi si Belanda tambah berang. Mungkin dia marah karena dilihat saat berak. Maman mantuk-mantuk. Tapi Belanda itu malah meludahi dadanya lalu pergi dan bergabung dengan kawan-kawannya.  Maman ingin marah, tapi Belanda itu bawa bedil. Mereka puluhan jumlahnya, beberapa di antaranya berkuda, menuju ke arah selatan.
Maman melihat kuda mereka lalu melirik ke semak-semak beberapa langkah di kirinya. Ada pohon di sana dan kudanya ia kekangkan di batang pohon itu. Semak-semak menghalangi pandangan siapapun. Kalau saja Belanda-Belanda itu tahu, bisa-bisa mereka rampas. Ia duduk kembali, menyandarkan kepalanya di batang pohon, melanjutkan lamunannya.
Dia sedang melamunkan perempuan desa sebelah. Shinto namanya. Ia putri terakhir seorang tumenggung di desa itu. Ia sering menemuinya di pasar. Seminggu yang lalu mereka jalan-jalan di gisik sungai. Shinto pintar sekali bercerita. Sore itu dia bicara tentang pahlawan.
“Jadi, Diponegoro adalah pahlawan.”
“Apa itu pahlawan?” Maman bertanya.
Shinto diam saja. Dia belum pernah mendengar apa arti pahlawan. Tapi ia tahu siapa itu pahlawan. Ia tahu bahwa Diponegoro adalah pahlawan.
“Aku tak tahu. Tapi pahlawan selalu berperang melawan Belanda.”
“Juga pasti bisa naik kuda.”
“Belum tentu. Bapakku pintar berkuda. Tapi dia pemalas dan teman Belanda.”
“Berarti kau juga teman Belanda.”
Bukan. Aku tak suka Bapakku!”
Supaya tidak bingung, perlu dijelaskan bahwa sebenarnya Shinto berbohong. Bapaknya bukan teman Belanda, bahkan musuh Belanda. Dia hanya kesal karena kehendaknya untuk ikut melawan Belanda seperti bapaknya tidak disambut baik karena ia perempuan. Begitu.
Lalu mereka bicara tentang kuda. Shinto juga juga bisa naik kuda. Sejak umur tiga tahun ia sudah diajak keliling kabupaten naik kuda oleh bapaknya. Orang-orang membungkuk saat dia lewat bersama kuda. Maman hanya mengandai-andai alangkah hebatnya bisa membuat orang-orang menunduk padanya.
“Kau harus bisa naik kuda.”
“Tapi aku tak punya kuda.”
Shinto diam dan berpikir.
“Pakai saja kudaku!”
Dipinjamkannya kuda itu pada Maman. Seminggu lagi dia harus bisa naik kuda untuk menjemput Shinto. Mereke berencana minggat.
Mereka memang tampak klop, tapi sebenarnya tidak. Shinto hanya mempermainkan Maman. Maman harus gagal datang padanya dengan naik kuda.
Maman bangkit hendak pulang. Tapi dia kaget sekali saat mendapati tak ada apa-apa di pohon tempat kudanya dikekang tadi. Ia turuti bekas-bekasnya di tanah berpasir hingga ke jalan. Di sana banyak sekali bekas tapak kaki kuda. Rombongan tadi pasti pencurinya.
Maman bingung sekali. Dia tak punya uang untuk mengganti kuda milik Shinto. Dan kalau kuda itu tak dia temukan tentu saja ia tak jadi minggat. Masih tersisa waktu tiga hari yang semestinya dia buat berlatih kuda.
Maman sedih sekali. Orang di kampung melihatnya berjalan gontai. Tadi pagi dia engkek sekali berkuda di depan mereka. Mereka semua kagum.

II
Malamnya ia tak bisa tidur. Ia ikut berkumpul di pos ronda di pintu masuk kampung.  Dia minum wedang kopi di sana bersama beberapa warga. Dia yang paling muda.
Belum lama betul, seorang warga berlari ke arah mereka dari luar kampung. Nafasnya mengkos-mengkos. Seperti ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikannya. Apa ada penyerangan lagi. Semua panik, tapi orang itu tak kunjung bicara.
“Hoh, hoh, hoh, Raden Tumenggung akan ke sini,” katanya.
Maman kaget sekali. Mungkin dia yang dicari. Tumenggung pasti tahu kudanya hilang dan diberikan padanya oleh putrinya dan sekarang kuda itu hilang.
“Tumenggung siapa?”
“Anu, Sosrodilogo. Pejuang dari Rajekwesi!”
Sosrodilogo sedang dalam pengejaran oleh ratusan pasukan Belanda. Sosrodilogo harus diamankan. Dia sedang dalam penantian menunggu bantuan pasukan dari Jawa Tengah, dari Pangeran Diponegoro. Nampaknya Belanda mendengar dan kebetulan bertemu di tengah jalan lalu memburunya. Yang lainnya akan mengecoh biar mereka yang diburu. Tumenggung biar sembunyi dulu. Di rumah siapa Tumenggung harus istirahat?
“Istriku pasti ketakutan.”
“Rumahku jelek.”
Maman lega, ternyata bukan bapaknya Shinto.
“Di rumahku saja,” Maman usul.
Semua memandangnya. Semua sebenarnya takut ada apa-apa di kampungnya.
“Kau punya apa di rumah untuk makan malam tumenggung.”
Maman tak punya apa-apa.
“Minum wedang saja kau datang ke sini.”
Maman tersinggung. Mereka terdiam saat seorang berkuda muncul dari balik kegelapan di depan gerbang kampung.
Sosrodilogo bersedia menginap di rumah Maman. Dia turun dari kuda dan Maman langsung meraih tali kekangnya dan saat itulah dia kaget sekali bahwa ternyata itu  adalah kudanya yang hilang tadi siang.
Maman ingin protes atau sekadar bertanya tapi tak berani.
Dan malam itu Tumenggung Sosrodilogo menginap di rumah Maman. Maman sendirian saja di rumah. Bapak dan maknya telah mati limatahun yang lalu. Dia senang sekali mendapat tamu. Apalagi tamunya adalah seorang pahlawan. Dipandanginya selalu wajah Sosrodilogo dengan mata yang berbinar-binar sambil sesekali menyeruput wedang kopi yang dibawanya dari pos ronda tadi. Sosrodilogo, namanya bagus sekali seperti nama raja, pikir Maman.
Maman mendengar lelaki sangar itu bercerita tentang negara yang telah tercabik-cabik lalu bangkit lagi lalu tercabik-cabik lagi lalu bangkit lagi tercabik-cabik lagi lalu bangkit lagi.
”Itulah negerimu, anak muda!”
Maman bingung sekali.  Ia tak pernah berpikir tentang negeri-negeri.
Sosrodilogo bercerita tentang Pangeran Diponegoro.
“Apa kau sering bertemu Pangeran Diponegoro?”
Maman teringat Shinto yang mengenalkannya dengan nama Diponegoro. Ah, dua hari lagi dia harus bisa naik kuda dengan baik dan menjemput Shinto lalu minggat. Kuda itu hilang dan sekarang ia tahu siapa yang mengambil. Ternyata seorang pahlawan. Dia bingung apakah harus memintanya kembali atau tidak tapi apa yang harus dikatakannya pada Shinto?
Shinto tak akan marah karena pencuri kudanya adalah seorang pahlawan yang berperang melawan Belanda, pikir Maman. Kalau perlu dia harus ikut bersama Sosrodilogo. Tapi dia takut perang. Dia membayangkan dirinya berkuda dan membabat kepala seorang prajurit Belanda dengan pedang. Ia benci sekali Belanda. Mereka bicara ngawur dan gemar meludah. Rokok mereka besar-besar dan bau nafasnya membuat orang semaput. Tapi ia takut. Ia takut melihat darah muncrat dari potongan leher dan kepala. Dia pasti semaput melihatnya.
“Sebaiknya kita bicara yang lain saja. Perjuangan bukan untuk diceritakan. Kebanyakan kita masih takut dengan kata perjuangan.”
Maman merasa ucapan itu ditujukan padanya.
“Aku tidak takut,” sahutnya tangkas. Ia sendiri heran mengapa ketakutannya hilang sama sekali. Tetapi ketakutan itu muncul lagi sesaat setelah bicara.
“Sudahlah. Kau punya rokok?”
Maman tak menjawab tapi langsung lari keluar rumah, menuju pos ronda dan kembali bersama kotak kayu berisi tembakau dan klobot jagung.
Mereka merokok bersama-sama dan itu adalah kali pertama Maman mengisap rokok. Saat kecil dulu, ia sering berpikir tentang neraka yang menakutkan dan panasnya sejuta kali panas di dunia. Ia tak bisa membayangkan betapa panasnya. Kepala kanak-kanaknya hanya mampu membayangkan panas neraka adalah sepanas bara ujung rokok. Lagipula tembungnya hampir sama, rokok-nerokok. Dan sekarang ia telah mengisap asap neraka. Rasanya seperti menjadi seorang pejuang! Tapi mengapa orang musti perang.
“Perang belum selesai, anak muda!” Maman terperanjat. Lelaki di sampingnya tahu saja isi kepalanya.
“Mengapa mesti perang, Tumenggung?” Maman mengelus dada. Lega sekali bisa melepaskan uneg-unegnya.
“Ha ha ha ha ha ha….!”
Sosrodilogo tertawa panjang. Maman jengkel, ia ditertawakan. Ia malu, mengapa menjadi orang goblok. Tapi ia senang bisa membuat seorang pejuang tertawa. Betapa mengerikannya hidup dalam perang dan saling bunuh. Kepala putus, darah muncrat dari dada yang lubang, darah menyembur dari leher dan mulut, hiiii…!! Maka tertawa adalah rahmat yang tiada terkira besar dan indah.
“Kau pasti takut, anak muda. Jangan perang kalau takut!”
Siapa yang mau perang? Jawabnya dalam hati. Tapi tunggu sampai saya bisa naik kuda. Naik kuda menghapus rasa takut, yakin Maman.
“Siapapun adalah penakut,” lanjut Sosrodilogo, “Saya juga. Tapi ketakutan itu hilang begitu saya ada di atas kuda.”
Maman kaget lagi. Perasaan bahwa ia goblok semakin meningkat berada di samping pejuang itu. Tapi mengapa sang pejuang mencuri kudanya?
“Ajari saya naik kuda!” Pintanya setengah hati. Ia merasa bersalah karena itu demi Sinto. Ia ingin membuat Sinto terkesan. Seperti Sosrodilogo yang juga ingin membuat rakyat banyak terkesan dengan perjuangannya.
“Naik kuda bukan untuk gagah-gagahan!”
Maman merasa semakin tergencet tapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara lari kaki kuda yang semakin mendekat dan tiba-tiba ia sudah ditarik tangannya dan dilempar di atas kuda. Ia tak sempat mengaduh, kuda telah membawa tubuh mereka berdua menembus kegelapan ujung malam.
Dari jauh mereka melihat api menyala di rumah Maman. Maman ingin menangis. Ia semakin benci pada Belanda. Pagi tadi ia diludahi. Malamnya rumahnya dibakar. Ia menyesal telah menyembunyikan Sosrodilogo. Tapi ia juga senang bisa bersama seorang pejuang. Ia ingin mencabut keris di balik ikat pinggang sang pejuang dan mencukil bola mata dan memotong kelamin para tentara Belanda itu.
Dilihatnya wajah Sosrodilogo yang tenang sekali. Perang tak harus ngotot dan kebrangas, pikirnya menyimpulkan.

III
Mereka istirahat di tepi sungai, mandi dan makan ikan dari sana hingga malam tiba kembali. Di keheningan malam dan was-was penuh waspada, bala bantuan dari Pangeran Diponegoro datang. Mereka empatpuluh jumlahnya, berkuda semua.
Maman meringkuk di bawah pohon, membiarkan para pejuang duduk melingkar di tengah nyala api, menyusun rencana esok hari. Dia tak bisa menahan kantuk. Ia ingin tidur dan memimpikan Shinto. Sekarang ia sudah sampai di batas melarat paling ujung. Ia tak punya apa-apa lagi. Rumahnya telah musnah dibakar Belanda.
Diejanya dengan pelan nama Shinto. Nyaring dan lembut sekali, oh! Maman lelap memimpikan Shinto, semoga!
Para pejuang akan menuju ke selatan pagi buta melewati tengah hutan di sepanjang Bengawan Solo, menuju Rajekwesi, kediaman Sosrodilogo yang ditinggalkan. Orang-orang di sana banyak yang diancam dan disiksa semenjak kepergiannya untuk bergabung dengan gerakan Diponegoro di Jawa Tengah. Sosrodilogo merasa bersalah meninggalkan mereka dan ingin membalas perasaan itu dengan semangat membara menyulut perlawanan orang-orang pada Belanda.
Perlu dijelaskan juga sepertinya, supaya yang belum mengikuti sejarah bisa menikmati cerita. Cerita ini terjadi di masa-masa sebelum lahir nama Bojonegoro. Rajekwesi itu namanya. Kejadiannya persis ketika terjadi pergolakan Pangeran Diponegoro yang membuat imperialis Belanda kocar-kacir di Pulau Jawa. Di kawasan Rajekwesi, pergolakan juga mencuat yang dipimpin oleh Tumenggung Sosrodilogo itu, orang dekat Diponegoro sendiri.
Belanda sedang kalangkabut dimana-mana. Orang-orang Diponegoro bergerak bak melawan begejil paling laknat dunia akhirat. Begitu melihat Belanda, orang-orang seperti melihat sabab musabab diri mereka terusir dari dunia mereka.
Tiba-tiba Maman bangun. Ia langsung berdiri dan berteriak-teriak.
“Keris, mana keris? Keris, mana, goblok!” katanya meraung-raung.
Sosrodilogo mendekat dan menyiram kepalanya dengan air kelapa. Maman gelagapan.
Rupanya dia ngelindur. Bukannya bertemu Shinto dalam mimpi, dia malah bertemu Diponegoro dan masuk barisan perangnya. Ia diberi kuda dan keris sakti mandraguna yang bisa menyentrongkan kekuatan dahsyat. Ia bertemu dengan lelaki Belanda yang pernah meludahinya lalu. Tapi saat ingin mencukil mata si Belanda dengan keris pemberian Diponegoro, tiba-tiba kudanya roboh kena bedil dan kerisnya jatuh. Dan dia bangun. Bangun dari tidur maksudnya!
“Bagaimana wajah Pangeran?” salah satu pejuang bertanya. Ia tahu Maman belum pernah melihat Diponegoro.
Maman diam.
“Didepan sekali tuan menanti. Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati,”[1] katanya tiba-tiba.
Orang-orang tertawa.

IV
Sebelum berangkat, mereka menyantap bader bakar dan air kelapa sampai puas. Mereka berangkat saat pagi masih belum sepenuhnya terjaga. Maman taklagi memikirkan soal kudanya. Shinto pasti lebih bangga kalau tahu dirinya menjadi pejuang bersama Diponegoro. Ia akan ceritakan semua tentang Sosrodilogo yang adalah pengikut setia perjuangan Diponegoro.
Pertempuran meletus sebelum mereka masuk gerbang samping kota Rajekwesi. Benteng-benteng pertahanan telah dibangun kokoh dimana-mana. Mereka diberondong peluru dan peledak-peledak besar. Mereka terus melawan, melemparkan benda-benda tajam, tombak dan panah. Nyali Maman kempis seketika. Ia bersembunyi di balik pohon besar, menutupi tubuhnya dengan ranting-ranting dan dedaunan. Saat ledakan terdengar, dia teriak dan mengaduh. Sosrodilogo geregetan dengan pemuda itu. Ingin ditendangnya Maman, tapi ia teringat malam itu. Maman telah menyambutnya dengan senang hati dan rela rumahnya terbakar.
Diberikannya kudanya pada Maman. Disuruhnya pergi saja lelaki yang belum tatag berperang itu.
Maman menangis. Ia merasa bersalah sekali. Ia benci sekali mengapa takut perang. Ia tak tahu mengapa. Ia minta maaf. Sosrodilogo tersenyum sambil menghunus keris. Maman masih menangis. Ia ingin ditusuk saja kepalanya dengan keris di tangan Sosrodilogo. Sosrodilogo gemas sekali dan tertawa.
Maman pulang dengan kuda pemberian Sosrodilogo yang sebenarnya adalah kudanya. Akan diceritakannya pada Shinto bahwa ia ikut bertempur bersama pejuang Diponegoro tapi ia ragu. Ia tak melakukan apa-apa malah mundur pulang dengan belas kasihan sang pejuang. Dia hanya merasa sok kenal saja. Tidak! Ia akan diam saja.
Ia segera menemui Shinto di pasar.
“Katanya kudaku kau hilangkan?” Tanya Shinto sambil memperhatikan kudanya.
Maman hanya tersenyum nyengir tanpa curiga bahwa hilangnya kuda sebenarnya adalah ulah Shinto.[2]
Mereka minggat ke utara hingga jauh sekali dan membuat rumah di pinggir jalan. Ia membuat warung kopi di depan rumah. Kalau serdadu Belanda yang marung, ia ludahi wedang kopinya sebelum disuguhkan. Sesekali prajurit Rajekwesi mampir. Ia menggratisinya dan meminta prajurit itu bercerita tentang Sosrodilogo. Rajekwesi telah berhasil diduduki Sosrodilogo. Ia menjadi bupati yang disegani di sana. Belanda dan orang-orang yang mendukung tersingkir jauh dari Rajekwesi.
Maman menyesal sekali mengapa ia ketakutan bukan main saat itu.
Panglima Polim Nomor 24, Oktober 2013




[1] Kutipan sajak Diponegoro, karya Chairil Anwar

[2] Suatu siang, Shinto mencuri kudanya yang diikatkan oleh Maman pada sebuah pohon. Maman saat itu sedang melamun jadi tidak mengetahuinya. Shinto memberikan kuda itu pada Tumenggung Sosrodilogo yang sebenarnya adalah bapaknya sendiri. Dan tentu saja cerita ini hanyalah fakta yang berbaur dengan fiksi.

Read More →

Makam Cintaku



Mohamad Tohir
senja di selat bosphorus. Foto : yellow-up-yourlife.blogspot.com
SAAT berjalan-jalan di tepi sungai, saya menemukan sebuah bungkusan plastik hitam yang isinya sebuah kado berbungkus kertas merah. Isinya sebuah buku tipis berjudul Lelaki yang Kawin dengan Dirinya Sendiri[i]. Bersama itu, ada beberapa lembar tulisan tangan yang sepertinya mirip cerita pendek. Saya kaget. Berdasar tanggal yang tertera, kalau memang itu bukan tanggal dalam fiksi, Masya Allah, bungkusan itu telah terombang-ambing di sungai selama lima tahun. Malam harinya tulisan itu segera saya ketik di warnet dan langsung saya kirimkan ke koran. Saya paksa redaktur koran yang biasa memuat cerita pendek untuk memasangnya meski itu nyata.
Kasihan perempuan itu. Saya tahu betul bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tak mampu menyatakannya. Perempuan itu sebenarnya datang di hari pernikahan kekasihnya, tapi dadanya bergemuruh dan sebelum sampai di tempat tujuan, ia balik badan. Mungkin ia menangis semalaman di kamarnya, lalu menulis dalam buku harian kemudian disobeknya. Kertas itu lalu dibungkusnya bersama sebuah buku yang tidak jadi ia berikan sebagai kado itu. Mungkin ia berpikir, kado itu akan membuat masalah kalau sampai. Entah cinta macam apakah yang hidup dalam dada perempuan itu.
Esoknya, atau mungkin menunggu selama lima tahun (berarti tidak sampai lima tahun terombang-ambing di air), ia buang bungkusan itu ke sungai.
Tulisan itu tak ada judulnya. Saya ingin membuatkan judul, tapi bingung juga, terlalu mikir. Saya bukan sastrawan dan lebih suka ngomong daripada berpikir. Biarlah redaktur koran yang memberinya judul. Redaktur memang paling mahir membuat judul.
Saya tertawa saat membacanya di koran dua hari setelahnya. Hahaha, Makam Cintaku, seperti puisi saja. Dan beginilah tulisan yang saya ketik itu:
Kalau Gun membaca ini, dia akan tahu, malam itu aku datang di perkawinannya. Sebuah buku dan catatan ucapan selamat telah kukemas sebagai kado. Tinggal beberapa langkah lagi kakiku menginjak rumah penuh tamu itu tapi tiba-tiba dadaku bergemuruh. Kubalikkan badan dan pulang kembali bersama gemuruh itu yang entah bagaimana maknanya.
Kucoba sebisaku untuk menguraikannya.
Aku mengenal Gun sudah lama. Kami kecil bersama. Berbagi singkong rebus, bermain gledekan, pasaran, krobongan, dan mandi di pancuran bersama. Gun anak orang terpandang di kampung dan dia mengatakan bahwa tradisi keluarga selalu mengirimkan kerabat-kerabatnya ke pesantren. Kelak dia juga menyusul yang artinya kami akan jarang atau bahkan tak lagi bertemu, katanya.
Saat itu aku belum tahu apa itu pesantren. Aku tak bertanya. Kedengarannya seperti penganten. Berarti dia akan dinikahkan, kata pikiran kanakku. Entah mengapa, aku seperti kehilangan secuil bagian dalam dadaku.
Aku tak bisa mengingat dengan utuh perjalanan hidupku. Yang kutahu aku tak punya siapa-siapa. Aku tak pernah tahu dimana ayah dan ibuku. Aku tinggal bersama nenekku yang sudah tua sekali di rumah reot di ujung kampung, jauh dari rumah-rumah penduduk. Nenekku pembuat tikar pandan. Dan kami tak pernah punya apa-apa yang berharga.
Yang kuingat, aku pergi ke kota bersama nenek, menyewa rumah kecil di sebuah gang, dan setahun kemudian nenek meninggal. Sore sebelum berangkat ke kota, Gun menemuiku. Dia bilang ayahnya melarang untuk dekat denganku. Bukan aku yang menjadi masalah, tapi nenekku. Nenekku diliputi ilmu setan, tak bisa mati kalau tidak dibunuh, dan aku bukan cucunya, kata ayahnya. Tapi, bukankah nenekku baik dan Gun seringkali makan bersama di rumah denganku dan nenek? Gun berkata besok orang-orang akan mengusir nenek. Gun menatapku. Matanya berkaca. Aku terisak dan pipiku basah. Aku sepertinya mencintai Gun, pikirku saat itu. Dan Gun mencintaiku, aku yakin itu. Tapi aku tak tahu apa itu cinta.

***
Aku menyanyi dan menari tiap malam pada sebuah bar di Bojonegoro dan saat itulah aku bertemu kembali dengan Gun.
Orang-orang menyoraki; suaraku, tarianku, dan tubuhku. Aku suka melihat para lelaki melongo tolol melihatku. Aku suka melihat mereka menjadi dungu melihat perutku. Mereka hanya pintar dan gagah ketika di seminar-seminar. Di depan perutku mereka bodoh-bodoh.
Malam itu, seorang pengunjung baru, duduk di pojok.
Seperti ada yang menyembul dalam dadaku. Seperti menemukan sesuatu yang hilang dalam diriku. Lelaki itu bermata tenang. Pandangannya seperti sebuah tembakan ke dadaku. Aku gelisah sepanjang lagu dan gerak tubuhku. Banyak yang tak puas tapi tak kupedulikan. Apakah aku mencintainya?
Kudekati lelaki di pojok itu dan kami bicara basa-basi tanpa arah. Kusebutkan namaku dan dia bilang, “Gun.”
“Gundala apa Gundul?”
Dia tertawa. Bersama kami sering nonton pertunjukan Gundala Putra Petir[ii] di sawah-sawah saat kecil dulu. Aku senang sekali. Aku tak tahu apakah dia juga senang tapi dia tertawa. Aku tahu, dia lelaki santri dan aku seorang penyanyi. Kupikir sebuah bar adalah tempat terlarang baginya. Dia bilang semua tempat di bumi ini tanah Tuhan. Dan Tuhan bukan milik orang-orang baik saja. Aku bukan orang baik?. Tapi aku sedang tak ingin membahas Tuhan. Aku hanya penyanyi. Santri dan penyanyi apa bedanya? Kami toh tertawa bersama.
Kuajak dia berjalan di trotoar sepanjang jalan menuju alun-alun. Dia tak keberatan. Di alun-alun kami duduk pada kursi di bawah pohon mahoni. Bintang-bintang tumpah ruah di langit sana. Aku seperti kembali menjadi anak-anak lagi seperti dulu. Saat itu aku sempat merasa yakin bahwa ia adalah suamiku nanti. Aku belum tahu apa itu suami saat itu. Tapi rasa itu benar-benar ada dan kurasakan kembali.
Setelah itu, malam berjalan seperti malam sebelumnya dan aku selalu bertemu Gun. Dia melihat aku disentuh-sentuh lelaki-lelaki berdasi. Dia melihat aku berciuman. Dia juga tahu aku tidur dengan mereka.
“Kau membenciku?”
“Kenapa?”
“Aku kotor.”
Dia tertawa. Aku tak suka. Iya atau tidak, bukan tertawa.
“Bukan kamu yang kotor. Tapi,.... Sudahlah!”
Dia selalu datang di bar. Melihatku menari. Lalu bercakap-cakap. Pulang. Malam lagi. Melihatku berciuman. Malam lagi. Bercakap-cakap. Jalan-jalan. Berpisah. Malam esoknya lagi. Malam esoknya lagi. Sesekali Gun juga ikut naik ke panggung dan menyanyi. Ia juga bisa meniup saksofon dan sesekali juga membaca puisi.

Meski sembilan lubang kau tutup rapat, bukalah satu lubang saja untukku
biar bisa kutempelkan lubang hidungku ini, biar kita senafas semati...[iii]

Orang-orang tertawa. Orang-orang tepuk tangan. Aku senang. Aku merasa dia bertanya padaku. Tapi, lubang apa maksudnya?
Aku bertanya apa arti puisi itu.
“Siapa bilang itu puisi? Itu kata-kata. Tak harus difahami!
Dan aku memang tak faham. Kami tertawa.
Malam itu kami menghabiskan malam berdua. Kami berjalan menyusuri bebatuan pada tepi sungai hingga tiba di batas kota dan kami menginap di sebuah losmen murah di sana.
Malam semakin malam dan kami telah berada dalam satu selimut. Aku ingat betul, masing-masing kami telah telanjang. Tapi tak ada apa-apa terjadi. Dingin memang, dan malam adalah sunyi. Aku bangkit. Duduk. Kupandangi wajahnya yang mulai mengantuk. Matanya terang kembali, menembak jantungku. Aku ingin memecah hening.
“Ini dosa bukan?”
“Kenapa tiba-tiba bicara tentang dosa?”
“Aku hanya bertaya.”
“Aku tak mau menjawabnya. Kau bertanya pada dirimu sendiri.”
“Lalu apa yang musti kutanyakan padamu?”
“Tak perlu tanya.”
“Kau sombong!”
Kami tertawa. Aku ingat betul, saat itu ia memandangi susuku tanpa kedip.
“Sebaiknya memang jangan bertanya. Sebaiknya cerita saja.”
“Ceritaku jelek-jelek.”
“Tak ada cerita jelek.”
“Bagus semua maksudmu?”
“Juga tidak.”
“Lalu?”
“Ya, cerita saja. Yang penting cerita.”
“Aku bingung. Kau saja yang cerita.’
Dan Gunpun bercerita. Dia cerita tentang lelaki yang mulutnya adalah ombak. Katanya, seingatku tentunya, ada seorang lelaki tua yang sebenarnya adalah juru agama yang harusnya menjadi panutan. Lelaki tua itu tidak. Dia suka mengnjungi pelacuran dan diskotik. Seluruh wanita di kompleks pelacuran kenal padanya. Dia juga gila minum. Tapi ia tak pernah teler. Suatu ketika orang-orang meluruknya saat lelaki tua itu sedang duduk di sebuah bar. Di mejanya berbotol-botol anggur.
“Kiai edan!”
“Wedhus!”
“Setan kuprit!”
Lelaki tua itu hanya tersenyum.
“Mendekatlah!”katanya.
Salah seorang mendekat dan lelaki tua itu membuka mulutnya. Orang-orang terheran-heran. Mereka meminta maaf. Mereka melihat mukjizat sebagaimana terjadi pada Nabi-Nabi. Mereka melihat ombak lautan di dalam mulut lelaki tua itu.[iv]
Kutuang anggur dalam gelas, kusodorkan pada Gun. Dia bangkit dan menerimanya tapi kemudian meletakkannya kembali ke meja samping ranjang. Lalu dia memandangiku. Dia melihat susuku tanpa kedip lalu mencium bibirku dan mendekapku. Tapi itu hanya dalam pikiranku saja. Sebab dia kembali berbaring dan memejamkan mata. Saat aku bangun, Gun sudah tak di sampingku.
Aku ingin menangis. Beberapa lamanya aku terheran-heran mengapa lelaki yang nampak hebat di forum-forum seminar bisa menjadi tolol dan dungu seketika di depan perempuan telanjang. Terhadap lelaki di sampingku itu aku lebih heran lagi.

***
Aku tak pernah mengerti mengapa aku dulu pergi dari kampungku sendiri. Aku tak mengerti mengapa bisa menyanyi di bar-bar dan menari dan tidur dengan para lelaki. Aku juga tak mengerti mengapa aku bisa nyungsep di pesantren. Gun yang menyarankanku ketika suatu malam kubilang aku ingin pergi dari bar.
Aku sudah tak bisa lagi merasakan nikmat tubuh yang menari dan juga nyanyianku. Orang-orang mulai bilang tubuhku seperti tak bernyawa, seperti gedebog atau mayat atau tanah liat.
Perempuan berkerudung merah itu adalah Rohana. Kami saling cerita tentang pribadi masing-masing. Ia juga mengenal Gun yang baik dan pintar dan banyak yang menyukai. Kubilang aku teman Gun, teman sejak kecil, bukan tunangannya seperti dikiranya dan teman-temannya.
Rohana salut padaku. Hidayah Tuhan turun padaku katanya.
Dia cerita banyak tentang orang-orang saleh terdahulu dari buku-buku arab yang ia baca dan terjemahkan sendiri. Ia menyukai Rabi’ah.
“Kau seperti Rabi’ah,” katanya ketika kubilang aku tak mau kawin.
Aku tak tahu apa itu Rabi’ah atau siapa itu Rabi’ah. Kupikir itu istilah lain anti kawin.[v]
Dan akhirnya dia cerita tentang perempuan bernama Rabi’ah. Perempuan Bi’ah yang suatu ketika berlari di jalan kota. Kedua tangannya memegang seember air dan obor dengan api yang menjilat-jilat.
“Mau kemana kau perempuan Bi’ah?” Orang-orang bertanya.
”Aku hendak ke langit. Ingin kubakar surga dan kupadamkan neraka agar keduanya tak menjadi alasan orang untuk mendekat pada Tuhan.”
Perempuan Bi’ah tak kawin. Ia hanya mencintai Tuhan saja. Kekasihnya hanyalah Tuhan. Suatu kali pernah ia ditanya apakah ia mencintai Rasul. Perempuan Bi’ah bilang bahwa cintanya pada Tuhan telah menutup celah hatinya untuk mencintai yang lain[vi].
Suatu kali Gun mengatakan padaku ingin mengawiniku. Dia bilang dia mencintaiku. Kubilang aku hanya mencintai Tuhan. Dan apa hubungannya cinta dengan kawin? Dan kubilang juga aku tak akan kawin.
“Kawinlah. Imanmu akan sempurna!” Rohana menasihatiku. Aku tak memahami kata-kata itu.
Dan entahlah, pada akhirnya, Rohana kawin dengan Gun.
Malam itu aku datang ke perkawinannya. Saat perkawinan orang terdekat terjadi, alam seperti jeda. Dalam jeda itu, gambaran selama hidup yang telah dilalui seakan terbentang dan bergemuruh dalam kepala dan dada. Tapi orang-orang itu hanya aku saja, mungkin.
Sebuah buku dan catatan ucapan selamat telah kukemas sebagai kado. Tinggal beberapa langkah lagi kakiku menginjak rumah penuh tamu itu tapi tiba-tiba dadaku bergemuruh. Kubalikkan badan dan pulang kembali bersama gemuruh itu yang entah bagaimana maknanya.
 (2 September 2007)

Kasihan perempuan itu. Dia meratap. Dia kesulitan menyatakan cinta. Sebenarnya dia mencintai Gun, lelaki yang ingin mengawininya yang juga berputar-putar itu. Tapi entahlah. Tapi memang, saat orang membolehkan cinta sejati muncul, hal-hal yang tadinya teratur menjadi berantakan dan menjungkirbalikkan semua yang tadinya kita kira benar dan betul[vii].
Ingin saya minta istri saya membaca cerpen temuan itu, sedikit pamer nama suaminya masuk koran. Dia pasti akan menertawakannya. Tapi dia tak pernah mau baca koran. Atau dia tak akan percaya saya menulis cerita meski itu benar. Lagipula dia seperti anti pada cerita-cerita tentang cinta. Cerita cinta selalu berujung pada perkawinan, saling memiliki, punya anak, punya cucu, sampai mati. Tak ada yang perlu diceritakan dan dikatakan dalam cinta, katanya suatu ketika saat saya bertanya apakah dia mencintai saya.
Kami kawin begitu saja dan nyatanya tiga bulan lagi kami punya anak. Kami juga sarapan bersama sambil cerita basa-basi setiap pagi, bercinta dengan rutin sebulan sebelas kali, pergi liburan, salat jamaah, belanja bersama, seperti orang-orang pada umumnya dan kami tak pernah bilang saling mencintai. Tak diucapkan dan dinyatakanpun, cinta tetap berbunyi, kata istri saya. Aku tak faham artinya. Dan kami memang kawin tapi perempuan itu tidak. Bagiku itu mungkin biasa tapi bagi perempuan itu mungkin menyakitkan. Ah, tidak. Bukankah dia bilang ingin tak kawin seperti sufi perempuan itu? Tapi sekarang saya ngantuk sekali. Hoooaggh!
“Kenapa kita bisa kawin?”
Baru saja terlintas dalam pikiran pertanyaan itu, istri saya sudah lebih dulu bertanya.
“Kenapa kau tanya begitu? “
“Aku bertanya.”
“Saya tak tahu.”
Saya memang tak pernah tahu. Saat belum kawin dulu, saya selalu melamun ketika menghadiri undangan teman yang kawin. Saya melamun sepanjang waktu saat pengantin duduk di pelaminan. Apakah saya akan kawin juga dan bukankah kawin adalah hal biasa seperi makan, tidur dan kencing?
 “Tapi benar. Sebaiknya jangan bertanya. Sebaiknya cerita saja,” kata istri saya.
Saya kaget betul. Saya tak lagi mengantuk.

                   September  2013

Untuk kawanku Suudin Azyz.
Salam Cinta Tanpa Tanda di Kawinmu hari ini.




[i]   Sebuah judul cerita pendek berbahasa Inggris (The Man Who Marrie Himself karya Charlie Fish) yang diminta oleh teman untuk menerjemahkannya. Karena tak sanggup, saya jadikan itu sebagai ide kecil cerita ini.
[ii]  Sebuah lakon drama dan tokoh film layar lebar yang tenar di 90-an. Gundala adalah satu-satunya superhero andalan Indonesia.
[iii] Petikan dari judul Asmarabi’ah, karya Fathoe R. Jacobs
[iv] Berdasar cerita lisan tentang seorang kiai kharismatik yang konon min jumlati auliya, KH. Hamim Djazuli alias Gus Mik.
[v]  Bahasa Jawa kasar menyebut kawin dengan kata rabi. Ah adalah kata ungkapan untuk sebuah penolakan dan penyepelean.
[vi] Rabiah Al-Adawiyah, sufi perempuan, terkenal dengan madzhab cinta dalam percaturan tasawuf. Keberadaannya masih rancu secara historis, meski sebagai ide dipercaya dan diikuti.
[vii] Kata Dante dalam Divine Comedy. Dikutip penulis legendaris Brazil, Paulo Coelho, dalam novelnya, The Zahir.

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates