Rasa Takut di Halaman 41

SETELAH beberapa kali nggak ikutan Klub Lapar, Minggu malam kemarin akhirnya aku datang. Aku tiba duluan di Taman Rajekwesi, lalu Bu Cusnul, Pak Rizki, Pak Radinal, Pak Teguh, lalu Pak Ilham dan Bu Lina.

Buku setebal 281 halaman karya peraih Nobel bidang sastra tahun 1920 itu masih belum beranjak dari bagian pertama (seluruhnya ada 4 bagian). Aku sebenarnya sudah bosan mendengar ocehan tokoh aku yang bagiku terlalu banyak omong itu. Bayangkan, dari halaman pertama hingga empat puluh, cerita masih melingkar-lingkar soal keluhan tokoh aku yang nggak kunjung bisa menulis. Pikirannya berputar-putar nggak karuan seperti orang stres tapi nggak satu kalimat pun berhasil dituliskannya pada selembar kertas. Selain itu, aku juga merasa benar-benar terbawa sugesti teman-teman yang kerap bilang bahwa tokoh aku dalam novel itu mirip diriku. Sugesti itu menjadikanku merasa seperti mencium pipiku sendiri saat membaca Lapar. Perasaan itu membuatku punya alasan pribadi yang kuat untuk nggak ikut. Daripada merasa terteror seperti itu, ya mendingan nonton duet Dani Daniels dengan Allie Haze.

Satu-satunya yang menjadikan aku tetap ikut gabung adalah karena membaca buku di tengah sekeliling yang sedang asyik mojok berduaan di sudut gelap taman adalah laku yang entah gimana. Nah entah gimana itulah yang membuatku semangat untuk ikut.

Kembali ke cerita tokoh menyedihkan yang enggak kunjung bisa nulis itu. Kondisi menyebalkan itu akhirnya mengalami perubahan sebagaimana tergambar dalam kalimat pada paragraf di halaman 40 buku kecil itu. Tiba juga saat di mana tokoh aku akhirnya bisa menulis beberapa halaman yang dia sebut sebagai sebuah kata pengantar. Begini yang ditulis tokoh aku," Perlahan-lahan pikiranku mulai tenang dan terpusat. Aku hati-hati, serta menulis pelan dan sesudah matang dipertimbangkan, beberapa halaman sebagai kata pengantar, untuk apa saja; boleh jadi suatu riwayat perjalanan, suatu artikel politik, semauku nanti. Kata pengantar itu hebat sekali, dan pasti cocok untuk karya mana saja."

Membaca paragraf itu rasanya lega sekali. Itu adalah sebuah momen sesaat setelah si aku hampir putus asa. Pada paragraf sebelumnya, dan itu yang mendominasi obrolan kami di pertemuan kali ini, si aku hendak berdiri namun duduk kembali lalu menulis.

Paragraf itu begini," Aku sendiri merasa seperti serangga kecil yang sedang sekarat di dalam cengkeraman kebinasaan dalam dunia yang sudah sesat ini. Aku berdiri, dan diburu oleh rasa takut yang khas, aku berdiri melangkah pergi. Tidak! teriakku, dan mengepalkan kedua tangan, ini harus berakhir! Dan aku duduk lagi, mengambil pensil sekali lagi dan bertekad bulat untuk menulis suatu artikel. Pasti tak ada gunanya untuk menyerah pada keputusasaan, padahal sewa kamar belum dibayar."

Kami lumayan lama mengulik maksud dan apa yang bisa kami maknai dari kalimat: Aku berdiri, dan diburu oleh rasa takut yang khas, aku berdiri melangkah pergi. Yakni mengenai diburu, rasa takut, rasa takut yang khas.

Sebenarnya yang banyak mengulik adalah Pak Rizki dan Bu Cusnul. Soalnya, konsentrasiku buyar oleh kemunculan seekor kucing yang berputar-putar dan ngeang-ngeong di tengah taman. Kukira sebelumnya adalah anjing, eh jebulnya kucing. Aku lalu memanggil, merengkuh dan mengelus-elus kucing itu. Aku begitu menyukai kucing; makhluk yang katanya Pak Wisnu adalah generasi setelah manusia di bumi ini punah. Karena sibuk dengan kucing, otomatis aku ketinggalan jauh obrolan mereka. Saat kembali aku hanya bisa menangkap bahwa mereka tengah debat tipis mengenai kalimat itu. Mereka tengah mempermasalahkan tiga pokok yang aku sebut di atas tadi (diburu, rasa takut, rasa takut yang khas). Misalnya Bu Cusnul yang mempersoalkan kenapa rasa takut kok nggak rasa gelisah dan Mas Rizki yang menanyakan rasa takut yang khas itu bagaimana. Pak Rizki pun menjawab sendiri; barangkali takut yang dirasakan si tokoh adalah takut pada kemalasan, mengingat pada kalimat selanjutnya bahwa tokoh aku kembali duduk dan menolak untuk putus asa.

Alih-alih turut menyumbang rembug, aku malah bingung mereka mempersoalkan apa. Barangkali konsentrasiku masih ambyar karena kesirep kucing tadi. Yang menggelikan aku malah mengulik persoalan lain yang sepintas lalu sepele, yakni tentang susunan kalimat itu. Tepatnya masalah keberadaan dan peletakan koma dalam kalimat itu.

Paragraf selanjutnya menjelaskan tentang keluhan tokoh aku yang pikirannya kembali zonk. Dia lagi-lagi nggak bisa menuliskan sesuatu sama sekali pada kertasnya seperti yang sudah-sudah. Hantu-hantu masalah yang memburunya muncul lagi membuyarkan konsentrasinya.

Obrolan pun kami sudahi. Setelah itu obrolan berpindah pada apakah di Pilkada kali ini kami akan golput atau nggak.

Bojonegoro, 22 Januari 2018

Catatan ini adalah dokumentasi tulis ala kadarnya tentang pertemuan Klub Lapar kemarin Minggu (21/01) malam, bukan semacam kritik karya atau apalah. Catatan yang bersifat kritik akan aku buat berbeda. Terimakasih!








Read More →

Puisi - puisi Saya yang Tak Jadi Terbit Karena Kiamat Tak Jadi

Oleh Mohamad Tohir

INI adalah puisi - puisi yang pernah saya tulis beberapa tahu lalu. Sejak saat itu tidak pernah lagi menulis puisi. Menulis puisi bagiku saat ini adalah seperti berak di masjid. Entah kenapa. Kuposting di sini sebagai pengingat bahwa saya adalah penista agama, yang jauh lebih menyebalkan ketimbang Ahok.

Semoga Anda membenci saya:


















PLATONIK
Eka bertemu kembali dengan Agung sore itu
Pada detik awal, mereka beku
Dan leleh saat tiga cangkir teh tiba di meja
“Dia temanku di pesantren,” Eka berkata pada suaminya yang tengah menyulut kretek
Anak Eka menggelayut di kakinya
Dan mereka sama – sama tahu
meski tak serumah dan saling sapa,
getaran di tengkuk Eka tak akan sirna
Tak ada yang lebih besar dari cinta yang tak bersatu, sebab tak terbagi
2011
LELAKI BERMATA SATU
Beberapa bulan lalu, lelaki bermata satu berjalan tertatih menapaki jalan setapak penuh belukar
Di balik belukar itulah Jakarta
Telah dihabiskannya sepanjang masa berkabung setelah anak dan istrinya dibantai di malam gerimis itu, untuk menuntut keadilan.
“Sang pembunuh harus dipancung.”
Telah diucapkannya kalimat itu ribuan kali setiap orang bertanya apa tujuannya berjalan ribuan mil dari Banyuwangi hingga Jakarta.
Dia tahu siapa yang hendak dituntut dan bagaimana caranya. Selagi mampir di sebuah kedai ciu di Ngawi beberapa bulan lalu dia sempatkan mencuci bola matanya yang berdebu.  Orang – orang hanya melihat dan bergumam masygul bahwa perjalanannya akan sia – sia. Namun setelah dia pungut matanya dari baskom cucian, jelas sudah semuanya.
Seminggu di Jakarta, dia bingung saat matanya memergoki di bundaran HI seorang ibu bercumbu dengan pemuda berseragam SMA. Adegan itu mengganggu pikirannya. Kini bila kau bertanya dimana lelaki bermata satu itu, cukuplah jenguk ia di apartemen tante Rosi. Dia menjadi pencuci pakaian di sana dengan upah bercumbu dengan perempuan berlubang gigi buaya di pagi hari sepuas dia mau.
Ingatkan dia, anak dan istrinya tengah bosan bersantap sup di alam kubur setiap hari. Di tengah kuah sup dalam baskom besar yang selalu megepulkan uap, bola mata bernanah menyembul.

Pare, 3 Mei 2011



PAK BADAR
Hai, dosenku yang berewok seperti Kapten Haddock!
Kau orang paling goblok yang pernah kutemui di kampus ini
Kau berteriak tentang Mu’tazilah yang katamu sewenang – wenang
Sementara aku menyimak kuliahmu sambil bercumbu dengan Asia Carrera yang baru mencukur j****tnya
Dan di dalam mimpiku
Kau bercumbu dengannya
Anumu berbulu api
yang membakar negara Islam
dalam perang badar jilid dua
tahun depan

20 September 2011 

MENJEMPUT PAMAN
Si kecil Agung mengayuh sepeda onta berkarat
Ia sambut titah bibi Mona: pukul dua Paman Gober tiba dengan KRD
Pukul tiga kurang seperampat bom meledak di stasiun
Dari balik reruntuhan, Paman Gober melihat sepeda onta berkarat itu tergeletak di bawah mahoni sekitar parkiran
Di belakangnya, stasiun telah menjadi abu

04 April, 2012

PAHLAWAN KESIANGAN
Teto tergopoh – gopoh hendak menemui Atik
Dibawanya sebesar lima juta dalam mata uang asing
Dalam kepalanya berkelebatan kisah – kisah pembebasan budak Afrika
Dia gedor pintu kamar bercat merah muda itu
Diana melenguh dalam rengkuhan lelaki bertato babi
Hanya itu yang dikatakannya pada kepala reserse di kota, tanpa mencuci tangannya yang berlumur darah


Kampungbaru, 2012

  
BUDAK
Ia telanjang menghadap kekasihnya
Pada kulit kontolnya ada kupu – kupu bersayap merah
“Selama kau kekasihku, kupu – kupu itu.... ,” kata kekasihnya tak selesai
Ia sadar, perbudakan tak pernah sirna

April 2012


TOGA
Lelaki masam memakai toga yang dulu tak jadi dipakainya saat Hari H Wisuda
“Beginikah sarjana?” tanyanya pada cermin
Kumisnya semakin tebal
Dan toga itu meskipun berdebu tetap harum
Pada malam yang sedikit nampak oleh cermin, ia menyapa,
“Apakah kegelapan akan selalu bersamamu?”
Ia berjalan keluar
Udara basah dan kesedihan semakin menjadi
Ia ingat, sedari pagi belum makan
Di dompetnya hanya tersisa foto 3 x 6 cm pacarnya yang kini sudah kawin dengan lelaki dengan jas kulit naga

5 Oktober 2012


SAJAK JAHAT
Pikirnya, dengan menulis sajak ia tak akan lagi menjadi bajingan
Tak disadarinya, sajak yang dia buat adalah kepengecutan paling jahat
Sejak itu dia tak lagi menulis sajak
Hingga aku bertemu dengannya kemarin
Ia sedang menulis sajak
Diberikannya padaku satu larik, satu kata:
“Jancok!”

Klampok, 2 Februari 2013

PENDEKAR PATAH HATI
Seekor capung hinggap di mulut gelas tuak pendekar bercaping
Segera ia bangkit dan meloloskan pedangnya
Tiba – tiba dirasai tengkuknya gigil
Di belakangnya, perempuan berkulit warna bohlam terkesiap, bulir keringat jatuh dari ujung alis
Sang pendekar melihat tato capung di bawah leher perempuan itu

Monginsidi, 2 Maret 2013

SANTIAGO
Penggembala itu menuntun kambing - kambingnya melewati tiga gurun pasir
Saat tiba di rumah pedagang tua itu, tiga dari enam kambingnya telah mati
Fatima, anak perempuan si pedagang, menyapanya:
“Aku tahu, kau kehabisan cerita dari buku - buku. Tak apa, ceritakan tentang bagaimana kambing – kambing itu mati.”
“Tidak, akan kuceritakan bagaimana kambing - kambing itu hidup,” jawab Santiago
Pemuda berkaki lebar itu bercerita tentang tiga ekor kambing yang mengajarinya membaca

4 Januari 2013

  
CINTA
Selalu saja mereka bicara tentang perjalanan naik gunung dan kawin dengan pesta orkes melayu
dan juga amplop – amplop berisi selip yang dulu bergambar Soeharto
Mereka tak pernah bicara tentang cinta
Ketahuilah, sembilan dari sepuluh pasangan kekasih di muka bumi ini tak pernah membaca kisah cinta
Sebab, saya tak pernah menuliskannya

22 April 2013


RINDU INI, KEKASIHKU
Kekasih, saat kau kumasukkan dalam tas kuning itu
aku sudah was – was kau bakal meninggalkanku
Sesaat setelah semut – semut mencumbu tas kuning itu
Kau kubakar
Kau tahu apa yang terjadi setelahnya?
Aku menangis geru - geru

13 April 2013



SINTA
Saat disodorkannya cincin sialan itu, Hanoman tak pernah bertanya padamu, cinta seperti apakah yang bersemayam dalam jiwamu
Hanoman tahu tanpa bertanya sejak cincin itu diterimanya dari Rama, bahwa pertanyaan itu tak penting lagi
Sejak itulah, Hanoman belajar mencinta
Ngomong – ngomong, kau tak pernah tahu, Sinta;
Hanoman jatuh cinta padamu

23 Juni 20 


PETANG DI TERMINAL
Angin beku saat kita berjalan saling tuju dalam siraman lampu berkerubung laron
Senyummu meremahkan sekaleng keraguan yang membeku dalam kulkas jiwaku
Dengan remah – remah itu aku bicara padamu tentang sebuah sajak yang ditulis Goenawan Mohamad mengenai ketakpastian yang tak pernah akan pasti
Kekasihmu mempertemukan kita di petang itu,
di terminal
Saat dia membawamu pergi dariku beberapa menit kemudian, kau tentu melihat senyumku
; yang akan kuberikan padamu di hari – hari selanjutnya
Kau tahu?
Inilah mukiyo!

Monginsidi, Februari 2014



SAYA MASIH BENTO
Untuk Dahlan Iskan

Dalam badai kebosanan
Aku telanjang di dalam kolam ikan beraroma buah limun
Seekor ikan muhajir mencocol kontolku
“Seharusnya kau tak telanjang,” kata muhajir

“Aku masih bento,” jawabku

29 Januari 2013


CATATAN PINGGIR
Goenawan Mohamad berjalan tertatih di aspal penuh anyir darah
Perang sedang lerai tanpa kepastian sementara para kafilah berjubah terlanjur menjagal tubuh catatan – catatan pinggir yang dia buat sepekan sekali itu
Darah muncrat dari tubuh catatan – catatan yang dia buat pada fajar sehari sebelum lontar penuh wibawa itu terbit
Lontar yang pernah dijagal pada masa lalu dan bangkit ketika sebuah rezim tumbang
Catatanmu tak pernah memberi kepastian. Selalu menjunjung ketakmungkinan dan ketakberpihakan. Ini fasis,” kata pria bermuka Gaspar di antara kerumunan kafilah
Pada sore yang gerimis
seorang pengemis kecil duduk dalam lindungan terpal kaki lima
dia rogoh sakunya yang penuh sesak oleh sebungkus helai kertas berisi receh
Dibukanya bungkusan recehan itu.
“Batman,” ejanya pada sesobek kertas pembungkus recehan tadi sembari membayangkan kesatria kegelapan itu muncul dengan mobil hitam lalu sepasang spionnya menabrak satu bambu penopang terpal tempat dia berteduh
“Wedus,” begitu ia akan mengumpat.

Pada pagina di balik catatan dalam genggaman pengemis kecil itu, kafilah sedang memekik bahwa api perjuangan menuju tatanan Tuhan akan terus dikobarkan
Namun yang muncul di depannya setengah jam kemudian bukannya Batman maupun Bruce Wayne,
melainkan Goenawan Mohamad berambut perak yang tengah menangis kelaparan
Katanya dia hendak berhenti menulis catatan pinggir

7 Agustus 2013

 KEBANGKITAN (2012)
Telah kusiapkan sebuah buku kumpulan sajak untuk menyambut kiamat yang kata orang akan segera tiba di ujung tahun ini; kuhitung ada 13 sajak, seperti angka setan
Kubayangkan aku akan tersedot oleh sebuah hawa yang datang dari lubang selokan pinggir rumahku saat hari itu tiba; neraka itu menyedot
Sebab pernah aku berpikir bahwa neraka ada jauh di ujung lubang itu; hingga kini belum pernah kucoba
Setiap kali aku duduk memandangi lubang itu hanya tikus hitam sebesar tungkai kaki yang muncul dengan bulu – bulu rontok; api neraka di ujung lubang telah memuarkan bulu – bulunya, barangkali
Malam tahun baru, aku bercumbu dengan seorang perempuan gemuk berwajah penuh belatung; seperti pisang klutuk, tanpa biji – biji sialan itu, adalah yang paling manis
“Dimana buku kumpulan sajakmu?” dia bertanya
“Telah kumasukkan ke dalam lubang selokan kemarin sore, Sri” jawabku. Namanya memang Sri
Lalu kami masuk ke lubang itu; tak ada yang lain di sana selain kebahagiaan

12 Januari 2013

SENJA
Di beranda, lelaki itu duduk sendiri dengan secangkir teh tanpa gula
Sudah sejak setengah jam yang lalu istrinya pamit membeli gula cap Panda
Di ujung gang masuk kampung, tiga berandal mabok menubruk Elisa dengan motor tanpa pelat
Lelaki itu terhenyak
Teh di cangkirnya mendadak manis

Monginsidi, 2014


LELAKI GANTENG
Dia duduk dengan muka masam di bangku depan kantor pajak
Dia tengah menunggu Vidia, perempuan berbokong buah pir yang selalu dibikinkan sajak
Sejam menanti, dia tertidur dan bangun ketika lapisan gelap mulai menyergap
Ada lolong binatang di kakinya yang memberinya kabar:
Vidia tengah mengandung dua bulan
“Kau tak diundang saat pesta kawin penuh pejabat itu,” kata binatang yang melolong itu
Sayang lelaki itu tak paham bahasa binatang
Kegantengannya membuatnya buta siapa dirinya dan tuli pada bahasa inti
Lelaki ganteng itu adalah setan yang gagal mencumbu bidadari di surga
Sebab ia tak berkontol
Sayang dia tak kunjung belajar


Bojonegoro, 2014
  
GUS DUR
Pukul 9 tahun 2001 pada bulan dan hari yang aku telah lupa
Aku mendatangimu bersama Japrak dengan sepeda Phoenix di alun – alun kota
Aku berpeci rajutan warna biru dan Japrak berkaus oblong hitam gambar tengkorak dengan bercak darah
Kau, Gus Dur
bercerita tentang safinah dan ruang - ruang pengetahuan
Safinah, Gus
Kini aku mabok di atasnya
Sejembret getah memori muncrat dari lambungku
Sementara pengetahunku tak pernah beranjak dari ruang pengap berdinding keangkuhan

Desember 2014



Sebenarnya saya juga berniat membukukannya (puisi-puisi yang pada tahun 2011 dan 2012) pada akhir 2012 lalu. Namun karena kiamat tidak jadi, akhirnya nggak jadi terbit. Pdfnya sudah ada. Anda bisa meminta saya secara gratis.


Read More →

Binangun dan Ceceran Ingatan tentang Kata

Oleh Mohamad Tohir
BEBERAPA hari yang lalu, saya bertandang ke Binangun. Ya, Binangun. Entah mengapa saya sangat suka menyebutnya Binangun. Bukan pondok, ponpes, atau apalah apalah. Binangun bagi saya adalah kata yang puitis. Seperti kata lainnya; Langitan, Pethuk, Mranggen, Sarang, Kajen, Siguluk Guluk, Paiton, Tanggir, Gomang, dan lain sebagainya. Kata – kata itu sama – sama memiliki semacam kuasa untuk mengalahkan makna – makna lainnya. Paiton bisa saja bermakna banyak hal, tapi ternyata orang segera tahu, Paiton berarti Pesantren Nurul Jadid. Begitu kurang lebih maksud saya.
Entah mengapa saya bahagia sore itu, begitu tahu bahwa kegiatan rutin alumni Pesantren al-Hikmah adalah di Binangun, di rumah Abdul Aziz, kakak teman sekelas saya, Siti Rohmah (Saya selalu memanggilnya Mbak Rohmah, sampai sekarang). Saya lama tak ikut, dan jarang ikut. Dulu saat yang ikut orang – orang tua, saya mencoba untuk mengawali sebagai perwakilan kaum muda. Saya datang bersama Bambang saat itu dan jarang sekali kaum muda yang ikut. Sekarang sudah banyak. Ah, apalah arti tua, muda. Umur tidak selalu tepat dan berhasil mendefinisikannya. Orang boleh berumur 80. Tapi dia memiliki semangat muda yang tak dimiliki seorang yang berumur 23 tahun tetapi pemalas, seperti saya.
Saya datang bersama Bambang Su. Saya jemput dia di Soko. Dia sedang berada di warung minum depan sebuah toko swalayan saat saya jemput, baru saja selesai rapat membahas acara yang bakal digelar esoknya, sebuah pentas seni Karang Taruna. Saat saya jemput, Bambang Su tak membawa pakaian ganti. Dia hanya mengenakan kaos tipis lengan panjang warna kelabu dan trening warna merah dengan dua garis putih di tengah. Ya sudah, mau apa lagi. Kami pun berangkat.
Saya tidak ingin mencatat sesuatu yang besar. Hanya semacam keanehan dan kekaguman saya pada ingatan. Saat melewati jalan di brang etan, sekitar seratus meter sebelum masuk area pesantren sebelah timur, saya meresa baru kemarin melewati jalan itu. Saat melihat bangunan – bangunan baru di beberapa titik di pesantren, saya juga merasakan semua itu tidak berbeda dengan saat saya masih di pesantren dulu. Itu belum kalau saya masuk wakam (singkatan wali kamar. Sebenarnya istilah ini tak tepat, sebab merujuk pada sosok atau orang, bukan tempat atau ruangan. Dulu saya menyebutnya makam).
Sepulang dari kegiatan (ngaji), saya jalan beriringan dengan Maksum (nama aslinya M Thoha Mahsun). Saya tiba – tiba merasa seperti anak kecil. Sambil jalan, kami bicara tentang hal – hal yang bisa dipastikan basa – basi; dia (Maksum) yang bola-bali Palang (Tuban) – Baureno, Aw yang jadi orang penting, OGP, Festival HAM, Faizah yang tinggal di Lamongan, dsb. Maksum bukan sosok yang pintar memang. Tapi saya tahu dia orang yang serius dan penuh komitmen. Kalau tidak, mengapa dia masih menjadi orang kepercayaan Yai hingga saat ini?
Ah, Maksum. Dia adalah orang yang pertama kali saya kenal saat saya tiba di Binangun pada 2000 an lalu. Dia yang mengajari saya banyak hal. Banyak kata baru yang diperkenalkannya pada saya, seperti gendok, nampan, brang etan, ro’an, nggasap, dan lain sebagainya. Saya pertama melihat kerbau, bebek, pohon jeruk juga dengan Maksum, saat jalan – jalan di sore itu, di brang etan.
Apakah itu penting? Penting bagi saya. Entah mengapa saya selalu menyukai segala hal yang sepintas lalu tidak bermakna. Mungkin karena minat saya yang besar pada kajian filsafat postmodern.
Saya tidak mengingat perjumpaan perjumpaan dengan Maksum setelahnya, meskipun masih ada waktu sekitar delapan tahun setelahnya kami saling bersua. Ingatan terakhir tentang Maksum adalah saat dia mengomentari bacaan – bacaan saya saat kelas 3 Aliyah. Saat itu saya lagi gandrung – gandrungnya dengan kajian islam rasional, islam liberal, dan sebagainya, yang tentu saja terasa asing bagi sekitar. Maksum bilang pada saya, bukan pemikirannya yang dipermasalahkannya, tapi dia tidak setuju dengan sikap para tokoh yang buku - bukunya saya baca itu, karena mereka tidak bermadzhab. Saya ingin membantahnya saat itu. Tidak bermadzhab bagaimana? Mereka bermadzhab.... Tapi saya urungkan, Maksum adalah guru saya. Guru yang mengajari saya satu kata yang sebelumnya saya tak tahu itu.
Sebenarnya, kajian Islam semacam itu, tidak asing di lingkungan kami saat itu. Lebih - lebih, banyak buku di perpustakaan MBU yang ditulis atau digarap oleh tokoh – tokoh yang bisa dikatakan liberal. Ada nama – nama yang diagung-agungkan oleh para tokoh Islam liberal seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab, Jaluddin Rahmat, dan sebagainya. Salah satu buku tebal kumpulan artikel Nurcholish bahkan saya bawa pulang (curi). Judulnya Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Itu jadi salah satu buku favorit saya hingga sekarang.
Saya tidak bisa menjelaskan di halaman ini tentang bagaimana kajian Islam semacam itu yang saya maksud. Saya tak lagi memiliki energi untuk membuat semacam pembelaan.
Saat saya berjalan beriringan dengan Maksum malam itu, ingatan – ingatan kecil itu tiba – tiba muncul. Ingatan – ingatan yang membuat saya tersadar bahwa saya masih anak kecil. Hingga sekarang.
Tambangan Satu, 1 Maret 2017


Read More →

Perkawinan Orang – Orang Melarat

Oleh Mohamad Tohir
Perkawinan Orang – Orang Melarat, Lima Cerita, lengkapnya begitu, adalah judul buku saya. Maaf, baru rencana. Rencana buku. Judul sudah ada, sampul juga sudah ada, ISBN juga sudah. Tapi isinya belum.
Entahlah, barangkali ini sebuah hiburan bagi saya. Hiburan yang menyenangkan sambil menertawakan diri betapa konyolnya saya. Mendaku sebagai penulis tapi tak memiliki buku. Buah! Apa coba kalau bukan tulang kibul namanya, penipu, dst...
Saya beberapa kali melakukan ini. Selain Perkawinan Orang – Orang Melarat, saya coba sebutkan; Tol (novel), Sebuah Novel yang Belum Pernah Kau Baca (novel), Memori yang Tertinggal di Kobuku (novel), Cerita Orang – Orang Tua (kumpulan features), dan satu lagi yang tidak saya sebutkan di sini sebab hanya saya tulis untuk satu orang saja.
Hal itu saya lakukan tentu saja bukan tiba – tiba. Ceritanya, pada pertengahan 2012 lalu saya ketemu dengan Gola Gong, penulis yang nama sebenarnya entah siapa itu. Dia di Surabaya saat itu, hadir dalam sebuah pertemuan pegiat TBM Jawa Timur. Setelah pertemuan, dia mengisi sebuah kelas penulisan kreatif bersama anak – anak SMA Yayasan Siti Khadijah. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir di tempat ini, puluhan tahun silam.
Saya mengikuti kelas bersama anak – anak sekolah, jadi kelihatan paling tua. Dan paling goblok. Bertemu penulis memang begitu, ada letupan semangat yang meluap dalam dada. Keinginan untuk menjadi penulis meluap – luap. Kehendak untuk menulis novel yang bagus menguat. Di depan Gola Gong saya menyebutkan rancangan karya saya, judulnya Tol. Tol adalah sebuah novel yang sederhana. Maaf, rencana. Maaf lagi, angan – angan. Sebab sampai saat ini belum jadi.
Tol bercerita tentang kemacetan perjalanan seorang lelaki beristri di sebuah jalan tol. Di dalam mobil si lelaki terus-terusan teringat dengan istrinya. Biasanya tol itu patas. Tapi tida untuk kali itu. Sebabnya karena ada kecelakaan yang kemudian diketahui adalah istrinya sendiri. Kurang lebih begitu. Saya agak lupa. Novel itu sudah saya buatkan rancangan sampulnya juga. Sebuah halaman berukuran A5 dengan tulisan TOL di bagian tengah sebelah atas. Di tengah garis lurus tebal warna putih. Di bawah nama saya.
Sementara Sebuah Novel yang Belum Pernah Kau Baca adalah novel yang saya rencanakan selepas bertemu Seno Gumira Ajidarma. Saya datang sendirian bermotor dari Bojonegoro ke Jombang. Seno sedang mengisi kelas penulisan di sebuah universitas di Jombang. Saya hanya duduk di sana, menyimak Seno bicara ngalor ngidul yang sudah pernah saya dengar. Dan bicaranya tidak menarik sama sekali, seperti guru SD. Namun saya beruntung bisa minta tanda tangan pada bukunya Trilogi Insiden. Setelah acara, saya menemuinya. Setelah membubuhkan tanda tangan, dia menatap kedua mata saya. Hanya itu. Namun dalam perjalanan pulang, dalam kepala saya muncul Sebuah Novel yang Belum Pernah Kau Baca, lengkap sinopsis dan judulnya. Draft novel itu sudah jadi dan sempat saya cetak 1 eksemplar lalu saya hadiahkan untuk kawan saya yang menikah, bulan Maret 2015 lalu.
Demikian juga dengan Perkawinan Orang Orang Melarat. Gagasannya sederhana. Saya ingin menghadiahi kawan – kawan terbaik saya dengan sebuah buku cerita saat mereka menikah. Buku ini nantinya berisi 5 cerita. Ada yang panjang dan ada yang pendek. Judul – judulnya juga sudah ada; Di Bawah Pohon Ketapang, Mahar Cinta 1000 Rupiah, Memori, Apa yang Kau Inginkan Saijah, dan Partai.
Saya selalu berdoa setiap habis salat agar buku itu segera kelar. Tapi, kita sama - sama tahu, semua kawan baik saya telah kawin. 
Klampok, 21 Februari 2017


Read More →

Mengapa Buku Harus Dibaca?

Oleh Mohamad Tohir
SELEPAS mengikuti diskusi kemarin, saya jadi ingin membaca Ruang Inap Nomor 6. Penyaji dalam diskusi kemarin, Tulus Adarrma, berhasil memengaruhi saya untuk ingin membaca karya penulis cerita tentang orang-orang gila ini.
Memang saya telah membaca karya Chekhov sebelumnya, beberapa cerita pendek. Dan semua cerita pendek karya Chekhov yang saya baca, selalu membuat saya tertawa. Dari cerpen-cerpen Chekhov yang saya baca itu, membuat saya terburu-buru menyimpulkan bahwa Chekhov ini pembuat cerpen lucu. Padahal, tidak sepenuhnya demikian. Seperti kata Tulus, cerpen-cerpen Chekhov yang lucu-lucu itu ditulis dalam fase belum matang. Karya Chekhov yang ditulis di fase matang di antaranya adalah 7 karya dalam buku kumpulan cerita pendek Ruang Inap Nomor 6 itu.
Tentu ngisin-ngisini bukan? Saat Tulus merasa iba dan bergetar membaca karya Chekhov, eh saya malah tertawa. Pasti ada yang nggak benar dengan pikiran saya, atau hati saya yang sudah mengeras. Saya jadi merasa seperti orang yang nggak punya duga. Karena dorongan rasa isin inilah, saya mau tidak mau harus ikut membaca Ruang Inap Nomor 6, karya Chekhov matang. Biar bagaimanapun saya harus percaya Tulus Adarrma. Dia jebolan sastra Indonesia IKIP PGRI Bojonegoro. Skripsi dia tahun lalu, yang meneliti sebuah kumpulan cerpen karya Nanang Fa berjudul Langgar Bercahaya, menggunakan pembacaan strukturalisme genetik.
Maaf. Anda jangan berharap saya akan menulis bagus. Bagus dalam artian sesungguhnya. Bagus seperti apa yang dibilang Tulus Adarrma, mengandung kritik sos. Saya, terus terang, hanya ingin curhat. Saya tidak tahu apakah gejala yang terjadi pada saya ini juga terjadi pada orang lain. Saya juga sempat merasa bahwa ini adalah sebuah penyakit. Saat perasaan demikian datang, saya jadi ge dan er bahwa saya ini orang paling nelangsa di dunia.
Begini, beberapa bulan ini saya sering gonta ganti baca buku. Maksudnya, belum selesai satu buku, lalu sudah buka buku lain. Sebenarnya bukan hanya buku, termasuk… ehm, per… Nggak jadi. Akhir Desember lalu saya sedang membaca Arete Hidup Sukses Menurut Plato karya Romo Setyo Wibowo. Saya membacanya karena ingin sukses. Tapi buku itu malah membuat saya pusing dan membuat saya banyak berpikir. Belum ada separo halaman saya baca dalam seminggu, saya sudah ganti buku Istanbul karya Orhan Pamuk. Gara-garanya seorang teman cerita tentang eksotisme Istanbul dan orang-orang muslim baik hati tapi malas salat. Namun, belum dapat seperempat buku terbaca selama sekitar seminggu, saya sudah membuka Ayat-Ayat Cinta 2 karya Habiburrohman Saerozy. Gara-garanya seorang teman muslim mengaku tidak karya sastra seindah karya Kang Abik (nama akrab Habiburrohman Saerozy). Saya penasaran dan pinjam buku. Sekarang buku itu tidak terbaca gara-gara saya membaca status seorang kawan yang berupa kata-kata seseorang bernama Dimas Suryo, tentang kesukaannya pada salah satu Pandhawa bernama Bima, satu-satunya dari kelima suami Drupadi yang melawan saat sang istri dilecehkan. Dimas Suryo ini tak lain adalah tokoh dalam novel Pulang karya Leila S Chudori. Saya suka sekali dengan pasase dalam status teman saya itu. Saya yang sudah merasa membaca buku itu kok seperti tidak menemukan pasase itu. Jadilah saya membaca ulang Pulang dan menggeletakkan Ayat-Ayat Cinta 2. Namun belum selesai Pulang saya baca, saya ingin baca Ruang Inap Nomor 6 karya Chekhov. Gara-garanya Tulus Adarrma yang seakan-akan mengubah persepsi saya mengenai karya Chekhov.
Saya tidak tahu, apakah saya saja yang merasa begini. Apakah perasaan ini wajar. Dan gejala apakah ini. Saya benar-benar tidak tahu.
Saat mencatat ini pada selembar kertas, saya sedang berada di sebuah tempat minum kopi depan toko buku tengah kota. Sejam lagi toko itu baru buka. Saya akan membeli Ruang Inap Nomor 6. Dan waktu terus berjalan.
Ada selembar kertas dengan deretan kata membentang. Mereka berkata;
“Maknailah meski hanya satu kata sederhana,” Cala Ibi.
Ndalem Atas Angin, 23 Januari


Read More →

Pemanah Hebat Bukan Hanya Arjuna

OLEH MOHAMAD TOHIR


SELAMA setahun lebih saya tak mengisi blog ini. Tapi bukan berarti saya tak menulis sama sekali. Sebagai seorang pengarang yang belum berhasil, tentu tidak menulis merupakan dosa besar. Saya telah menulis beberapa cerpen, surat, dan puisi (hehehe). Beberapa jadi, beberapa setengah jadi, beberapa hanya judulnya saja atau kalimat awalnya saja. Semua ada di laptop saya. Langkahi mayat saya kalau ingin membacanya.
Hanya saja persoalan menulis tentu bukan saja sekadar merangkai kata – kata belaka. Ada proses panjang yang melatarbelakangi, mengikuti dan melingkupinya. Artinya, tulisan tidak berdiri sendiri sebagai sebuah teks, melainkan terlibat dan melibatkan konteks. Itulah hakikat sebuah tulisan.
Sejarah membuktikan, tulisan – tulisan yang dibarengi dengan laku yang penuh tragik kerap kali (untuk tak menyebutnya selalu) menjadi besar. Contoh kecil saja, puisi – puisi Wiji Tukul, yang menurut saya banyak yang tak indah (tanpa membahas lebih dalam makna keindahan), hingga kini masih dibaca dan jadi alat untuk mengumpat penguasa. Dan kita tahu, bagaimana Wiji Tukul menulis. Pikiran dan kondisi apa yang melingkupinya saat dia menulis? Nyawa taruhannya. Kita sama tahu, Wiji Tukul hingga saat ini tak pulang. Ia hilang dalam pekat misteri. Tapi puisinya terus hidup.
Jadi, bisa dikatakan, sebuah tulisan yang memenuhi kutukan orang Yunani sebagai scripta manent, bukanlah sembarang tulisan. Nah, tulisan – tulisan saya tentu saja jauh dari kesan demikian. Kalau menyadari itu selalu membuat nyali saya ciut. Kadang – kadang saya merasa sebagai orang terpuruk dan tolol.

***
SAYA sedang membaca novel Pulang karya Leila S Chudori saat ini, sudah sejak dua minggu yang lalu. Membaca novel ini membuat saya merasa bahwa saya tak mungkin ada dalam pusaran jagat kepengarangan. Saya sudah tahu dari awal bahwa saya tidak mungkin bisa menulis demikiam, kalau ada standar bahwa karya yang bagus adalah karya seperti demikian (Pulang).
Namun sekelumit cerita tentang Ekalaya dalam novel ini (tokoh kesukaan Dimas Suryo), membuat saya lerem. Saya juga menyukai Ekalaya memang. Dia tak masuk dalam arus besar cerita Mahabharata, meski dia tak bisa diabaikan. Dia pemanah yang jauh lebih hebat daripada Arjuna. Dan Ekalaya mampu memanah dengan hebat karena berlatih dengan serius seraya menabalkan keyakinan bahwa tak sepenuhnya pemanah yang hebat adalah dari kalangan utama seperti Pandhawa atau lebih spesifik, Arjuna.
Masalahnya adalah sehebat apapun Ekalaya memanah, dia tetap tak berguna. Dia tidak ikut dalam Bharatayudha. Yah, begitulah!
Klampok, 12 Januari 2017





Read More →

Mengapa Bertemu Pak Soes?

Oleh Mohamad Tohir

PEKAN LALU, pada gerimis lembut sore hari, aku ke Blora. Seorang kawan, Rizky Yuwave namanya, mengajakku sowan ke Soesilo Toer, adik Pramoedya, di Jalan Sumbawa 40, Blora.

Awalnya dia bertemu Soes di Perpusda Blora dalam sebuah acara tentang buku. Di sana Soes menawari untuk berkunjung ke Sumbawa 40. Yuwave mengiyakan. Tapi saat hendak berangkat, dia tak punya teman. Dia menghubungiku untuk menemaninya ke Soes. Tapi saat itu aku sedang di Bangilan. Ada teman yang mengundang untuk diskusi soal buku Pramoedya Arus Balik. (Baca : Aku bukan Pramis).

Akhirnya kesepakatan kami buat, minggu depan, hari jum’at, pagi-pagi amat, kami akan berangkat. Tapi sial ternyata, saat hari itu tiba, pagi-pagi amat aku harus ke sawah untuk ngompres kacang hijau, maka jadinya berangkat habis jumatan. Saat khotbah salat jum’at, aku terus-terusan berkhayal bercengkerama dengan Soes. Bercerita macam-macam dan banyak sekali.

Dari kota aku berangkat bersama Khozin Tores, kawanku yang biasa menemaniku nyapu dan ngepel di Cendrawasih. Mampir ke rumah Yuwave dulu di Padangan, menjemput dia. Setelah duduk sejenak sambil makan tahu bunder hangat bumbu serbuk, kami berangkat.

Di perjalanan, masuk Cepu, hingga hutan jati, gerimis turun. Aku memacu motor dengan kecepatan sedang. Di Jepon, aku semakin pelan, mengamati kiri kanan jalan. Dulu aku pernah hidup di situ, sekitar 3 bulanan, bersama kawanku, namanya Mbah Wali, pada 2005 lalu. Aku masih muda saat itu, meskipun kumisku sudah tumbuh. Aku sering menghabiskan pagi dengan jalan kaki mengitari semak belukar kawasan hutan di sana saat itu dan menghabiskan sore dengan menghisap LA menthol di sebuah warung pinggir sebuah bengkel motor. Pemilik bengkel adalah seorang lelaki peminat tasawuf. Dia sering mengkritik perilaku beragamaku yang landai-landai saja dan tidak progressif. Aku sudah lupa siapa namanya. Dia menanamkan dalam otakku agar tidak ngapurancang saat berdoa sehabis salat. Sampai kini aku begitu, meski sudah lupa alasannya kenapa. Sudah jadi kebiasaan (sama dengan cara kencingku yang duduk. Ibuku yang menanamkan itu. Aku juga lupa alasannya. Sekarang sudah jadi kebiasaan). Aku tidak bisa menemukan lokasi warung dan bengkel itu. Aku sekali berkunjung ke rumah pemilik bengkel itu. Salat maghrib jamaah makmum pada dia. Istrinya sedang hamil tua saat aku berkunjung. Ramah sekali. Dan cantik sekali.

Sisa-sisa hujan masih terlihat saat kami masuk kota Blora. Air menggenang di tepian jalan. Dan kota begitu sepi saat itu. Kami mengelilingi alun-alun dahulu sebelum masuk ke selatan, sebuah jalan yang membawa kami ke Jalan Sumbawa 40.

Jalan Sumbawa 40 adalah pojok  sebuah tikungan jalan. Gerbangnya dari papan kayu bercat warna hijau. Ada tulisan jalan Sumbawa 40 di situ. Yuwave membukanya, membebaskan sebuah tali yang membelit dua sisi kanan dan kiri gerbang itu.

Seorang tua sedang memegang kayu berdiri menatap kami, tersenyum dan menyambut. Dia habis dari kebun yang nampak masih basah oleh guyuran hujan. Aroma harum tanah pekarangan yang luas masih menguar kuat. Aku mengeruk tanah berwarna merah di pekarangan. Kuresapi aromanya. Di tanah ini dulu Pram bermain dan hidup, di masa kecilnya.

Kami dipersilakan masuk ke sebuah bangunan yang melekat dengan rumahnya, sebuah ruangan tak luas, sekitar 6 x 6 meter. Bangunan itu adalah PATABA, Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Itu dibanguan tak lama setelah Pram wafat, 2006 lalu.

Buku-buku berjejer rapi pada rak-rak yang melekat pada tembok di sana. Di dekat pintu, aku menginjak sebuah kertas di lantai, sebuah teks berbahasa Rusia, yang kupungut dan kutaruh di atas meja. Aku teringat pernah menangis gara-gara sebuah tulisan diinjak-injak orang.

Kami akhirnya berbincang-bincang cukup lama, sampai kegelapan mulai menyergap, saat adzan maghrib terdengar. Aku ingin membuat catatan tentang pertemuan itu. Sekadar menangkap momen dan memaknai sebuah desain uluhiah, agar bukan sekadar pertemuan biasa. Namun aku belum bisa. Sebab, tentu saja, ini bukan sekadar soal mengabadikan.

Di perjalanan pulang, kami mampir di pasar Jepon. Sebuah warung makan di pinggir jalan dengan meja besar dan panjang memanjakan perut kami. Aku makan rawon campur pelas campur urap dan sambal dan kecambah dan sambal sriti dan dua gelas es teh tanpa gula.

Sesampainya di Bojonegoro, seorang kawan bertanya padaku; dapat apa dari Soes. Aku tak bisa menjawab. Entahlah, aku merasakan bahwa bagiku tidak dapat apa-apa adalah sesuatu...

11 November 2015



Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates