SAYA sedang membongkar arsip-arsip saya
yang berantakan di dalam kardus dan menemukan sebuah surat. Saya baca surat
yang saya tujukan kepada dosen penguji skripsi saya itu. Ada dua surat, untuk
masing-masing dosen penguji. Saya baru pertama kali bertemu mereka, sekaligus
terakhir.
Membaca ulang, emosi saya meledak. Saya
geram. Malu. Marah. Merasa dungu dan goblok. Malu. Menyesal. Bingung. Sedang semuanya
telah terjadi.
Surat itu hingga kini tak pernah sampai
dan saya belum melakukan apa-apa, sebagai wujud dari kobaran semangat saya
dalam tulisan itu. Mungkin saya telah kalah. Gagal. Dalam banyak hal. Dalam hidup…
Saya unggah kedua surat yang tak pernah
sampai itu, untuk menertawai diri sendiri. Berikut:
Surat Pertama :
Kepada:
Yth.
Bapak Turhan Faqih
Di
Kediaman
Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.
Mungkin bersurat berkesan tidak sopan
dan cengeng di mata sebagian orang. Tapi biar bagaimanapun, ini adalah menulis,
yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer adalah kerja untuk keabadian. Saya
yakin, sebagai orang terpelajar, siapapun tak akan menganggap sebuah tulisan
yang orisinil adalah sebuah sampah tak berarti. Singkatnya, Saya hanya ingin
menyampaikan sedikit uneg-uneg yang sebetulnya ingin saya brolkan kemarin, saat
beberapa menit kita dalam ruangan yang menegangkan itu.
Jujur, saya penakut. Sampai-sampai saya
berikrar kemarin, jikalau saya berani berkata apa adanya saat sidang nanti,
itulah moment paling bersejarah dalam hidup saya. yakni, saat-saat dimana saya
berbuat paling berani yang bisa berakibat fatal. Bisa jadi diklaim criminal,
plagoat sejati, atau apa istilah lainnya. Namun sefatal apapun akibat yang saya
terima, di sisi lain saya merasa sangat senang sekali. Tak terperi senang itu.
Suatu kepuasan tersendiri yang akan mewarnai sejarah hidupku untuk kedepannya.
Apalagi, jikalau ada sebuah kata-kata spirit yang keluar dari Bapak semisal
hanya pekikan : “Teruskan langkahmu, Anak muda!”
Jadi, untuk yang Bapak ucapkan kemarin,
terkait kelulusan, saya bukan type orang seperti itu. Hati kecil saya berontak
mendengar ucapan Bapak bahwa saya mengharap lulus dengan semudah itu. Tidak
Pak. Jujur, jauh sebelum hari telah tertanam di hatiku “saya harus lulus dengan
meninggalkan karya yang baik kalau yang terbaik tidak kecapaian. Dan di situlah
saya hanya akan merasa lulus. Idealisme ini ternyata hanya tertahankan di
alamnya sendiri, karena di alam realita itu telah lahir karya plagiat.
Lagi-lagi saya bertanya, apakah kenyataan akan mengalahkan idealisme itu. Tapi
biarpun demikian, idealisme itu tak pernah mati barang sebentar. Karena itulah,
saya bersikap demikian kemarin. Bukannya saya tak bisa. Tetapi, diri yang
paling mendasar ini menolak saya untuk mengakui karya itu.
Mungkin Bapak kecewa dengan sidang yang
hanya berlangsung sangat singkat itu. Paling buruk dibandingkan dengan yang
lainnya. Dan saya juga mengamini itu. Dimulai pertanyaan tentang yang
melatarbelakangi saya mengangkat judul itu. Bagaimana saya menjawab toh padahal
saya merasa tidak memiliki itu? Juga tidak merasa telah membuat karya itu.
Kalau itu dikatakan membeli, tidak Pak. Saya paling anti seperti itu. Saya
masih teringat masa Aliyah dulu, dimana sekarang sudah menjadi rahasia umum
bahwa peserta UN adalah orang dibalik layar. Saat itu, dimana teman-teman yang
lain pada berharap itu karena hanya dengan itulah lulus akan diraih, saya malah
merasa terhina sekali dengan itu. Saya akan merasa tak lulus. Saya lebih suka
dengan hasil saya sendiri, sejelek apapun itu. Sempat ingin saya awur nomor
peserta saya, namun keadaan tak memungkinkan. Dan mengenai skripsi yang ada
pada tangan bapak kemaren, itu tidak beli. Tetapi lebih pada plagiat. Dari
sebuah file, kamudian diedit sedemikian rupa. Seakan –akan sama sekali tidak
melalui proses moksa intelektual dengan melibatkan uji tesis yang memunculkan
antithesis dan berujung pada sintesis. Memang, saya sadar bahwa cara seperti
itu sudah lazim dilakukan oleh siapapun dan dimanapun, serta sudah bukan
menjadi rahasia lagi pada intinya. Kendati demikian, saya tak bisa merasa
bangga seperti teman-teman kebanyakan dengan cara itu. Saya merasa berdosa Pak.
Saya merasa telah meracuni kesucian ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan.
Karena itulah, sebab paling besar saya tak berkutik kemarin. Dosa besar saya
pikul di pundak dengan wujud karya itu. Menembus permasalahan ini saja tak
terjalani, apalagi masuk pada pembahasan karya itu.
Jadi, pada intinya saya merasa tak bisa
mempertahankan karya itu. Justru saya akan merasa sangat tertekan sekali
jikalau sebuah karya dengan cara seperti itu menuai kelulusan dan dikatakan
baik. Sekarang, saya barda dalam sebuah dilema akan melanjutkan dalam artian
merevisi karya itu atau tidak. Kalau saya lanjutkan berarti saya harus menyerah
pada keadaan yang imbasnya akan sampai pada psichis saya. Saya tak akan pernah merasa
bangga dengan kuliah selama empat tahun itu. Dan ia akan menjadi momok buruk
yang akan menghantui dalam cita-cita dan obsesi saya terhadap dunia
kepenulisan.
Di ruangan itu rasanya, Pramoedya
Ananta Toer, Goenawan Mohamad, A. Mustofa Bisri, Zawawi Imron, AS. Laksana,
Ratna Indraswari Ibrahim, bergelayut dalam otakku. Mengatai bahwa saya adalah
seorang plagiat yang baik. Padahal, merekalah sahabat-sahabat yang dengan
tulisan-tulisan inspiratifnya sedikit banyak membentuk diri saya. saya kuatkan
mental saya dengan menyalami Bapak kemaren. Dan saya yakin, hanya sayalah yang
demikian.
Sungguh, yang kemaren itu adalah sebuah
moment yang buruk dalam sejarah hidup saya. Juga buat cita-cita, obsesi, dan
komitmen pada kepenulisan yang saya geluti hingga detik ini. Tapi, saya tak
ingin terhenti di situ saja. Saya tetap ingin berkarya lebih baik. Sebuah karya
yang bisa saya banggakan. Buat orang seperti saya tak ada hal yang bisa
bermakna dan berkesan selain sebuah karya tulis. Baik itu fiksi berupa novel,
cerpen, esei sastra, atau yang bersifat ilmiah non-fiksi semisal skripsi. Dan
kalau keadaan masih memungkinkan, saya ingin mengangkat sebuah karya yang
bertemakan dunia kepenulisan berkaitan dengan pesantren. Karena bagi saya,
sangat tidak logis, ketika orang berhubungan dengan pesantren tetapi tidak suka
menulis. Karena di pesantren, seperti kata Hasyim Muzadi pada akhirussanah
Pesantren Lirboyo beberapa tahun lalu (saya baca di sebuah esei jawa pos
mingguan yang saya pungut dari pinggir jalan), bahwa pesantren memiliki
khazanah keilmuan yang melimpahruah. Selayaknya jika pesantren mampu membuat
parit agar keilmuan pesantren tidak ngecembeng di wilayah internal, namun bisa
dinikmati secara ma’kul oleh orang-orang di luar pesantren. Di sinilah, menulis
menjadi sebuah tawaran yang menarik untuk itu.
Tentang pernyataan Bapak yang kemaren,
bahwa Bapak berkehandak untuk main atau dolan ke rumah saya, saya menganggap
itu bukan guyonan. Seperti jawaban saya, dengan senang hati dan suatu
kehormatan tersendiri bila itu terkabul. Tentu akan menjadi oase yang
menyejukkan di tengah keterpurukan saya saat ini. Dan saat itulah, saya akan
menemukan sosok dosen yang selama ini hanya saya temui dari novel-novel yang
saya baca.
Kemudian, kembali pada sidang kemarin,
saya agak kecewa mungkin, karena ada halaman yang terlewatkan dari periksa
Bapak, yang seharusnya itulah pintu masuk saya mengungkapkan yang demikian ini.
Yakni pada halaman pernyataan (termasuk halaman awal). Semestinya yang biasa
adalah : adalah hasil karya sendiri bukan duplikasi dari karya orang lain. Akan
tetapi yang tertera di situ adalah yang sebaliknya. Akhirnya, saya merasa tidak
menemukan pintu untuk memulai pembahasan ini dan harus dipaksa oleh keadaan
untuk menerima dan mempertahankan skripsi itu.
Sekian mungkin, semoga semua ini bisa
dijadikan pertimbangan. Terima kasih atas segalanya. Saya tak bisa melupakan
kata-kata Bapak kemaren yang mau ke rumah saya. Dan inilah rumah saya, Pak.
Dunia saya. Bapak bisa menilainya sendiri.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Bojonegoro, 04 Juli
2011
Hormat Saya,
Mohamad Tohir
Surat Kedua:
Kepada
:
Yth. Bpk. Rokim, M.Ag
Di Lamongan
Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.
Sebelum-belumnya saya perlu mohon maaf
bilamana bersurat kepada dosen dipandang sebagai hal yang tidak patut dan sopan.
Akan tetapi, saya yakin seorang terpelajar manapun akan mengamini bahwa kerja
menulis adalah sebagai bukti pendidikan masih sedang berlangsung. Menulis
apapun, meski hanya sebuah surat. Bukankah dari sebuah surat telah lahir habis
terang terbitlah terang? Surat-surat yang menyebabkan Kartini kita kenang dan
anggap sebagai pahlawan itu. Untuk membesarkan hati, saya menghibur diri dengan
kata-kata Pram bahwa menulis adalah kerja untuk keabadian. Dan saya yakin,
sejelek atau selancang apapun tulisan saya ini, akan tetap Anda kenang dan
pertimbangkan dalam bagian dari hidup Anda.
Tulisan saya ini hanya ingin mencoba
mengklarifikasi kenyataan kemarin yang mungkin bagi Anda merupakan sidang
paling buruk dibanding yang lainnya. Begitu pula menurut saya sendiri. Akan
tetapi, seburuk apapun ia, tetap kurang bijak jika kita mengatakan tidak ada
nilai positif yang bisa dipetik darinya. Meski kesannya mungkin Anda kecewa
berat melihat ada sosok seperti itu. Sosok yang Anda anggap tak banyak punya
motivasi.
Saya tidak menaruh sedikitpun rasa tak
pantas, baik benci atau sekadar rasan-rasan buruk. Sudah sepatutnya apa yang
saya alami di ruang sidang itu sebagai konsekuensi dari diri saya pribadi. Tak
ada sangkut pautnya dengan soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan Anda. Sejauh
atau sedalam apapun pertanyaan yang diujikan, bilamana saya siap dan layak,
saya akan hadapi dan jawab.
Benar. Saya tidak berkutik apapun saat
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan Bapak di ruang yang menegangkan itu.
Juga benar jika dikatakan bahwa saya tak memenuhi kriteria yang diharapkan.
Kriteria yang bisa menyimpulkan seseorang itu lulus dan pantas untuk menyandang
sarjana. Saya mengamini itu. Akan tetapi, selain itu perlu juga ditimbang,
mengapa bisa demikian? Inilah barangkali yang ingin saya ungkap di kesempatan
ini. Semampu saya tentunya.
Saya akan mulai dari diri saya pribadi
sebelum sampai pada pertemuan singkat di ruang bersejarah itu. Yang tak begitu
mudah untuk dilupakan, meski saya sangat menyesal karena tak bisa banyak
berkata-kata.
Menurut orang kebanyakan, saya orang
aneh. Dibilang aneh karena memang ada hal yang beda dan itu langka pada
siapapun. Saya kaitkan ini dengan kehidupan saya di pesantren dulu. Sebenarnya
tidak ada yang aneh menurut saya, karena ini sudah menjadi kewajaran dalam
kehidupan. Terlebih lagi sebagai kaum terpelajar. Saya
nyantri di al-Hikmah Singgahan Tuban saat itu.
Sewajarnya santri kebanyakan, konsumsi
bacaan (meski prosentasi suka baca sangat miris) kami adalah kitab kuning dan buku-buku
pelajaran sekolah. Namun, saat itu saya sedang gila terhadap baca segala yang
jarang dibaca temen-temen. Hingga yang paling parah, saya kerapkali beli koran
kiloan di sebuah toko kelontong Tiong Hoa setempat kemudian saya pilih rubrik
opini, budaya, atau segala yang sifatnya tulisan karangan baik artikel, esei,
maupun cerpen. Itulah rubrik yang paling saya minati untuk kemudian saya bikin
kliping dan koleksi pribadi.
Dari semua itu, saya mulai mengenal
nama-nama penulis yang saya kagumi seperti Gunawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib,
Fahrudin Nasrullah, Taufik Ismail, Hudan Hidayat, Budi Dharma, Andrea Hirata,
hingga Pramoedya Ananta Toer. Bertumpuk-tumpuk koran saya koleksi hingga
beberapa dus, yang saya yakin tak akan dilakukan oleh teman-temankebanyakan.
Saya tak terlalu panjang fikir dengan apa yang saya lakukan dan sukai itu.
Hanya saya merasakan begitu nikmat dan seakan itulah duniaku di tengah
ketidakberdayaan saya untuk grudak-gruduk bersama teman-teman lain.
Dari situlah, suka baca saya terbentuk.
Saya mulai mengarah pada isi dari tulisan-tulisan orang-orang itu. Di dunia
sastra, saya sempat menyaksikan betapa sengitnya perdebatan antara kubu tua
dengan kubu muda tentang genre sebuah karya sastra. Muncul sebuah istilah
gerakan syahwat merdeka, yakni sebuah sebutan yang disematkan oleh kubu tua,
dikedepani oleh Tufik Ismail, pada aliran sastra Hudan Hidayat yang kerapkali
memakai bahasa ekstrem tubuh sebagai lompatan gagasan ide yang ingin
disampaikan dalam karyanya. Di ruang agama, saya menemui seteru sengit antara
golongan Islam garius keras dan corak-corak Islam disebut-sebut Islam kiri yang
dalam tulisan-tulisannya mengkampanyekan ide rahmatan lilalaamin, perdamaian,
toleransi beragama, pluralisme, liberalism. Nama-nama Ulil Abshar Abdalla, Guntur
Romli, Djohan Effendy, Luthfi As-Syaukani, Abdul Munir Mulkhan, juga
Abdurrahman Wahid yang saat itu sedang dalam atmosfer panas.
Begitulah, hingga waktu berjalan saya
tiba-tiba saja mempunyai azam dan obsesi yang kuat dalam dunia kepenulisan.
Pelan dan pelan saya mulai mencoba untuk menulis disamping kegilaan saya
membaca semakin menjadi. Kalau boleh saya menduga-duga saya rasa semua itu
adalah sebuah panggilan hidup. Bacaan-bacaan, tokoh-tokoh, pemikiran-pemikiran,
kian hari namapak selalu ada yang baru. Meski dari sekian yang saya minati
adalah tokoh-tokoh yang kerapkali dipandang sebelah mata, alis banyak dicap
atau diklaim aneh. Mereka yang karena tulisan-tulisannya pada akhirnya harus
menanggung resiko yang tak enak, bahkan sampai harus mendekam di bui. Pramoedya
Ananta Toer misalnya, saya mengenalnya pertama kali dari koran lusuh yang saya
beli dari toko kelontong Tiong Hoa di Singgahan (Tuban). Dalam lead sebuah esai
yang saya lupa penulisnya, mengutip kata-kata Pram : “Anak muda, menulislah. Jangan
takut tidak dibaca atau dibuang orang. Yang penting tulis. tulis dan tulis.
Suatu saat pasti ada yang membacanya dan (bahkan) menerbitkannya”. Entah energi
apa yang ada dalam kata-kata profokatif sastrawan besar kelahiran Blora itu
yang ternyata amat menghantui jiwa paling mendasar saya. Yang menumbuhkan
spirit menulis saya. Berapa lama saya mencari karya Pram di berbagai toko buku
baik swalayan maupun toko buku bekas. Baru akhir-akhir ini saya menemukan
beberapa karya Pram dari seorang teman baru saya, Anas AG., wartawan Radar
Bojonegoro yang juga sangat gila baca-tulis. Bersamanya, juga beberapa teman
yang mempunyai obsesi sama, meski hanya beberapa glintir, kini saya mulai
belajar bareng. Berkumpul dalam sebuah wadah yang menamakan diri Sindikat Suka
Baca. Jujur, saya tak bisa berbohong bahwa skripsi belum ada dalam fikiran
saya. Seiring sempitnya waktu, saya masih belum menemukan inspirasi untuk
skripsi saya. Di sisi lain, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak
Langkah, Gadis Pantai, panggil Aku Kartini Saja, melesak-lesak dalam anganku.
Ingin kulahap habis semua karya masterpiece Pram itu.
Menulis, adalah satu hal yang bagi saya
menduduki tempat istimewa. Di sinilah kiranya saya mengkaitkannya dengan
skripsi yang diujikan kemaren. Saya diam dan tak berkutik bukan berarti saya
tak bisa saja. Di samping itu saya merasakan bahwa dosa besar terpikul di
pundak dan jalan masa depan saya. Saya merasa telah melakukan kesalahan besar.
Namun, sungguh, tak pernah terbersit sedikitpun bahwa saya merasa memiliki
karya itu. Akan tetapi bukan berarti saya membeli. Saya paling anti untuk satu
ini. Hanya saja, yang saya lakukan adalah plagiat. Dari sebuah file karya
seseorang dengan judul demikian, kemudian saya edit sedemikian rupa. Begitu
prosesnya.
Saya tahu, cara itu telah wajar dan
sudah menjadi rahasia umum. Saya tak yakin dari sekian ribu mahasiswa semuanya
mengangkat judul dan permasalahan baru dalam khazanah keilmuan untuk
skripsinya. Cara seperti yang saya sebutkan itu, adalah pilihan bagi kebanyakan
karena tidak perlu sulit-sulit dan banyak menanggung resiko. Akan tetapi, saya
tak bisa seperti itu dengan pd. Bahkan bagi saya resikonya jauh lebih besar.
Dan buat saya seakan menjadi sebuah momok yang akan menghantui setiap goresan
tinta dan gerak jari-jariku pada keyboard untuk kurun waktu yang saya tak tahu
akan usai atau tidak. Ini yang paling jujur. Kendati pada kenyataannya saya
harus kalah. Saya tetap menggunakan cara serupa. Tetapi saya tetap tak bisa
pertanggungjawabkan dan pertahankan di depan Anda kemarin.
Jadi, fikiran dan perasaan itulah yang
memotivasi saya sehingga tak berdaya berhadapan dengan Bapak di sidang
munaqasah kemaren.
Oleh karena itu, saya terngiang-ngiang
ketika Anda mengatakan saya masih muda tetapi tak banyak motivasi. Saya tak
menyangkal itu karena demam meradang segenap fikiran saat itu. Benarkah hidup
saya tak punya motivasi? Bukankah yang membuat saya terbisu itu adalah motivasi
luar biasa saya terhadap nilai-nilai kejujuran? Gelar macam apakah yang akan
saya pakai dengan kebohongan pada karya terakhir di penghujung empat tahun S1
ini? luar biasa dahsyat dorongan-dorongan itu hingga saya merasa takut sekali.
Takut akan apa konsekuensi bila yang demikian ini saya brolkan. Apakah akan
di-DO, tak bisa lulus bersama teman-teman.
Benarkah jika saya berprinsip, semua
itu tak apa bila memang menjadi konskwensi atas apa yang saya perbuat? Saya
lebih senang bila karya ini tidak diloloskan. Saya membayangkan apa yang bisa
saya banggakan dari gelar sarjana saya nantinya. Tak ada. Hanya karya tulis
berupa skripsi itulah kiranya yang bisa saya banggakan. Akan tetapi, sekarang
dengan karya itu, semuanya akan pupus bila benar-benar lolos.
Kemarin selasa (05/ Jul 2011), Budi
Darma menulis di KOMPAS tentang mental bangsa kita. Tentang bangsa yang tak
percaya pada kemampuan sendiri dan silau dengan apa yang ada di luar diri. Toh
padahal, apa yang tampak hebat di luar diri itu tidak lebih hebat dari diri
sendiri. Saya tersentak dengan catatan guru besar Sastra Unesa itu. Juga catatn
Pram lewat celoteh Nyi Ontosoroh pada Minke dalam Anak Semua Bangsa ketika
lulusan H.B.S itu terpesona betul pada Eropa. Tulisan mereka ini rasa-rasanya
menegur saya. menguatkan saya agar percaya bahwa saya bisa dan layak untuk
berbuat sendiri. Bukannya berduplikat. Dalam hal apapun. Ah, saya musti kuatkan
mental saya.
Kemarin, di ruang itulah sebenarnya
saya ingin mengungkapkan semua ini, yang ada dalam bayangan saya sebelum masuk
ruangan. Bukan tanya jawab bahasan seperti teman-teman kebanyakan, karena
terhenti oleh masalah orisinalitas karya yang saya bawa. Sebelumnya sudah saya
siapkan sebenarnya. Sebuah pintu pembuka untuk mengarah ke situ. Surat
pernyataan yang menjadi bagian awal karya itu, adalah sebenarnya yang saya
jadikan pintu masuk. Tetapi sayang, itu terlewatkan. Entah karena saking capek
Anda karena sidang itu adalah yang terakhir, atau entah apa sebab, yang
selembar itu tak terbaca. Yang sewajarnya adalah kata : adalah karya sendiri
alias bukan duplikasi karya orang lain. Dan yang tertera pada naskah yang Anda
berdua bawa adalah “SEBALIKNYA”. Ingin saya tunjukkan itu. Tetapi entah kenapa
rasa takut mendera saya. Saya takut sekali saat itu. Tetapi, biar bagaimanapun
itu adalah yang sebenarnya. Jadi, semua musti saya sampaikan. Meski lantaran
sebuah tulisan.
Meski yang terjadi ini adalah hal buruk
dalam sejarah hidup saya ; menghina keribadian dan obsesi saya pada dunia
tulis, bahkan bisa juga dibilang merendahkan kesucian pengetahuan dan dunia
pendidikan. Saya tetap berkeinginan untuk berkarya. Saya telah berberat harapan
untuk mengangkat gebyar literasi di pesantren. Saya melirik Ahmad Mustofa Bisri
dan Roudhotut Tholibin-nya. Sebagai seorang kiai pesantren dan budayawan yang
KTPnya tertulis pekerjaan : penulis, tentu beliau dan pesantrennyalah yang
menurut saya paling pantas untuk dijadikan objek penelitian ini.
Jadi, nampaknya Anda agak salah duga
bahwa saya adalah sosok tanpa motivasi. Semangat saya membara-bara betul untuk
menggeluti dunia tulis-baca. Dan yang saya hadapi sudah barang tentu adalah
terkait baca-tulis. Tentunya, bila tanpa motivasi, saya tak akan tampak lungset
seperti itu di ruang sidang. Tanpa motivasi, mungkin saya akan dengan pedenya
mengakui bahwa itu karya saya. Saya akan enjoy & cengar-cengir ketika
diklaim plagiator, atau malah meyakinkan bahwa itu sudah biasa dilakukan orang
kebanyakan. Itu bila saya hidup tanpa motivasi. Akan tetapi, saya takut. Saya
takut sendirian. Saya takut semua mencibir dan mengataiku keminter. Saya takut
ini adalah seratus persen keliru dan dikelirukan. Rasa takut itu terus saya
bawa hingga di penghujung waktu hari H sidang skripsi. Sementara belum saya
melakukan sesuatu apa. Dan inilah kiranya saya harus menghadapi ketakutan itu.
Begitu kira-kira sekilas yang ingin
saya sampaikan kemarin. Hanya karena pintu itu tak tersentuh, pada akhirnya
saya harus dipaksa oleh keadaan untuk mempertahankan skripsi itu. Saya kutuki
betul apa yang saya perbuat itu.
Untuk gambaran ke depan, seperti saya
sebut tadi saya ingin membuat penelitian di Pesantren kiai Rembang itu. Kiai
budayawan yang juga jadi tokoh inspiratif saya di bidang tulis menulis.
Saya sengaja menulis ini. Bukannya saya
takut. Pasalnya, saya lemah pada olah vokal. Semoga semua ini menjadi
pertimbangan. Meski bukan pada hitam di atas putih, paling tidak pada wilayah
nilai kemanusiaan dan pendidikan paling asasi sebelum ia menjadi ketetapan
undang-undangi. Wallahu A’lam Bi as-Showab.
Wassalamu ‘Alaikum Wr.Wb
Bojonegoro, 08 Juli 2011
Hormat Saya
Mohamad Tohir
Kadang saya berpikir bahwa saya tak
lagi muda, sedang maut makin dekat datang menyambut, dan saya belum beranjak
dari bengong.
|K070720141724|