CINTA DI SEBUAH KAPAL

Oleh Mohamad Tohir
 
Titanic saat akan berangkat. Foto : capture of Titanic


TENTU YANG dimaksud adalah kapal besar yang pernah ada di muka bumi ini yang akhirnya tenggelam itu, Titanic. Kapal uap besar itu tumbang oleh kesombongannya pada laut yang menyimpan kemungkinan-kemungkinan di balik kedalamannya, samudra Atlantic. Tentang Titanic, saya dapat dari ilustrasi film luar biasa yang saya tonton saat masih kelas 5 SD dulu (setelah nonton film itu, saya belajar menggambar perempuan telanjang). Lama masanya saya mengira film ini tentang sekadar tontonan 'dewasa', sebelum kemudian menontonnya kembali 18 tahun setelah itu.
Titanic digarap oleh James Cameron (adalah juga yang menggarap The Terminator dan Avatar). Film inilah yang meroketkan Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet, tokoh utama dalam film ini. Titanic oleh Cameron digambarkan lebih dari sekadar kapal tenggelam dan perburuan berlian berharga berjuluk ‘jantung lautan’ yang hanyut bersama kapal itu. Titanic adalah sebuah kisah cinta dan dilemanya dalam pusaran borjuis vis a vis kaum papa. Titanic adalah ironi kelas sosial dalam kehidupan, pada sebuah kapal. Kelas 3 di dek bawah dan kelas 1 di dek atas dengan fasilitasnya yang memanjakan. Kelas 3 haram naik di dek atas, tidak sebaliknya. Kelas 3 bisa bersanding dengan kelas 1, adalah seperti dapat kentut malaikat (istilah dalam salah satu adegan film ini, saat Jack pertama kali melihat Rose).
Adalah Jack Dawson (Leonardo di Caprio), pria muda asal Irlandia yang energik, pelukis, pengembara, miskin dan hidup tak menentu. Dia beruntung bisa turut serta di keberangkatan perdana Titanic. Dia dapat tiket berlayar karena menang poker. Nasib baik bagi seorang papa adalah keberuntungan dan berkah yang luar biasa. “Saya mempunyai segalanya. Udara untuk bernapas. Kertas kosong untuk saya gambari. Saya lebih suka bangun pagi tanpa tahu apa yang akan terjadi, apa yang akan saya lakukan dan dimana saya akan berhenti,” katanya saat masuk di lingkaran borjuis yang memandangnya remeh.
Justru itulah yang mengundang keterpesonaan Rose Dewitt Bukater (Kate Winslet), perempuan cantik yang jadi korban utang ayahnya. Nasibnya telah ditentukan oleh cincin tunangannya dengan orang terkaya di kapal itu, Caleidon Hockley. Carl adalah putra pengeclaim berlian jantung lautan yang berupa kalung itu. Kalung itu dipersembahkannya pada Rose. Jantung lautan pernah dipakai oleh Raja Louis XIX tapi hilang.

Jack and Rose. Foto : capture of Titanic

Rose bosan hidup di tengah rutinitas yang nyaris tanpa kejutan dan tantangan. Orang-orang yang bicara seirama, minum-minum yang terjadwal, obrolan-obrolan tentang kekayaan dan uang baru, dan pikiran-pikiran yang sama. Dia menemukan hidup dalam diri dan pikiran Jack.
Rose gadis pintar lulusan universitas. Dia penyuka karya Claude Monet, pelukis empiris dari Perancis itu. Dia membawa koleksi lukisan itu bersamanya di Titanic. Dia juga pengagum pemikian Sigmund Freud, filsuf yang mengenalkan psikoanalisa itu. Lihatlah :
“Aku ingin menyampaikan ukurannya. Dan ukuran berarti stabilitas, kemewahan, dan terutama kekuatan,” kata penama kapal Titanic, Ismay.
“Apakah Anda kenal Dr. Freud Tuan Ismay. Pikirannya tentang kesukaan pria terhadap ukuran mungkin menarik bagi Anda,” olok Rose di sebuah perjamuan makan siang. Saat itu mereka tengah dialog tentang hebatnya Titanic.
Rose bertemu Jack ketika dia berusaha bunuh diri. Dia putus asa dengan hidup yang suram dan tanpa warna itu.
Dia tersentuh ketika menemukan Jack adalah pelukis jalanan yang peka terhadap manusia-manusia sebagai objek yang digambarnya.
Pertemuan hati keduanya membawa Jack masuk di lingkaran dek atas yang isinya kaum borjuis yang otomatis dia tidak diterima dan dianggap bagai cacing tanah. Cintalah yang mengaburkan batasan-batasan itu.
Kesombongan borjuis itu akhirnya ditertawakan oleh kedua insan dimabuk cinta itu. Juga oleh alam lewat laut yang sudah pasti menenggelamkan apa yang masuk di dalamnya. Titanic menyerempet gunungan es dan pecah bagian bawahnya. Mereka besar dan kuat tapi tak bisa belok cepat. Air meluber dalam kapal. Laut yang tenang itu menunjukkan keperkasaannya yang tak bisa dilawan oleh apapun. Semua orang sama di tengah tragedi itu. Siapapun tak lagi bisa memastikan apakah besok masih bisa makan sambel atau tidak.

Tenggelam dalam dua jam. Foto : capture of Titanic

Jack mati pada akhirnya, setelah berjuang hingga titik terakhir bersama Rose. Mereka mempertahankan hidup hingga Titanic benar-benar tenggelam. Perjuangan orang papa memang untuk sebuah kekalahan. Rose tetap hidup. Dia saksi keberadaan dan keluarbiasaan Jack. Jack yang tak terlupakan. Jack yang  mengerahkan segalanya hingga detik terakhir.
Yang penting kau telah melawan, Nak Nyo!
Saya jadi ingat kata-kata dalam dialog akhir roman agung Bumi Manusianya Pram itu, antara Nyi Ontosoroh dan Minke.
Cerita cinta di kapal besar itu diceritakan oleh Rose, 80 tahun kemudian, saat orang mencoba menelusuri tregedi itu kembali. Pada mulanya pencarian jantung lautan, tapi cerita Titanic bagi Rose adalah cerita cinta yang tak terlupakan. Cerita yang menjadi misteri sampai Rose mengungkapkannya. "Hati seorang wanita adalah lautan penuh misteri," kata Rose.

Bojonegoro, 21 Juli 2014

Read More →

MEMBUAT PARIT - Episode Surat

Oleh Mohamad Tohir

SAYA sedang membongkar arsip-arsip saya yang berantakan di dalam kardus dan menemukan sebuah surat. Saya baca surat yang saya tujukan kepada dosen penguji skripsi saya itu. Ada dua surat, untuk masing-masing dosen penguji. Saya baru pertama kali bertemu mereka, sekaligus terakhir.
Membaca ulang, emosi saya meledak. Saya geram. Malu. Marah. Merasa dungu dan goblok. Malu. Menyesal. Bingung. Sedang semuanya telah terjadi.
Surat itu hingga kini tak pernah sampai dan saya belum melakukan apa-apa, sebagai wujud dari kobaran semangat saya dalam tulisan itu. Mungkin saya telah kalah. Gagal. Dalam banyak hal. Dalam hidup…
Saya unggah kedua surat yang tak pernah sampai itu, untuk menertawai diri sendiri. Berikut:

Surat Pertama :

Kepada:
Yth. Bapak Turhan Faqih
Di Kediaman  


Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.
Mungkin bersurat berkesan tidak sopan dan cengeng di mata sebagian orang. Tapi biar bagaimanapun, ini adalah menulis, yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer adalah kerja untuk keabadian. Saya yakin, sebagai orang terpelajar, siapapun tak akan menganggap sebuah tulisan yang orisinil adalah sebuah sampah tak berarti. Singkatnya, Saya hanya ingin menyampaikan sedikit uneg-uneg yang sebetulnya ingin saya brolkan kemarin, saat beberapa menit kita dalam ruangan yang menegangkan itu.
Jujur, saya penakut. Sampai-sampai saya berikrar kemarin, jikalau saya berani berkata apa adanya saat sidang nanti, itulah moment paling bersejarah dalam hidup saya. yakni, saat-saat dimana saya berbuat paling berani yang bisa berakibat fatal. Bisa jadi diklaim criminal, plagoat sejati, atau apa istilah lainnya. Namun sefatal apapun akibat yang saya terima, di sisi lain saya merasa sangat senang sekali. Tak terperi senang itu. Suatu kepuasan tersendiri yang akan mewarnai sejarah hidupku untuk kedepannya. Apalagi, jikalau ada sebuah kata-kata spirit yang keluar dari Bapak semisal hanya pekikan : “Teruskan langkahmu, Anak muda!”
Jadi, untuk yang Bapak ucapkan kemarin, terkait kelulusan, saya bukan type orang seperti itu. Hati kecil saya berontak mendengar ucapan Bapak bahwa saya mengharap lulus dengan semudah itu. Tidak Pak. Jujur, jauh sebelum hari telah tertanam di hatiku “saya harus lulus dengan meninggalkan karya yang baik kalau yang terbaik tidak kecapaian. Dan di situlah saya hanya akan merasa lulus. Idealisme ini ternyata hanya tertahankan di alamnya sendiri, karena di alam realita itu telah lahir karya plagiat. Lagi-lagi saya bertanya, apakah kenyataan akan mengalahkan idealisme itu. Tapi biarpun demikian, idealisme itu tak pernah mati barang sebentar. Karena itulah, saya bersikap demikian kemarin. Bukannya saya tak bisa. Tetapi, diri yang paling mendasar ini menolak saya untuk mengakui karya itu.
Mungkin Bapak kecewa dengan sidang yang hanya berlangsung sangat singkat itu. Paling buruk dibandingkan dengan yang lainnya. Dan saya juga mengamini itu. Dimulai pertanyaan tentang yang melatarbelakangi saya mengangkat judul itu. Bagaimana saya menjawab toh padahal saya merasa tidak memiliki itu? Juga tidak merasa telah membuat karya itu. Kalau itu dikatakan membeli, tidak Pak. Saya paling anti seperti itu. Saya masih teringat masa Aliyah dulu, dimana sekarang sudah menjadi rahasia umum bahwa peserta UN adalah orang dibalik layar. Saat itu, dimana teman-teman yang lain pada berharap itu karena hanya dengan itulah lulus akan diraih, saya malah merasa terhina sekali dengan itu. Saya akan merasa tak lulus. Saya lebih suka dengan hasil saya sendiri, sejelek apapun itu. Sempat ingin saya awur nomor peserta saya, namun keadaan tak memungkinkan. Dan mengenai skripsi yang ada pada tangan bapak kemaren, itu tidak beli. Tetapi lebih pada plagiat. Dari sebuah file, kamudian diedit sedemikian rupa. Seakan –akan sama sekali tidak melalui proses moksa intelektual dengan melibatkan uji tesis yang memunculkan antithesis dan berujung pada sintesis. Memang, saya sadar bahwa cara seperti itu sudah lazim dilakukan oleh siapapun dan dimanapun, serta sudah bukan menjadi rahasia lagi pada intinya. Kendati demikian, saya tak bisa merasa bangga seperti teman-teman kebanyakan dengan cara itu. Saya merasa berdosa Pak. Saya merasa telah meracuni kesucian ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan. Karena itulah, sebab paling besar saya tak berkutik kemarin. Dosa besar saya pikul di pundak dengan wujud karya itu. Menembus permasalahan ini saja tak terjalani, apalagi masuk pada pembahasan karya itu.
Jadi, pada intinya saya merasa tak bisa mempertahankan karya itu. Justru saya akan merasa sangat tertekan sekali jikalau sebuah karya dengan cara seperti itu menuai kelulusan dan dikatakan baik. Sekarang, saya barda dalam sebuah dilema akan melanjutkan dalam artian merevisi karya itu atau tidak. Kalau saya lanjutkan berarti saya harus menyerah pada keadaan yang imbasnya akan sampai pada psichis saya. Saya tak akan pernah merasa bangga dengan kuliah selama empat tahun itu. Dan ia akan menjadi momok buruk yang akan menghantui dalam cita-cita dan obsesi saya terhadap dunia kepenulisan.
Di ruangan itu rasanya, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, A. Mustofa Bisri, Zawawi Imron, AS. Laksana, Ratna Indraswari Ibrahim, bergelayut dalam otakku. Mengatai bahwa saya adalah seorang plagiat yang baik. Padahal, merekalah sahabat-sahabat yang dengan tulisan-tulisan inspiratifnya sedikit banyak membentuk diri saya. saya kuatkan mental saya dengan menyalami Bapak kemaren. Dan saya yakin, hanya sayalah yang demikian.
Sungguh, yang kemaren itu adalah sebuah moment yang buruk dalam sejarah hidup saya. Juga buat cita-cita, obsesi, dan komitmen pada kepenulisan yang saya geluti hingga detik ini. Tapi, saya tak ingin terhenti di situ saja. Saya tetap ingin berkarya lebih baik. Sebuah karya yang bisa saya banggakan. Buat orang seperti saya tak ada hal yang bisa bermakna dan berkesan selain sebuah karya tulis. Baik itu fiksi berupa novel, cerpen, esei sastra, atau yang bersifat ilmiah non-fiksi semisal skripsi. Dan kalau keadaan masih memungkinkan, saya ingin mengangkat sebuah karya yang bertemakan dunia kepenulisan berkaitan dengan pesantren. Karena bagi saya, sangat tidak logis, ketika orang berhubungan dengan pesantren tetapi tidak suka menulis. Karena di pesantren, seperti kata Hasyim Muzadi pada akhirussanah Pesantren Lirboyo beberapa tahun lalu (saya baca di sebuah esei jawa pos mingguan yang saya pungut dari pinggir jalan), bahwa pesantren memiliki khazanah keilmuan yang melimpahruah. Selayaknya jika pesantren mampu membuat parit agar keilmuan pesantren tidak ngecembeng di wilayah internal, namun bisa dinikmati secara ma’kul oleh orang-orang di luar pesantren. Di sinilah, menulis menjadi sebuah tawaran yang menarik untuk itu.
Tentang pernyataan Bapak yang kemaren, bahwa Bapak berkehandak untuk main atau dolan ke rumah saya, saya menganggap itu bukan guyonan. Seperti jawaban saya, dengan senang hati dan suatu kehormatan tersendiri bila itu terkabul. Tentu akan menjadi oase yang menyejukkan di tengah keterpurukan saya saat ini. Dan saat itulah, saya akan menemukan sosok dosen yang selama ini hanya saya temui dari novel-novel yang saya baca.
Kemudian, kembali pada sidang kemarin, saya agak kecewa mungkin, karena ada halaman yang terlewatkan dari periksa Bapak, yang seharusnya itulah pintu masuk saya mengungkapkan yang demikian ini. Yakni pada halaman pernyataan (termasuk halaman awal). Semestinya yang biasa adalah : adalah hasil karya sendiri bukan duplikasi dari karya orang lain. Akan tetapi yang tertera di situ adalah yang sebaliknya. Akhirnya, saya merasa tidak menemukan pintu untuk memulai pembahasan ini dan harus dipaksa oleh keadaan untuk menerima dan mempertahankan skripsi itu.
Sekian mungkin, semoga semua ini bisa dijadikan pertimbangan. Terima kasih atas segalanya. Saya tak bisa melupakan kata-kata Bapak kemaren yang mau ke rumah saya. Dan inilah rumah saya, Pak. Dunia saya. Bapak bisa menilainya sendiri.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Bojonegoro, 04 Juli 2011


Hormat Saya,


Mohamad Tohir




Surat Kedua:

 Kepada : 
Yth. Bpk. Rokim, M.Ag 
Di Lamongan


Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.

Sebelum-belumnya saya perlu mohon maaf bilamana bersurat kepada dosen dipandang sebagai hal yang tidak patut dan sopan. Akan tetapi, saya yakin seorang terpelajar manapun akan mengamini bahwa kerja menulis adalah sebagai bukti pendidikan masih sedang berlangsung. Menulis apapun, meski hanya sebuah surat. Bukankah dari sebuah surat telah lahir habis terang terbitlah terang? Surat-surat yang menyebabkan Kartini kita kenang dan anggap sebagai pahlawan itu. Untuk membesarkan hati, saya menghibur diri dengan kata-kata Pram bahwa menulis adalah kerja untuk keabadian. Dan saya yakin, sejelek atau selancang apapun tulisan saya ini, akan tetap Anda kenang dan pertimbangkan dalam bagian dari hidup Anda.
Tulisan saya ini hanya ingin mencoba mengklarifikasi kenyataan kemarin yang mungkin bagi Anda merupakan sidang paling buruk dibanding yang lainnya. Begitu pula menurut saya sendiri. Akan tetapi, seburuk apapun ia, tetap kurang bijak jika kita mengatakan tidak ada nilai positif yang bisa dipetik darinya. Meski kesannya mungkin Anda kecewa berat melihat ada sosok seperti itu. Sosok yang Anda anggap tak banyak punya motivasi.
Saya tidak menaruh sedikitpun rasa tak pantas, baik benci atau sekadar rasan-rasan buruk. Sudah sepatutnya apa yang saya alami di ruang sidang itu sebagai konsekuensi dari diri saya pribadi. Tak ada sangkut pautnya dengan soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan Anda. Sejauh atau sedalam apapun pertanyaan yang diujikan, bilamana saya siap dan layak, saya akan hadapi dan jawab.
Benar. Saya tidak berkutik apapun saat berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan Bapak di ruang yang menegangkan itu. Juga benar jika dikatakan bahwa saya tak memenuhi kriteria yang diharapkan. Kriteria yang bisa menyimpulkan seseorang itu lulus dan pantas untuk menyandang sarjana. Saya mengamini itu. Akan tetapi, selain itu perlu juga ditimbang, mengapa bisa demikian? Inilah barangkali yang ingin saya ungkap di kesempatan ini. Semampu saya tentunya.
Saya akan mulai dari diri saya pribadi sebelum sampai pada pertemuan singkat di ruang bersejarah itu. Yang tak begitu mudah untuk dilupakan, meski saya sangat menyesal karena tak bisa banyak berkata-kata.
Menurut orang kebanyakan, saya orang aneh. Dibilang aneh karena memang ada hal yang beda dan itu langka pada siapapun. Saya kaitkan ini dengan kehidupan saya di pesantren dulu. Sebenarnya tidak ada yang aneh menurut saya, karena ini sudah menjadi kewajaran dalam kehidupan. Terlebih lagi sebagai kaum terpelajar. Saya nyantri di al-Hikmah Singgahan Tuban saat itu.
Sewajarnya santri kebanyakan, konsumsi bacaan (meski prosentasi suka baca sangat miris) kami adalah kitab kuning dan buku-buku pelajaran sekolah. Namun, saat itu saya sedang gila terhadap baca segala yang jarang dibaca temen-temen. Hingga yang paling parah, saya kerapkali beli koran kiloan di sebuah toko kelontong Tiong Hoa setempat kemudian saya pilih rubrik opini, budaya, atau segala yang sifatnya tulisan karangan baik artikel, esei, maupun cerpen. Itulah rubrik yang paling saya minati untuk kemudian saya bikin kliping dan koleksi pribadi.
Dari semua itu, saya mulai mengenal nama-nama penulis yang saya kagumi seperti Gunawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Fahrudin Nasrullah, Taufik Ismail, Hudan Hidayat, Budi Dharma, Andrea Hirata, hingga Pramoedya Ananta Toer. Bertumpuk-tumpuk koran saya koleksi hingga beberapa dus, yang saya yakin tak akan dilakukan oleh teman-temankebanyakan. Saya tak terlalu panjang fikir dengan apa yang saya lakukan dan sukai itu. Hanya saya merasakan begitu nikmat dan seakan itulah duniaku di tengah ketidakberdayaan saya untuk grudak-gruduk bersama teman-teman lain.
Dari situlah, suka baca saya terbentuk. Saya mulai mengarah pada isi dari tulisan-tulisan orang-orang itu. Di dunia sastra, saya sempat menyaksikan betapa sengitnya perdebatan antara kubu tua dengan kubu muda tentang genre sebuah karya sastra. Muncul sebuah istilah gerakan syahwat merdeka, yakni sebuah sebutan yang disematkan oleh kubu tua, dikedepani oleh Tufik Ismail, pada aliran sastra Hudan Hidayat yang kerapkali memakai bahasa ekstrem tubuh sebagai lompatan gagasan ide yang ingin disampaikan dalam karyanya. Di ruang agama, saya menemui seteru sengit antara golongan Islam garius keras dan corak-corak Islam disebut-sebut Islam kiri yang dalam tulisan-tulisannya mengkampanyekan ide rahmatan lilalaamin, perdamaian, toleransi beragama, pluralisme, liberalism. Nama-nama Ulil Abshar Abdalla, Guntur Romli, Djohan Effendy, Luthfi As-Syaukani, Abdul Munir Mulkhan, juga Abdurrahman Wahid yang saat itu sedang dalam atmosfer panas.
Begitulah, hingga waktu berjalan saya tiba-tiba saja mempunyai azam dan obsesi yang kuat dalam dunia kepenulisan. Pelan dan pelan saya mulai mencoba untuk menulis disamping kegilaan saya membaca semakin menjadi. Kalau boleh saya menduga-duga saya rasa semua itu adalah sebuah panggilan hidup. Bacaan-bacaan, tokoh-tokoh, pemikiran-pemikiran, kian hari namapak selalu ada yang baru. Meski dari sekian yang saya minati adalah tokoh-tokoh yang kerapkali dipandang sebelah mata, alis banyak dicap atau diklaim aneh. Mereka yang karena tulisan-tulisannya pada akhirnya harus menanggung resiko yang tak enak, bahkan sampai harus mendekam di bui. Pramoedya Ananta Toer misalnya, saya mengenalnya pertama kali dari koran lusuh yang saya beli dari toko kelontong Tiong Hoa di Singgahan (Tuban). Dalam lead sebuah esai yang saya lupa penulisnya, mengutip kata-kata Pram : “Anak muda, menulislah. Jangan takut tidak dibaca atau dibuang orang. Yang penting tulis. tulis dan tulis. Suatu saat pasti ada yang membacanya dan (bahkan) menerbitkannya”. Entah energi apa yang ada dalam kata-kata profokatif sastrawan besar kelahiran Blora itu yang ternyata amat menghantui jiwa paling mendasar saya. Yang menumbuhkan spirit menulis saya. Berapa lama saya mencari karya Pram di berbagai toko buku baik swalayan maupun toko buku bekas. Baru akhir-akhir ini saya menemukan beberapa karya Pram dari seorang teman baru saya, Anas AG., wartawan Radar Bojonegoro yang juga sangat gila baca-tulis. Bersamanya, juga beberapa teman yang mempunyai obsesi sama, meski hanya beberapa glintir, kini saya mulai belajar bareng. Berkumpul dalam sebuah wadah yang menamakan diri Sindikat Suka Baca. Jujur, saya tak bisa berbohong bahwa skripsi belum ada dalam fikiran saya. Seiring sempitnya waktu, saya masih belum menemukan inspirasi untuk skripsi saya. Di sisi lain, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Gadis Pantai, panggil Aku Kartini Saja, melesak-lesak dalam anganku. Ingin kulahap habis semua karya masterpiece Pram itu.
Menulis, adalah satu hal yang bagi saya menduduki tempat istimewa. Di sinilah kiranya saya mengkaitkannya dengan skripsi yang diujikan kemaren. Saya diam dan tak berkutik bukan berarti saya tak bisa saja. Di samping itu saya merasakan bahwa dosa besar terpikul di pundak dan jalan masa depan saya. Saya merasa telah melakukan kesalahan besar. Namun, sungguh, tak pernah terbersit sedikitpun bahwa saya merasa memiliki karya itu. Akan tetapi bukan berarti saya membeli. Saya paling anti untuk satu ini. Hanya saja, yang saya lakukan adalah plagiat. Dari sebuah file karya seseorang dengan judul demikian, kemudian saya edit sedemikian rupa. Begitu prosesnya.
Saya tahu, cara itu telah wajar dan sudah menjadi rahasia umum. Saya tak yakin dari sekian ribu mahasiswa semuanya mengangkat judul dan permasalahan baru dalam khazanah keilmuan untuk skripsinya. Cara seperti yang saya sebutkan itu, adalah pilihan bagi kebanyakan karena tidak perlu sulit-sulit dan banyak menanggung resiko. Akan tetapi, saya tak bisa seperti itu dengan pd. Bahkan bagi saya resikonya jauh lebih besar. Dan buat saya seakan menjadi sebuah momok yang akan menghantui setiap goresan tinta dan gerak jari-jariku pada keyboard untuk kurun waktu yang saya tak tahu akan usai atau tidak. Ini yang paling jujur. Kendati pada kenyataannya saya harus kalah. Saya tetap menggunakan cara serupa. Tetapi saya tetap tak bisa pertanggungjawabkan dan pertahankan di depan Anda kemarin.
Jadi, fikiran dan perasaan itulah yang memotivasi saya sehingga tak berdaya berhadapan dengan Bapak di sidang munaqasah kemaren.
Oleh karena itu, saya terngiang-ngiang ketika Anda mengatakan saya masih muda tetapi tak banyak motivasi. Saya tak menyangkal itu karena demam meradang segenap fikiran saat itu. Benarkah hidup saya tak punya motivasi? Bukankah yang membuat saya terbisu itu adalah motivasi luar biasa saya terhadap nilai-nilai kejujuran? Gelar macam apakah yang akan saya pakai dengan kebohongan pada karya terakhir di penghujung empat tahun S1 ini? luar biasa dahsyat dorongan-dorongan itu hingga saya merasa takut sekali. Takut akan apa konsekuensi bila yang demikian ini saya brolkan. Apakah akan di-DO, tak bisa lulus bersama teman-teman.
Benarkah jika saya berprinsip, semua itu tak apa bila memang menjadi konskwensi atas apa yang saya perbuat? Saya lebih senang bila karya ini tidak diloloskan. Saya membayangkan apa yang bisa saya banggakan dari gelar sarjana saya nantinya. Tak ada. Hanya karya tulis berupa skripsi itulah kiranya yang bisa saya banggakan. Akan tetapi, sekarang dengan karya itu, semuanya akan pupus bila benar-benar lolos.
Kemarin selasa (05/ Jul 2011), Budi Darma menulis di KOMPAS tentang mental bangsa kita. Tentang bangsa yang tak percaya pada kemampuan sendiri dan silau dengan apa yang ada di luar diri. Toh padahal, apa yang tampak hebat di luar diri itu tidak lebih hebat dari diri sendiri. Saya tersentak dengan catatan guru besar Sastra Unesa itu. Juga catatn Pram lewat celoteh Nyi Ontosoroh pada Minke dalam Anak Semua Bangsa ketika lulusan H.B.S itu terpesona betul pada Eropa. Tulisan mereka ini rasa-rasanya menegur saya. menguatkan saya agar percaya bahwa saya bisa dan layak untuk berbuat sendiri. Bukannya berduplikat. Dalam hal apapun. Ah, saya musti kuatkan mental saya.
Kemarin, di ruang itulah sebenarnya saya ingin mengungkapkan semua ini, yang ada dalam bayangan saya sebelum masuk ruangan. Bukan tanya jawab bahasan seperti teman-teman kebanyakan, karena terhenti oleh masalah orisinalitas karya yang saya bawa. Sebelumnya sudah saya siapkan sebenarnya. Sebuah pintu pembuka untuk mengarah ke situ. Surat pernyataan yang menjadi bagian awal karya itu, adalah sebenarnya yang saya jadikan pintu masuk. Tetapi sayang, itu terlewatkan. Entah karena saking capek Anda karena sidang itu adalah yang terakhir, atau entah apa sebab, yang selembar itu tak terbaca. Yang sewajarnya adalah kata : adalah karya sendiri alias bukan duplikasi karya orang lain. Dan yang tertera pada naskah yang Anda berdua bawa adalah “SEBALIKNYA”. Ingin saya tunjukkan itu. Tetapi entah kenapa rasa takut mendera saya. Saya takut sekali saat itu. Tetapi, biar bagaimanapun itu adalah yang sebenarnya. Jadi, semua musti saya sampaikan. Meski lantaran sebuah tulisan.
Meski yang terjadi ini adalah hal buruk dalam sejarah hidup saya ; menghina keribadian dan obsesi saya pada dunia tulis, bahkan bisa juga dibilang merendahkan kesucian pengetahuan dan dunia pendidikan. Saya tetap berkeinginan untuk berkarya. Saya telah berberat harapan untuk mengangkat gebyar literasi di pesantren. Saya melirik Ahmad Mustofa Bisri dan Roudhotut Tholibin-nya. Sebagai seorang kiai pesantren dan budayawan yang KTPnya tertulis pekerjaan : penulis, tentu beliau dan pesantrennyalah yang menurut saya paling pantas untuk dijadikan objek penelitian ini.
Jadi, nampaknya Anda agak salah duga bahwa saya adalah sosok tanpa motivasi. Semangat saya membara-bara betul untuk menggeluti dunia tulis-baca. Dan yang saya hadapi sudah barang tentu adalah terkait baca-tulis. Tentunya, bila tanpa motivasi, saya tak akan tampak lungset seperti itu di ruang sidang. Tanpa motivasi, mungkin saya akan dengan pedenya mengakui bahwa itu karya saya. Saya akan enjoy & cengar-cengir ketika diklaim plagiator, atau malah meyakinkan bahwa itu sudah biasa dilakukan orang kebanyakan. Itu bila saya hidup tanpa motivasi. Akan tetapi, saya takut. Saya takut sendirian. Saya takut semua mencibir dan mengataiku keminter. Saya takut ini adalah seratus persen keliru dan dikelirukan. Rasa takut itu terus saya bawa hingga di penghujung waktu hari H sidang skripsi. Sementara belum saya melakukan sesuatu apa. Dan inilah kiranya saya harus menghadapi ketakutan itu.
Begitu kira-kira sekilas yang ingin saya sampaikan kemarin. Hanya karena pintu itu tak tersentuh, pada akhirnya saya harus dipaksa oleh keadaan untuk mempertahankan skripsi itu. Saya kutuki betul apa yang saya perbuat itu.
Untuk gambaran ke depan, seperti saya sebut tadi saya ingin membuat penelitian di Pesantren kiai Rembang itu. Kiai budayawan yang juga jadi tokoh inspiratif saya di bidang tulis menulis.
Saya sengaja menulis ini. Bukannya saya takut. Pasalnya, saya lemah pada olah vokal. Semoga semua ini menjadi pertimbangan. Meski bukan pada hitam di atas putih, paling tidak pada wilayah nilai kemanusiaan dan pendidikan paling asasi sebelum ia menjadi ketetapan undang-undangi. Wallahu A’lam Bi as-Showab.
Wassalamu ‘Alaikum Wr.Wb

Bojonegoro, 08 Juli 2011

Hormat Saya



Mohamad Tohir


 Kadang saya berpikir bahwa saya tak lagi muda, sedang maut makin dekat datang menyambut, dan saya belum beranjak dari bengong.
|K070720141724|


Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates