Mohamad Tohir
Malam telah benar-benar matang saat
sepasang suami istri turun dari bus. Yang perempuan jalan duluan diikuti
lelakinya. Tak ada barang-barang bawaan berat yang membebani mereka.Yang
perempuan menunjukkan wajah tak bersahabat sementara lelakinya membersitkan
kelelahan. Mungkin saja sedang bertengkar atau barangkali kesal karena tadi bus
mogok atau jalanan macet parah.
Atap seng bergemeletuk seperti
dilempari kerikil. Semakin cepat dan keras, menimbulkan bising yang
memekikkan telinga. Ternyata hujan telah turun deras sekali. Bau basah
tanah menyeruak hidung dan merasuk ke pori-pori. Dingin tapi baunya harum
sekali. Mengingatkan lelaki itu pada masa kecilnya yang suka membaui jamur di
tumpukan jerami di sawah kampungnya dulu kala. Ya, seperti jamur yang baru
bermunculan di jerami busuk baunya. Nikmat sekali.
Terminal Rajekwesi. Tulisan di papan
itu mau tidak mau harus mereka baca. Rajekwesi, rajek dan wesi, apa maksudnya?
Pikir yang lelaki itu mungkin. Matanya masih melekat pada papan. Seperti nama
sebuah kesatria jaman moyang. Sebuah gambar bangunan tua, candi-candi berlumut
dan pendekar dengan pedang tajam mengkilat memenuhi imajinasinya.
Yang perempuan terus berjalan menuju
kursi tunggu lalu menenamkan bokongnya di sana. Wajahnya cantik dan kuning
bersih. Sayang sekali masih cemberut.
Kios-kios telah tutup kecuali
penjual kaset itu yang juga sudah nampak berkemas mengepak barang-barangnya.
“Aduh. Setan!”umpat pedagang itu
tatkala sebuah kaset jatuh dan kepingan CDnya menggelinding mendekati kursi
tunggu. Sambil memungut CD itu, matanya sekilas menangkap sosok perempuan yang
tengah duduk di kursi. Ia mencoba untuk memandangnya serius, tersenyum, tetapi
target tak merasa diperhatikan. Penjual kaset kembali merampungkan menutup
kios.
Seorang gembel tua gelagapan tatkala
telinganya terhantam tetesan hujan. Ia bangun dan berjalan mencari tempat lain
yang lebih aman dan kondusif.
Seorang muda kurus jongkok di bawah
tiang sambil mengisap rokok. Pakaiannya rapi berseragam. Nampaknya ia petugas
terminal.
Malam kian bising hingga beberapa
saat hujanpun reda dan hanya menyisakan basah dan kemalasan. Si perempuan
membuka mulutnya lebar-lebar memperlihatkan giginya yang gingsul. Mungkin ia
mulai ngantuk, sementara guratan kemarahan masih belum hilang dari mukanya. Si
lelaki masih berdiri mondar-mandir seperti sedang berfikir keras.
Malam makin menunjukkan wajah
aslinya. Dingin, sunyi dan berwibawa. Suara gelonthang kaleng bekas susu
terdengar amat mengejutkan. Seekor tikus yang berulah itu nampak merasa
bersalah dan malu tatkala pasangan lelaki perempuan itu sama-sama
memelototinya. la ngacir masuk got.
“Brengseeek…!” tiba-tiba keheningan
pecah oleh umpatan si perempuan.
Lelakinya kaget dan celingukan
takut-takut itu mengundang perhatian orang.
Seorang berjaket hitam berbadan
gemuk berjalan penuh wibawa ke arah mereka. Mungkin ia juga petugas terminal.
Sepatunya mengkilap dan parfumnya lumayan harum.
“By the way, mau pada kemana ini?”
logat englisnya terdengar sengak di telinga.
“Suami istri kan?
Jangan takut. Saya bukan orang jahat
kok. Santai saja. Hemmmmm…., kemalaman? Bukan orang sini ya? Sudah pernah ke
Bojonegoro sebelumnya? Kalau mau cari penginapan di situ itu ada. Itu hotel.
Agak amatiran dikit tapi. Tapi nggak papa juga kalau hanya mau menginap.”
Tangannya menunjuk ke sebuah bangunan bertingkat di suatu arah, tak jauh dari
kompleks terminal.
“Tapi ya gitu. Meski amatiran, agak
lumayan harganya. Bawa surat nikah kan? Tapi jangan khawatir? Itu cuma
formalitas. Biasa saja kok. Saya sendiri kadang juga heran kenapa menginap saja
kok pakai mahal begitu. Hanya tidur padahal. Gimana, pada nggak kepingin
jalan-jalan? Kebetulan saya ada kendaraan. Ya, secukupnya lah, kasih berapa.
Ya…, lihat-lihat kota barangkali. Ada apa saja. Tapi ya begitu, betul bila
dibilang begitu-begitu saja. Nggak ada apa-apanya. Tapi kalau kepingin ya nggak
apa-apa kan? Sebenarnya kita itu besar. Tapi kitanya yang nggak nyadar. Banyak
kok, orang-orang kita yang sukses menjadi tokoh-tokoh besar republik. Saya
sendiri juga kurang begitu tahu. Konon,….” Orang itu terdiam tiba-tiba, seperti
berfikir.
Lelaki dan perempuan itu diam saja,
meskipun gerah dan pening dengan gelontoran kata-kata sampah itu.
“Mas, emm… nganu.. Punya ses
nggak? Maaf, saya kelupaan tertinggal di pos tadi. Tapi korekannya bawa.
Betul-betul lupa tadi. Susah juga. Akhir-akhir ini saya menderita penyakit
lupa. Bukan akhir-akhir ini malahan, sejak muda dulu. Repotnya lagi, sering
saya mboncengin istri ke pasar lantas kelupaan saya tinggal pulang. Susah
pokoknya punya kebiasaan lupa. Bukan kebiasaan lho, itu penyakit…”
Lelaki itu merogoh saku celananya
dan memungut satu gelintir kretek tujuh enam. Disodorkannya pada petugas
merangkap tukang ojek tadi. Segera asap mengepul-ngepul bak cerobong kereta api
dari mulutnya.
“Uhuk..uhuk…, Hadahhh, nikmatnya.
Mas nggak ngisap sekalian. Ini, nggak bawa korek kan? Sungkan sama istrinya
mungkin… Ini suami istri kan? Atau masih pacaran? Menurut saya sih nggak
masalah. Yang penting rukun dan cinta damai. Nikah itu kan cuma antisipasi saja
sebenarnya kalau dipikir-pikir mendalam. Toh, padahal kebersamaan itu bagaimana
sih sebenarnya. Saya sendiri kadang bingung saat diskusi dengan istri tentang
ini… ihwal kebersamaan tadi maksud saya. Iya kan? Manusia itu sebenarnya
makhluk kesepian. Kebersamaan itu hanya ilusi sesaat saja kalau dipikir secara
njlimet dan filosofis. Nggak ada itu. Pernah baca bukunya Pramudya kan? Mas dan
mbak ini pasti sarjana kan? Kelihatan lho dari mukanya. Dan juga
kepribadiannya. Kalau bukan sarjana ya seperti saya ini. Maunya ngoceeeeh saja.
Kalau dipikir-pikir omongan saya ini sampah ya? Anggap saja seperti, maaf,
dubur ayam. Adakalanya keluar telor. Adakalanya juga keluar tahi. Tapi ya
banyakan tahinya tentu. Tapi betul lho, kalau pernah baca bukunya Pramudya
tadi. Judulnya apa ya? Saya sendiri lupa-lupa ingat. Pasar Malam apa
begitu pokoknya.”
Tiba-tiba refleks lelaki itu
mengejutkan. Dilemparkannya bungkus rokok tadi ke muka petugas atau tukang ojek
tadi.
“Diam! Diaaamm…!!! Kubilang
diammm!!! Pergi sana…. Pergiiiiiiii..!!!
Tiba-tiba ia tersentak dan keget
dengan gertakannya sendiri yang lumayan membahana di ruangan terbuka itu. Ia
melongok sekeliling dan memastikan dia sedang memarahi seseorang. Tapi sumpah,
tak ada siapa-siapa di situ. Hanya gelandangan tadi yang masih asyik meringkuk
di sudut sana. Ia pungut lagi rokoknya di lantai.
“Maaf, bisa dibantu?” seorang pemuda
ganteng berseragam kebiru-biruan menyapanya dengan senyum manis sekali. Entah
dari mana munculnya tak ada yang tahu. Si lelaki tetap terdiam. Ia takut dengan
fikirannya sendiri. Jangan-jangan ilusi lagi. Ia sodorkan satu gelintir rokok
pada petugas muda itu. Namun lima jari petugas genteng telah terlebih dahulu
mengembang ke arahnya. Itu tandanya no smoking.
“Maaf” kata pemuda itu lalu ngeloyor
dan masuk pos beberapa meter di ujung sana.
Si perempuan menyembunyikan mukanya.
Mungkin ia malu sekali disangka orang lelakinya s tres.
Sedang malam makin menampakkan wajah
malamnya. Tersadar juga suara binatang sahut-sahutan memecah hening dan
menciptakan irama bising yang kadang-kadang indah juga.
Lelaki itu duduk di samping
perempaun. Si perempuan tiba-tiba menutup mukanya dengan kedua tangannya sambil
membungkuk. Sikutnya meopang pada ujung pahanya. Pundaknya bergoyang-goyang.
Si lelaki nampak kikuk dan panik.
Ingin di sentuhnya pundak perempuan itu tapi tak jadi karena keburu
mengggaruk-garuk rambut.
“Sudahlah. Aku benar-benar khilaf.
Padahal semua sudah kupersiapkan beberapa hari sebelum take off. Sebenarnya aku
malu sekali. Dari dulu aku memang suka lupa di saat-saat genting. Dan pasti
ujung-ujungnya sial. Aku memang masih sering teledor dan kurang teliti. Aku
suka sekali membangga-banggakan diri bak pahlawan padahal bukan. Sekarang semua
telah terjadi. Mau gimana lagi? Mau nggak mau harus diterima dengan lapang dan
bijak. Sulit memang. Semua tahu itu. Tapi paling tidak kita harus belajar. Apa?
Belajar? Belajar kok terus? Begitu kadang-kadang aku memprotes diri sendiri.
Mengolok-ngolok kepura-puraanku untuk tegar dan pandai menerima kesialan dan
ketidakberesan. Tapi masuk akal juga. Kita tak bisa disalahkan sepenuhnya. Lha
wong masalahnya adalah lupa. Lupa mau diapakan lagi. Lupa ya tidak ingat. Itu
mutlak. Tak bisa diganggu gugat. Tak bisa diutak-utek lagi dengan teori-teori
filsafat apapun. Orang lupa tak bisa disalahkan. Tuhan saja, kata guruku
dulu….dulu sekali, mencabut pena hukumnya dari orang yang tidur, gila dan
lupa.”
“Hanya kadang aku tidak percaya. Ini
bila bayang-bayang angka delapan ratus juta teringat-ingat. Delapan ratus juta!
Ya, benar-benar delapan ratus juta. Bukan khayalan bukan mimpi. Itu duwit.
Uang. Dengan itu semualah yang membuatku bisa bermimpi”
Lelaki itu terdiam. Ia sungguh
menyesal. Rentetan peristiwa seperti menertawainya. Dari pertengkaran dengan
orangtuanya sendiri dan juga mereka yang dibayangkan menjadi mertua kelak. Dari
kerja membabi butanya bertahun-tahun hingga berhasil mengumpulkan delapan ratus
juta. Mimpi-mimpi indahnya untuk hidup berdua saja di sebuah kampung di tengah
hutan. Di sana ia akan membangun istana cinta sejati.
“Tapi, kalau dipikir lagi, apakah
rencana kita sudah benar-benar sempurna atau hanya ilusi sebenarnya lucu juga…
Bayangkan, hidup sendiri di hutan. Ha-ha-ha-ha…!!! Tapi ingat, cintalah yang
membuat itu tetap rasional. Ya…, kalau berfikir seperti Bapak tadi sih (ia
teringat petugas atau tukang ojek dalam khayalannya tadi)….entahlah, nggak
penting siapa yang bilang… sebenarnya manusia itu hidup sendiri, kita sah-sah
saja. Benarkan…? kadang-kadang kita sering ribut sendiri gara-gara suara-suara
di luar diri sebagai respon atas diri kita yang seharusnya itu nggak penting.
Bukannya antipati sosial, tetapi batasannya juga harus dipikir. Kan manusia
selain makhluk sosial juga makhluk individu. Begitu kan? Harus proporsional ini.
Coba pikir lagi, hubungan sosial yang ada paling banter, kalau mau jujur, ya
hanya sebagai lantaran untuk memenuhi kebutuhan indvidu. Jadi masuk akal kan,
kalau manusia itu sebenarnya makhluk yang sendiri. Aku kadang juga berfikir
banyak ketika mau memutuskan kita akan menikah apa tidak. Kadang menikah itu
justru menjadi lembaga penuh basa-basi. Dengan alasan melanggar komitmen untuk
kebersamaan, perempuan seenaknya sendiri. Lakinya juga sama. Tapi ya sudahlah,
yang penting hidup. Betul nggak?”
“Sekarang yang penting kita bisa
istirahat dan tidur. Itu kalau kita bisa tidur. Semoga ada wahyu atau mukjizat
datang. Semoga kan apa salahnya? Masih sah kan berharap? Aku ada teman di sini.
Tapi aku tak tahu rumahnya. Semoga nomornya masih ada. Eh.. Eh.. Masak..
(suaranya tinggi sekali).. Asem! Aduh… Astagfirulah… hape juga ketinggalan… ada
di tas… Aaarrrgghh…!!!!” lelaki itu memukul kepalanya sendiri.
Perempuannya masih menunduk.
“Sebenarnya aku juga ingin menangis.
Bukan perempuan saja lho yang sah dan galibnya menangis. Lelaki sama. Ini
adalah soal mempertahankan eksistensi kemanusiaan. Kadang aku rasa menangis itu
cengeng dan lebay. Itu pendapat mereka orang bodoh yang tak pernah makan
pendidikan. Dosenku saat di Singapura dulu mengatakan bahwa menangis itu sehat
secara psikologis. Justru yang antimenangis itulah yang perlu dipertanyakan
kewarasannya. Seperti lagunya dewa sajalah; menangislah jika ingin menangis”.
Perempuan itu mengangkat muka. Tak
ada lagi guratan kesedihan atau kemarahan di mukanya. Bahkan nampak sumringah.
Penuh senyum kemalu-maluan. Cantik sekali.
“ Kau mau bilang saya tak waras?”
Akhirya juga bicara.
“Ge er”
“Menurutku, memang sudah wajarnya
saat celaka dan menderita kita menangis. Dan sebaliknya amat tidak wajar bila
kita ternyata malah tertawa. Tapi satu, ketidakwajaran tak bisa serta merta
dipandang sebagai keburukan dan dosa. Ketidakwajaran berarti juga istimewa,
kreatif, nyeni dan arif. Seperti saya, tadi saya tertawa. Bukan menangis. Kau
salah. Menurutku para filosof dulu juga demikian. Orang yang ekyuya nggak
sampai, akan bilang dia sinting. Padahal nggak kan?”
Seekor kucing tiba-tiba ngosel di
kaki lelaki itu. digerakkannya kakinya. Si kucing makin kesenengan dan mulai
menggigit pelan jempol jari-jari kaki. Dikumpulkannya ludah lantas
menyemprotkannya agak jauh di samping kursi. Si kucing segera berlari mengejar
dan langsung menjilatinya dengan lidahnya yang merah.
“Kadang aku kepikiran kenapa tak
menjadi kucing saja”, si lelaki ngomong lagi, “atau kadal, atau semut, kodok,
cicak, atau apa gitu. Betul apa katamu. Rasanya nikmat sekali menertawakan
penderitaaan, kesialan dan ketidakberesan. Dan binatang nggak punya potensi
untuk begitu”
“Berapa kali Bapakku bilang kau
binatang hah?” Perempuan itu ingat betul, seringkali Bapaknya memaki laki-laki
itu dengan monyet, tikus, lowo, nyabik.
“Ha-ha-ha-ha-aha..”
“Kok malah tertawa?”
“Aku menerima itu. Dan juga
menertawakannya. Kalau aku marah dan tiba-tiba ngamuk menjotosnya, bukankaah
tak ada beda denghan binatang yang tiba-tiba nyakar saat disentuh buntutnya?
Sekarang coba pikir, orang yang bilang orang lain binatanglah sebenarnya yang…”
“Yang apa?”
“Yang….’”
“Yang apaaaaa….??”
“Yang pintar…
Paling tidak, secara tidak langsung
telah memaksaku untuk berfikir keras. Aku binatang atau bukan.”
“Sudahlah. Gombal. Sebenarnya kita
hanya menghibur diri. Ketidakberesan ya ketidakberesan. Titik.”
Lelaki itu manggut-manggut.
Dicabutnya sebatang rokok dari bungkusnya. Korek bensol membakar ujung rokok
lalu asap tebal mengepul dari mulutnya.
“Coba saja kalau duwit itu tak
ketinggalan. Kau akan tetap berfikir begitu? Biasanya kau kethul. Pada
hakekatnya duwit memang jauh lebih berarti, nyata dan rasional ketimbang
kebenarea dan kebijaksanaan.”
Tiba-tiba sebuah bus masuk terminal
lalu mengerem mendadak. Seorang kondektur keluar dari dalamnya dan langsung
berlari tergopoh-gopoh ke arahnya, seperti kondektur yang tadi ditumpangi
busnya.
“Punya Anda?” Sebuah tas besar
dibanting ke hadapan lelaki dan perempuan itu.
Lelaki itu berdiri melongo.
Diperiksanya apakah masih utuh. Sebuah bungkusan besar plastik hitam diambilnya
dari dalam. Ia mencoba mengingat-ingat. Ternyata ia benar-benar telah salah
sangka meninggalkan dueit itu di rumah. Ia kagum dengan fikirannya sendiri.
dihitungnya uang itu.
“Lhoh, kok... Lhoh, kok… Ini…
Apa-apaan ini? Kok… Ini duwit atau…? Kok tambah banyak? Jadi dua em. Padahal
kan? Kok bisa….? Ini mukjizat” pekik lelaki itu kegirangan.
“Anda mau berapa? Ini…,”
diulurkannya beberapa lembar gambar mawar secara serampangan, “nggak pakai
sungkan. Terima saja. Ini masih banyak kok. Satu juta juga nggak apa-apa.
Sungguhan ini. Aku kaya sekarang. Sebentar lagi pasti kesampaian mau mbangun
istana.”
Yang perempuan hanya memandang
lelaki itu yang tiba-tiba ngomong sendiri. Ia mencoba untuk menerima ketidakberesan
disampingnya hingga akhirnya lelaki itu terduduk sendiri.
Asap rokok keluar dari mulut lelaki
itu. Matanya memejam menikmati isapan terakhir. Asap-asap itu mengepul,
berkumpul, mengurai, dan lagi-lagi membentuk wajah-wajah bapaknya, maknya, mertuanya,
dan terakhir uang.
Kampungbaru, 2012