Oleh Mohamad Tohir
PEKAN LALU, pada gerimis lembut sore hari, aku ke
Blora. Seorang kawan, Rizky Yuwave namanya, mengajakku sowan ke Soesilo Toer,
adik Pramoedya, di Jalan Sumbawa 40, Blora.
Awalnya dia bertemu Soes di Perpusda Blora dalam sebuah acara tentang buku. Di sana Soes menawari untuk berkunjung ke Sumbawa 40. Yuwave mengiyakan. Tapi saat hendak berangkat, dia tak punya teman. Dia menghubungiku untuk menemaninya ke Soes. Tapi saat itu aku sedang di Bangilan. Ada teman yang mengundang untuk diskusi soal buku Pramoedya Arus Balik. (Baca : Aku bukan Pramis).
Akhirnya kesepakatan kami buat, minggu depan, hari jum’at,
pagi-pagi amat, kami akan berangkat. Tapi sial ternyata, saat hari itu tiba,
pagi-pagi amat aku harus ke sawah untuk ngompres kacang hijau, maka jadinya
berangkat habis jumatan. Saat khotbah salat jum’at, aku terus-terusan berkhayal
bercengkerama dengan Soes. Bercerita macam-macam dan banyak sekali.
Dari kota aku berangkat bersama Khozin Tores, kawanku
yang biasa menemaniku nyapu dan ngepel di Cendrawasih. Mampir ke rumah Yuwave
dulu di Padangan, menjemput dia. Setelah duduk sejenak sambil makan tahu bunder
hangat bumbu serbuk, kami berangkat.
Di perjalanan, masuk Cepu, hingga hutan jati, gerimis
turun. Aku memacu motor dengan kecepatan sedang. Di Jepon, aku semakin pelan,
mengamati kiri kanan jalan. Dulu aku pernah hidup di situ, sekitar 3 bulanan,
bersama kawanku, namanya Mbah Wali, pada 2005 lalu. Aku masih muda saat itu,
meskipun kumisku sudah tumbuh. Aku sering menghabiskan pagi dengan jalan kaki
mengitari semak belukar kawasan hutan di sana saat itu dan menghabiskan sore
dengan menghisap LA menthol di sebuah warung pinggir sebuah bengkel motor.
Pemilik bengkel adalah seorang lelaki peminat tasawuf. Dia sering mengkritik
perilaku beragamaku yang landai-landai saja dan tidak progressif. Aku sudah
lupa siapa namanya. Dia menanamkan dalam otakku agar tidak ngapurancang saat
berdoa sehabis salat. Sampai kini aku begitu, meski sudah lupa alasannya
kenapa. Sudah jadi kebiasaan (sama dengan cara kencingku yang duduk. Ibuku yang
menanamkan itu. Aku juga lupa alasannya. Sekarang sudah jadi kebiasaan). Aku tidak
bisa menemukan lokasi warung dan bengkel itu. Aku sekali berkunjung ke rumah pemilik
bengkel itu. Salat maghrib jamaah makmum pada dia. Istrinya sedang hamil tua
saat aku berkunjung. Ramah sekali. Dan cantik sekali.
Sisa-sisa hujan masih terlihat saat kami masuk kota
Blora. Air menggenang di tepian jalan. Dan kota begitu sepi saat itu. Kami
mengelilingi alun-alun dahulu sebelum masuk ke selatan, sebuah jalan yang membawa
kami ke Jalan Sumbawa 40.
Jalan Sumbawa 40 adalah pojok sebuah tikungan jalan. Gerbangnya dari papan
kayu bercat warna hijau. Ada tulisan jalan Sumbawa 40 di situ. Yuwave
membukanya, membebaskan sebuah tali yang membelit dua sisi kanan dan kiri
gerbang itu.
Seorang tua sedang memegang kayu berdiri menatap kami,
tersenyum dan menyambut. Dia habis dari kebun yang nampak masih basah oleh
guyuran hujan. Aroma harum tanah pekarangan yang luas masih menguar kuat. Aku
mengeruk tanah berwarna merah di pekarangan. Kuresapi aromanya. Di tanah ini
dulu Pram bermain dan hidup, di masa kecilnya.
Kami dipersilakan masuk ke sebuah bangunan yang
melekat dengan rumahnya, sebuah ruangan tak luas, sekitar 6 x 6 meter. Bangunan
itu adalah PATABA, Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Itu dibanguan tak
lama setelah Pram wafat, 2006 lalu.
Buku-buku berjejer rapi pada rak-rak yang melekat pada
tembok di sana. Di dekat pintu, aku menginjak sebuah kertas di lantai, sebuah
teks berbahasa Rusia, yang kupungut dan kutaruh di atas meja. Aku teringat pernah
menangis gara-gara sebuah tulisan diinjak-injak orang.
Kami akhirnya berbincang-bincang cukup lama, sampai
kegelapan mulai menyergap, saat adzan maghrib terdengar. Aku ingin membuat
catatan tentang pertemuan itu. Sekadar menangkap momen dan memaknai sebuah
desain uluhiah, agar bukan sekadar pertemuan biasa. Namun aku belum bisa.
Sebab, tentu saja, ini bukan sekadar soal mengabadikan.
Di perjalanan pulang, kami mampir di pasar Jepon.
Sebuah warung makan di pinggir jalan dengan meja besar dan panjang memanjakan
perut kami. Aku makan rawon campur pelas campur urap dan sambal dan kecambah
dan sambal sriti dan dua gelas es teh tanpa gula.
Sesampainya di Bojonegoro, seorang kawan bertanya padaku;
dapat apa dari Soes. Aku tak bisa menjawab. Entahlah, aku merasakan bahwa bagiku
tidak dapat apa-apa adalah sesuatu...
11 November 2015