Mengapa Bertemu Pak Soes?

Oleh Mohamad Tohir

PEKAN LALU, pada gerimis lembut sore hari, aku ke Blora. Seorang kawan, Rizky Yuwave namanya, mengajakku sowan ke Soesilo Toer, adik Pramoedya, di Jalan Sumbawa 40, Blora.

Awalnya dia bertemu Soes di Perpusda Blora dalam sebuah acara tentang buku. Di sana Soes menawari untuk berkunjung ke Sumbawa 40. Yuwave mengiyakan. Tapi saat hendak berangkat, dia tak punya teman. Dia menghubungiku untuk menemaninya ke Soes. Tapi saat itu aku sedang di Bangilan. Ada teman yang mengundang untuk diskusi soal buku Pramoedya Arus Balik. (Baca : Aku bukan Pramis).

Akhirnya kesepakatan kami buat, minggu depan, hari jum’at, pagi-pagi amat, kami akan berangkat. Tapi sial ternyata, saat hari itu tiba, pagi-pagi amat aku harus ke sawah untuk ngompres kacang hijau, maka jadinya berangkat habis jumatan. Saat khotbah salat jum’at, aku terus-terusan berkhayal bercengkerama dengan Soes. Bercerita macam-macam dan banyak sekali.

Dari kota aku berangkat bersama Khozin Tores, kawanku yang biasa menemaniku nyapu dan ngepel di Cendrawasih. Mampir ke rumah Yuwave dulu di Padangan, menjemput dia. Setelah duduk sejenak sambil makan tahu bunder hangat bumbu serbuk, kami berangkat.

Di perjalanan, masuk Cepu, hingga hutan jati, gerimis turun. Aku memacu motor dengan kecepatan sedang. Di Jepon, aku semakin pelan, mengamati kiri kanan jalan. Dulu aku pernah hidup di situ, sekitar 3 bulanan, bersama kawanku, namanya Mbah Wali, pada 2005 lalu. Aku masih muda saat itu, meskipun kumisku sudah tumbuh. Aku sering menghabiskan pagi dengan jalan kaki mengitari semak belukar kawasan hutan di sana saat itu dan menghabiskan sore dengan menghisap LA menthol di sebuah warung pinggir sebuah bengkel motor. Pemilik bengkel adalah seorang lelaki peminat tasawuf. Dia sering mengkritik perilaku beragamaku yang landai-landai saja dan tidak progressif. Aku sudah lupa siapa namanya. Dia menanamkan dalam otakku agar tidak ngapurancang saat berdoa sehabis salat. Sampai kini aku begitu, meski sudah lupa alasannya kenapa. Sudah jadi kebiasaan (sama dengan cara kencingku yang duduk. Ibuku yang menanamkan itu. Aku juga lupa alasannya. Sekarang sudah jadi kebiasaan). Aku tidak bisa menemukan lokasi warung dan bengkel itu. Aku sekali berkunjung ke rumah pemilik bengkel itu. Salat maghrib jamaah makmum pada dia. Istrinya sedang hamil tua saat aku berkunjung. Ramah sekali. Dan cantik sekali.

Sisa-sisa hujan masih terlihat saat kami masuk kota Blora. Air menggenang di tepian jalan. Dan kota begitu sepi saat itu. Kami mengelilingi alun-alun dahulu sebelum masuk ke selatan, sebuah jalan yang membawa kami ke Jalan Sumbawa 40.

Jalan Sumbawa 40 adalah pojok  sebuah tikungan jalan. Gerbangnya dari papan kayu bercat warna hijau. Ada tulisan jalan Sumbawa 40 di situ. Yuwave membukanya, membebaskan sebuah tali yang membelit dua sisi kanan dan kiri gerbang itu.

Seorang tua sedang memegang kayu berdiri menatap kami, tersenyum dan menyambut. Dia habis dari kebun yang nampak masih basah oleh guyuran hujan. Aroma harum tanah pekarangan yang luas masih menguar kuat. Aku mengeruk tanah berwarna merah di pekarangan. Kuresapi aromanya. Di tanah ini dulu Pram bermain dan hidup, di masa kecilnya.

Kami dipersilakan masuk ke sebuah bangunan yang melekat dengan rumahnya, sebuah ruangan tak luas, sekitar 6 x 6 meter. Bangunan itu adalah PATABA, Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Itu dibanguan tak lama setelah Pram wafat, 2006 lalu.

Buku-buku berjejer rapi pada rak-rak yang melekat pada tembok di sana. Di dekat pintu, aku menginjak sebuah kertas di lantai, sebuah teks berbahasa Rusia, yang kupungut dan kutaruh di atas meja. Aku teringat pernah menangis gara-gara sebuah tulisan diinjak-injak orang.

Kami akhirnya berbincang-bincang cukup lama, sampai kegelapan mulai menyergap, saat adzan maghrib terdengar. Aku ingin membuat catatan tentang pertemuan itu. Sekadar menangkap momen dan memaknai sebuah desain uluhiah, agar bukan sekadar pertemuan biasa. Namun aku belum bisa. Sebab, tentu saja, ini bukan sekadar soal mengabadikan.

Di perjalanan pulang, kami mampir di pasar Jepon. Sebuah warung makan di pinggir jalan dengan meja besar dan panjang memanjakan perut kami. Aku makan rawon campur pelas campur urap dan sambal dan kecambah dan sambal sriti dan dua gelas es teh tanpa gula.

Sesampainya di Bojonegoro, seorang kawan bertanya padaku; dapat apa dari Soes. Aku tak bisa menjawab. Entahlah, aku merasakan bahwa bagiku tidak dapat apa-apa adalah sesuatu...

11 November 2015



Read More →

Menjadi Rektor itu Pekerjaan Mulia

[Mengunjungi Soesilo Toer di Sumbawa 40 Blora]

Oleh Mohamad Tohir

Dia memang bukan orang Bojonegoro. Tetapi tak apa. Dia masih berhubungan erat dengan Bojonegoro. Saudaranya, seorang penulis legendaris, menulis sebuah karya besar yang mengangkat citra anak bangsa luar biasa yang hampir terlupakan sejarah. Beberapa tahun kemudian ketika pengarang itu mati, anak bangsa itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Dia bernama Soesilo Toer. Dan pengarang luar biasa itu bernama Pramoedya Ananta Toer, kakaknya. Sedangkan yang hampir terlupakan itu bernama Tirto Adie Soerjo (TAS), sang Bapak Pers Nasional. TAS ini adalah cucu bupati Bojonegoro Tirtonoto II, tulis Pram dalam salah satu bukunya, Sang Pemula.

Begitulah, kalau diotak-atik. Dia nyambung dengan Bojonegoro juga. Saudaranya, si Pram itu, menyebut-nyebut Bojonegoro dalam karya luar biasanya itu. Yang dibaca oleh jutaan manusia di berbagai belahan negeri. Yang mengantarkan Pram duduk pada posisi kandidat peraih hadiah Nobel bidang Sastra, penghargaan yang konon paling bergengsi sejagat itu.

Jum'at kemarin (6/11), saat sore baru saja menjelang dan bau basah tanah sehabis hujan masih menguarkan aroma ampo, saya  berkesempatan datang ke rumahnya, di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Kabupaten Blora. Seorang kawan yang baik hati, Yuwave namanya, mengajak saya ke sana. Saya mengajak Khozen Torez, kawan saya. Jadilah kami berangkat bertiga, pada sore saat beberapa jam sebelumnya Blora habis diguyur hujan.

“Minke itu bukan anaknya orang Blora. Dia anaknya orang Bojonegoro. Dia itu Bojonegoro,” kata Pak Soes, begitu kami memanggilnya, saat kami baru saja duduk. Kami tentu saja kaget. Di sebuah daerah yang tidak memiliki sosok hero untuk dibanggakan ini, Pak Soes menyebut nama Minke sebagai orang Bojonegoro.

Siapa Minke memangnya? Minke adalah tokoh fiksi dalam karya Pramoedya Ananta Toer yang adalah jelmaan tokoh yang benar-benar nyata di alam faktual ini. Ya Tirto Adie Soeryo tadi.

“Saya punya datanya. Saya punya arsip silsilahnya,” lanjutnya. Tapi kami tidak memintanya untuk menunjukkan bukti. Sebab kami tak ingin berdebat. Soal kebenaran sejarah kadang memancing perdebatan dan bahkan bisa bunuh-bunuhan. Saya cukup mengiyakannya. Lagipula apa ruginya? Sebagai orang Bojonegoro yang jauh-jauh datang ke rumahnya, dengan memilih tidak rekreasi di tempat-tempat hiburan, pantai, gunung, bar, diskotik, atau kafe, kata-katanya itu cukup menghibur juga.

Soesilo Toer sudah tua, 73 tahun usianya sekarang. Tapi dia masih sehat dan berkarya, meski beberapa kali tumbang dan sakit. “Tahun lalu saya operasi hernia dan prostat di Bojonegoro. Rumah sakit mana itu, apa namanya?” tanyanya. Kami menyebut nama RSUD Sososdorojatikusumo. Pak Soes membenarkan.

Sekarang dia tinggal sendirian di rumah, bersama sang istri, Suratiyem, yang saat kami datang itu, dia sedang sakit. Rumah itu sekaligus dia manfaatkan sebagai perpustakaan bernama Pataba. Singkatan dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Ribuan buku ada di sana, dari bahasa Jawa, Indonesia, Arab, Belanda, hingga Rusia. Foto-foto para tokoh bangsa juga banyak dipajang pada dinding ruangan. Juga beberapa lukisan hasil karya pengagum Pram.

Pak Soes yang sudah renta ini masih sehat dan punya ingatan kuat. Hanya sedikit pancingan tanya saja, dia sudah bercerita panjang lebar tentang petualangannya ke Belanda, Rusia, Jakarta, organisasi-organisai yang diikutinya dan pertemuan-pertemuannya dengan orang penting negeri ini.

Saudara kandung pengarang besar ini jangan kita bayangkan hidup mewah. Rumahnya dari kayu papan biasa, meski ada bagian yang bertembok, namun tak banyak. Halaman depan rumahnya banyak berserakan tahi kambing. Saat ngobrol di dalam rumahpun, sesekali beberapa kambing miliknya ikut masuk dan mengendus-ngendus tangan kami.

Sosilo Toer mangaku bahwa pekerjaannya saat ini adalah pekerjaan yang mulia. “Apapun pekerjaan itu mulia. Sepanjang tidak meminta-minta dan mengambil punya orang lain,” terangnya. Prinsip hidupmya itu diwarisinya dari sang ayah dan juga dipegang teguh oleh Pram sendiri, sang kakak.

“Pekerjaan saya adalah rektor,” katanya kemudian. Kami membayangkan bahwa dia adalah seorang akademisi di sebuah universitas yang mengajar para mahsisiswa sebelum dia menjelaskan bahwa rektor itu sebuah anagram, singkatan. “Korek-korek barang kotor,” begitu katanya. Maksudnya menjadi pemulung.

Pak Soes bercerita bahwa dia  menjadi pemulung dalam artian sungguhan. Namun berbeda dengan kebanyakan pemulung yang keluar rumah di hari terang, dia beraksi di malam hari, saat orang terlelap. “Saya mengambil barang-barang bekas dan sisa makanan, di depan hotel itu kan banyak. Yang paling utama dulu adalah untuk makan ternak-ternak saya, kambing, dan ayam saya,” katanya.

Di tahun 2015 ini, dia masih berkarya. Beberapa di antara karyanya yang terakhir adalah Pram dalam Bubu, Pram dalam Kelambu, dan Pianis Kecil. “Yang sedang dalam penggarapan ini adalah Pram dalam Tungku. Siapapun bisa menulis di buku itu nantinya. Mau memuji Pram, mau menghujat Pram, silakan,” terangnya. Dia mempersilakan kami mengirim tulisan kami tentang Pram untuk dibukukan bersama kontributor lainnya. Nampaknya, menulis tentang Pram tak ada habisnya.

Saat kami pulang, matahari mengintip di balik dedaunan mangga. Malam sebentar lagi menjelang. Pak Soes mengantar kami sampai gerbang rumahnya yang terbuat dari papan kayu itu.

07 November 2015

Read More →

Aku Bukan Pramis

Oleh Mohamad Tohir
BEBERAPA percaya bahwa aku adalah pembaca Pram yang kuat. Beberapa percaya bahwa aku memiliki banyak buku-buku Pram. Beberapa bilang aku adalah Pramis. Bukan. Itu tak benar. Aku harus mengatakan itu.

Aku dan Pram hanyalah seekor semut di tengah gudang pabrik gula yang masih penuh. Aku hanya pengagum. Pengagum level bawah. Kroco. Pengagum yang baru sampai pada tahap kok bisa seorang menulis begitu hebatnya. Orang kok bisa menulis dalam keterbatasan yang sangat.

Menyandingkan nama pun bagiku sungguh sikap yang sangat keterlaluan dan sombong bingit. Kalaupun aku nampak memahami buku, pikiran dan sejarah hidup Pram, sebanranya itu hanyalah pura-pura, agar kelihatan keren gitu loch...

Aku, pemuda kebanyakan yang tolol dan kebingungan di tengah gemerlap dan gemuruh orang membincangkan Pram yang kini telah menjadi sebuah ikon massa yang menawarkan kekerenan itu. Aku hanya ikut-ikutan dan mabuk tanpa bisa mentas kembali.

Dua tahun lalu, seorang mahasiswa dari IKIP, Minanaw namanya, datang ke Rumah Baca dan bercerita tentang kekagumannya pada Pram. Dia membaca beberapa buku Pram. Dia hendak memintaku bicara mengenai Pram di tengah-tengah kelas diskusi 2 mingguannya bersama kawan-kawan pergerakannya. Aku sudah ampun-ampun bilang aku tak begitu paham dan bisa bicara. Dia ngotot dan memintaku, meski sebisaku saja. Dia bilang apa yang dijadikan bahasan adalah tentang “Suara Gagap dan Pintu yang Berderit Pramoedya Ananta Toer”.

Apaan itu? Untung saja aku pernah membaca, meski tak tuntas sebuah buku berjudul Clearing a Space. Itu salah satu artikel panjang karya Keith Fplcer yang bicara tentang masa-masa Pram belum bisa sepenuhnya menulis dengan baik.

Tahun ini, bulan Februari, aku terjebak dalam sebuah diskusi peringatan hari lahir Pramoedya di kampus IKIP PGRI Bojonegoro. Semestinya bukan aku yang bicara di depan. Aku sudah ampun-ampun, tetapi kenyataan tidak memungkinkan untuk aku menghindar dan lari. Akhirnya dengan memalukan aku bicara tentang Pram dan keharusan membaca karyanya sebelum orang mendiskusikannya. Suatu bentuk cara lainku melarikan diri yang tolol.

Beberapa minggu lalu, aku diminta bicara tentang buku Pram Arus Balik. Seorang kawannya kawan yang baru pulang dari jauh merindukan euforia pergerakan mahasiswa di tingkat kecamatan, di Bangilan Tuban sana. Dia mendirikan sebuah forum mahasiswa benama Forum Komunikasi Mahasiswa Bangilan (FKMB). Aku tentu saja lagi-lagi ampun-ampun. Mau tak mau aku harus mengajak Nanang Fahrudin, guruku yang baik hati dan pintar itu. Aku hanya menemanianya duduk di depan dan bicara tentang kekaguman-kekaguman tololku terhadap Pram. Kekaguman yang sebenarnya kalau ditelusuri ternyata palsu juga.

Beberapa hari yang lalu, alu bertemu dengan seseorang yang mengajakku berpikir bagaimana menghidupkan Gusdurian. Tentu saja aku tak punya apa-apa untuk bisa menghidupkan pengagum Gus Dur itu. Karena dia tidak melihatku punya ide atau apapun yang menarik tentang Gus Dur dalam diriku, dia segera menyimpulkan dengan kalimat tanya, “Kalau Pramis bagaimana?” Oh, hanya karena aku tidak menunjukkan sikap respek pada Gus Dur dia segera bilang aku Pramis?

“Aku bukan Pramis,” kataku tegas. Entahlah. Aku sedang berada dalam kondisi malu dan dwon luar bisa bila dihadapkan pada nama-nama besar itu. Rasanya aku menjadi orang paling goblok dan tolol membayangkan aku bisa membaca dan mengikuti jalan perjuangan orang-orang hebat itu. Aku orang biasa yang tidak punya arti apa-apa di tengah kebaikan, kebenaran, keadilan, kemanusiaan, ke dan ke dan ke dan ke apapun...

Ah, sebenarnya catatan ini belum selesai. Aku belum benar-benar mengamukakan alasan mengapa aku bukan Pramis dan bagaimanakah sebenarnya Pramis itu? Lain kali kesempatan aku akan mengulasnya.

Ya, begitulah. Malam masih malam dan akan tetap malam, sebelum kopiku habis, di sini, di meja kotor ini, aku duduk di depannya, pada kuri peot, ditemani kopi dan buku bergambar orang telanjang kaki. Begitu....
Warung Kopi Mbak Indah, Kalirejo, Kapas, 09 November 2015




Read More →

Jurnalis di Dalam Komik

Oleh Mohamad Tohir

Seorang kawan, dia adalah jurnalis, bertanya pada saya buku apa yang isinya tentang seorang jurnalis. Karena menghindari dialog yang berat-berat saya akhirnya mengatakan pada dia ada beberapa komik yang isinya tentang seorang jurnalis. Untuk meringkas, saya sebutkan 3 buku kepada dia.

Pertama adalah Palestina Membara, Duka Orang-Orang Terusir, karya Joe Sacco. Isinya tentang perjalanan Joe Sacco saat meliput peristiwa kamanusiaan di Palestina. Membaca komik itu kita akan diasyikkan dengan perjalanan penuh ketegangan, kekocakan, kebingungan, dan lain-lain.

Sebenarnya buku itu terbilang berat. Bagaimana tidak? Isinya tentang duka orang Palestina yang sepanjang sejarah selalu mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh tetangga sebelah. Ada penembakan, pengeboman, pembunuhan yang setiap hari bisa saja terjadi di sana. Ketegangan terus menerus di siang dan malam.

Pengantar buku ini juga bikin keren, Erward Said dan Goenawan Mohamad. Edward Said adalah seorang intektual yang terkenal dengan teorinya mengenai orientalisme, yaitu kajian mengenai Barat memandang Timur. Barat itu dominan dan Timur itu didominasi, orientalime berkata seperti itu. Barat itu modorn, Timur itu kuno. Selalu ada semacam hadap-hadapan semacam itu. Tapi, Joe Sacco adalah salah satu orang Barat melepaskan hal-hal semacam itu. Kita dapat membacanya sendiri, menikmati gambar-gambarnya yang lucu-lucu.

Joe Sacco hadir sebagai tokoh utama dalam komiknya sendiri ini. Kita bisa melihat bagaimana dia melakukan wawancara, cara dia memasuki tempat berbahaya, pertemuan-pertemuannya dengan narasumber unik, narasumber yang mengalami keterpurukan, dan lain-lain.

Yang kedua adalah komik Tin Tin karya Herge. Tin Tin ini isinya lebih ke petualangan-petualangan. Dia jenis jurnalis yang hari ini bisa ada di Mesir dan besok ada di Belgia. Itu untuk mengusut sebuah kasus kelompok rahasia misalnya.

Perjalanan Tin Tin selalu ditemani oleh anjingnya yang setia, Snowy, dan kawannya yang pemabuk berat, Kapten Haddock. Kehadiran Kapten Haddok dalam komik ini cukup mewarnai jalannya cerita. Kalau misalnya tidak ada Kapten Haddock, cerita Tin Tin rasanya hambar. Cuma pengungkapan kasus biasa. Dan selera humor Tin Tin sangat lemah. Komik tanpa ada yang lucunya tentu saja bukan komik.

Nah Kapten Haddock yang punya peran lucu-lucuan itu. Selain pemabuk, dia adalah pemarah. Saat marah inilah, pembaca pasti tertawa. Dia pasti mengumpat dengan kata-kata yang di luar kewajaran saat marah. Umpatannya keji dan lucu sekaligus. Misal umpatannya adalah "seribu topan badai, kodok kesasar, racun tikus, biang panu, babon bulukan, jin peot," dan lain-lain. Sumpah serapah itu sunguh berhasil mebuat pembacanya tertawa sampai lapar.

Yang lainnya adalah karya Seno Gumira Ajidarma, Sukab Intel Melayu. Sebenarnya ini bukan tentang jurnalis, tapi tentang seorang detektif. Tapi cerita pengungkapan suatu kasus itulah yang dekat dengan dunia jurnalis.

Dari awal sudah tergambar jelas. Ini komik akan lucu. Belum membaca isinya sudah ada cap buat Sukab di bagian awal buku, "detektif penggemar sastra dan filsafat yang tugasnya selalu gagal".

Ceritanya tentang Sukab, seorang intel dengan pakaian khas ala detektif Dick Tracy dari Amerika. Dia dapat tugas bosnya untuk mencari harta Centini yang didapat dari hasil korupsi selama 30 tahun. Tidak ada kejelasan bagaimana tentang harta itu, tetapi Sukab menurut saja apa kata bosnya. "Kalau semuanya jelas, untuk apa ada Intel," batin Sukab menghibur diri. Sukab punya 2 pembantu, namanya Paidi dan Jom Bon yang bertugas sebagai informan. Cerita mulai menemukan bentuknya ketika Sukab menemukan petunjuk awal yakni saat membuntuti 2 orang jaksa yang bertugas memburu harta Centini. Namun seperti biasa dia mengalami kegagalan karena 2 orang jaksa tersebut tewas akibat mobilnya di tabrak lari oleh mobil Land Cruiser.

Seperti itulah, kegagalan-kegagalan sering menghinggapi dirinya. Sebagian besar karena pikirannya yang lelet. Dia punya alam pikirannya sendiri yang selalu dipelihara dan dinikmati sendiri padahal semestinya dia harus sigap bertugas. Akhirnya dia sering sekali terlambat dalam bertindak.

Begitulah. Namanya komik sudah pasti menghibur. Membaca komik seperti mendapat sebuah pesan bahwa buat serius-serius menjalani hidup. Hidup ini kan cuma main-main. Hidup ini penuh hal-hal yang lucu. Sesuatu yang semestinya begini tetapi ternyata begitu adalah hal yang lucu. Seseorang yang semestinya kaya tetapi ternyata melarat, itu lucu. Hidup ini harusnya ditertawakan saja.
Selepas tertawa, lalu apa? Nah....

Read More →

Pembaca Buku Yang Tidak Bahagia

(Resensi Novel Matilda Karya Roald Dahl)

Oleh Mohamad Tohir
SAYA baru merampungkan sebuah buku yang menyenangkan, mencerahkan dan mencengangkan. Buku itu adalah sebuah novel karya penulis kebangsaan Inggris bernama Roald Dahl (1916-1990). Judulnya Matilda. Setelah membaca itu, gairah membaca saya semakin membara. Saya merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan tokoh di dalam buku ini yang luar biasa.

Buku itu berkisah tentang pembaca buku yang terasing dari komunitasnya, di tengah keluarga dan teman-teman sekolahnya. Lokasi cerita adalah di sebuah kota di Inggris. Namanya Matilda. Dia gadis kecil yang baru saja masuk sekolah. Dia hidup di tengah keluarga yang mendewa-dewakan harta dan gaya hidup mewah. Ayahnya adalah pengepul mobil rongsokan yang dijual kembali setelah diremake begitu rupa sehingga nampak baru. Ibunya adalah seorang wanita sosialita yang punya gaya hidup mewah, tidak cakap memasak, terlalu modis dan menor dan sering menghabiskan waktu bermain bingo. Pokoknya, orangtua Matilda adalah sosok orangtua yang tidak mau tahu apa dan bagaimana kehidupan anaknya. Mereka tidak pernah menyadari bahwa anaknya, Matilda, mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak lain. Kalaupun toh tahu, mereka tidak akan pernah percaya.

Matilda bosan hidup di tengah-tengah keluarga yang menjalani hidup dengan rutinitas yang begitu-begitu saja. Dia melampiaskan itu dengan membaca buku. Padahal usianya baru sekitar 4-5 tahun. Suatu kali ia meminta uang kepada ayahnya untuk beli buku. Bukannya dituruti dan disambut dengan baik, Matilda malah dapat makian. Bukankah apa yang kita inginkan dan ingin tahu sudah bisa didapat lewat televisi? Ya, keluarga Matilda adalah keluarga yang mendewakan televisi. Mereka menghabiskan watu bersama untuk nonton televisi dan menganggapnya sebagai guru. Gaya hidup mereka adalah gaya hidup karena iklan televisi.

Akhirnya, Matilda melampiaskan kekesalannya dengan mengunjungi perpustakaan umum di kota. Awalnya, dia membaca buku anak-anak, tetapi setelah buku anak habis, dia membaca habis karya-karya orang dewasa. Dia membaca karya Charles Dickens, Ernest Hemingway, dan penulis-penulis besar lainnya.
Saat tiba waktunya masuk sekolah, Matilda dikirim ke sekolah milik Miss Trunbull yang ternyata tidak lain adalah pelanggan ayahnya sendiri. Miss Trunbull adalah kepala sekolah yang berbadan superbesar dan jahat tiada terkira kepada anak-anak. Dia tidak suka sama sekali pada anak kecil. Anak kecil bagi Miss Trunbull adalah kecoa dan lalat yang harus dibasmi. Dia mengaku bahagia karena tidak pernah dilahirkan sebagai anak-anak. Entah bagaimana maksudnya. Sekolah di lembaga miliknya seperti malapetaka bagi anak kecil. Dia tak segan menyiksa anak-anak dengan menjewer telinga mereka sambil menggantung tubuhnya lalu dilempar layaknya melempar sebuah bungkus makanan. Tenaganyapun luar biasa besar. Sampai-sampai kalau ada anak yang melaporkan kekejaman yang dialaminya oleh Miss Trunbull, orang tua mereka tidak akan percaya ada orang sekejam dan sekuat itu.

Begitulah pada akhirnya novel ini menemukan cerita sesungguhnya ketika Matilda bertemu Miss Honey, guru kelasnya. Dengan Miss Honeylah dia bertemu, secara fisik maupun secara jiwa. Miss Honeylah yang bisa memahami kecerdasan dan kelebihan Matilda. Miss Honey tahu dan mengerti bahwa Matilda sudah bukan waktunya lagi belajar bersama anak-anak TK. tetapi dia harus lebih pas lagi berada di kelas paling akhir. Matilda tanpa berumit-rumit mampu menghitung sesuatu yang semestinya itu hanya mulai diajarkan di kelas akhir.

Hingga pada akhirnya Matilda membantu menyelesaikan masalah yang menimpa Miss Honey. Pasalnya, Miss Honey juga mengalami masalah serupa Matilda dari orang tuanya. Bahkan lebih parah lagi karena dia sampai terusir dari rumah dan seakan-akan dibuang. Ibunya berlaku kejam padanya sejak ayahnya meninggal. Rumah warisannnya diambil sepenuhnya oleh sang ibu dan dia terpaksa menyewa rumah yang sangat kecil dan tidak layak untuk ditempati oleh seorang guru cerdas, cantik, dan baik hati macam Miss Honey. Paling tidak begitulah pikir Matilda.

Siapa ibu yang telah kejam pada Miss Honey tersebut? Saya tidak akan mengulasnya di sini. Yang pasti saya sebagai pembaca yang terkadang agak malas membaca buku anak-anak, kali ini dibuat kaget, tercengang, dan harus menyatakan; salut! Setelah tahu siapakah sejatinya ibu Miss Honey, cerita yang sebelumnya nampak tercerai berai menjadi terang dan terjalin urutan yang rapi.

Sebagaimana cerita anak, umumnya pasti berakhir bahagia, begitulah adanya dengan novel ini. Matilda akhirnya hidup bahagia bersama Miss Honey dan berpisah dengan orang tua aslinya. Orangtuanya kabur karena kasus penipuan bisnis penjualan mobilnya.

Saya segera menemukan semacam kesadaran baru selepas membaca buku ini. Yakni ketika menyadari kenyataan bahwa para pembaca buku itu tidak semestinya lantas hidup bahagia. Kebahagiaan kerap dialami dan didapatkan secara lebih cepat oleh bahkan orang yang tidak membaca buku. Tidak ada jaminan para pembaca buku lantas lebih melejit karirnya, lebih pasti suksesnya. Saya yang sering-sering bilang bahwa kalau ingin sukses dan hidup bahagia, maka kuncinya harus membaca buku, lantas berpikir ulang. Matilda membuktikan itu. Dan orang-orang terpandang dan sukses di seklilingnya, orangtua Matilda dan Miss Trunbull contohnya, adalah orang-orang yang geli bila melihat atau berhadapan dengan buku.

Tapi buku ini, kembali lagi, adalah novel. Adalah fiksi. Meskipun tidak nyata, tapi paling tidak adalah cerminan atas pengalaman hidup faktual manusia. Apa yang dialami oleh fiksi tidak sekadar angan-angan kosong. Karena, seperti kata Seno Gumira Ajidarma, fiksi hidup di dalam pikiran. Pikiran siapa saja dan dimana saja. Bisa lebih luas pemaknaannya. Tergantung siapa yang memaknai dan bagaimana memaknai.

Siapa Roald Dahl? Saya termasuk orang yang terlambat mengetahui bahwa dia penulis luar biasa. Pada peringatan Worl Book Day pada 2003 silam, di Inggris diadakan polling kepada masyarakat siapa penulis yang digemari. Roald Dahl, di bawah JK. Rowling (pengarang Harry Potter) ternyata menyingkirkan nama-nama pengarang besar sekelas peraih Nobel seperti Ernest Hemingway, William Faulkner dan lain-lain.

Buku-buku karya Dahl antara lain The Gremlins, James and the Giant Peach, Charlie and the Chocolate Factory, The BFG, Revolting Rhyme, The Giraffe and the Pelly and Me dan masih banyak lagi lainnya.
Yang pasti, Matilda tidak rugi dibaca oleh siapapun. Karena, buku ini, meskipun tentang anak-anak, tidak lantas diperuntukkan hanya bagi anak-anak. Buku ini juga layak, bahkan sepertinya harus, dibaca oleh orang dewasa. Paling tidak mereka yang bergelut di dunia anak-anak. Paling tidak, mereka yang mempunyai anak.

Karena, kerap kali, orang tua memaksakan pikiran dewasanya untuk dipakai oleh pikiran anak-anak yang semestinya punya pikiran sendiri yang seringkali berbeda dan bisa jadi lebih baik. Membaca ini buku, paling tidak kita bisa mempertanyakan itu.

Read More →

...of Sleepy

Oleh Mohamad Tohir

watashiwaeunike.wordpress.com
PAGI TADI, karena tidak tahu apa yang musti saya kerjakan, saya membuka buku. Biasa..., level membaca saya adalah masih pada tahap membaca di waktu senggang, membaca karena kesepian, membaca karena tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Buku itu adalah sebuah novel karya Sabda Armandio; KAMU Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya.
Baru empat atau lima halaman kubaca, kepala saya terasa berat sekali dan akhirnya terjatuh begitu saja di kasur. Saya sungguh tak bisa sama sekali mengendalikannya. Mengendalikan kepala saya yang terasa menggelembung dan mata saya yang menggelayut mau jatuh. Rasanya saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk membelalakkan mata dan mendongakkan kepala. Tapi kampret betul! Saya sungguh tak bisa.
Saya tak tahu apakah ini pengaruh buku yang tengah saya baca atau karena faktor lain. Misalnya saya tidak tidur semalaman. Tapi saya yakin bahwa semalam saya tidur nyenyak sekali tanpa mimpi (dan saya percaya bahwa tidur yang paling nyenyak adalah tidur tanpa mimpi).
Buku yang tengah saya baca adalah sebuah novel terbitan Moka Media. Novelnya Pop banget. Saya katakan kepada beberapa kawan tentang alasan mengapa saya membaca buku itu (seringkali saya membaca buku tanpa alasan apa-apa). Bahwa Moka Media ini kuratornya adalah AS Laksana yang ribet dan rewel banget soal tulisan. Pantang bagi AS Laksana berdamai dengan tulisan yang buruk. Paling tidak, itulah satu-satunya hal yang saya pahami dari AS Laksana berdasar catatan-catatan brengseknya yang saya baca tiap hari minggu di rubrik Ruang Putih koran Jawa Pos. Dan satu hal lagi, ada nama orang Bojonegoro yang berada di balik Moka Media. Dia adalah Dedik Priyanto. Saya dengan alasan yang goblok sekali, kadang-kadang merasa senang dengan kenyataan itu.
Ya, begitulah. Saya akhirnya tertidur setelah berjuang agar tak ambruk. Tidur pulas. Jam 2 baru bangun. Padahal saya tak pernah atau jarang sekali tidur siang.
Saat tertidur, saya merasa bahwa diri saya sedang tak tidur dan sedang membaca buku namun tak bisa memahaminya. Perasaan ini betul-betul kuat. Perasaan bahwa saya tidak sedang tidur. Entah mengapa tidur menjadi semacam dosa konyol yang seharusnya tak saya iyakan.
Seingat saya, saya memang sering demikian. Seyakin saya, saya demikian bila sedang membaca karya Murakami. Dan buku yang saya baca ini adalah berbau Murakami banget. Entah ada apanya....
Bojonegoro, 05 September 2015
















 

Read More →

Bocah yang Mencintai Desanya

Oleh Mohamad Tohir 



Judul: Ulid Tak Ingin ke Malayasia 
Pengarang: Mahfud Ikhwan 
Penyunting: Fenita Agustina 
Penerbit: Jogja Bangkit 
Tahun terbit: 2009 
Tebal: 400 Halaman



SAYA baru saja membeli ini buku. Dan saya merasa senang. Saya berharap Andapun senang. Judulnya Ulid Tak Ingin ke Malaysia.
Mengapa saya senang? Pertama, buku ini murah. Bagaimana tidak murah? Tebalnya saja 400 halaman dan dibanderol hanya dengan 10 ribu. Awalnya, saya berpikir penjualnya keliru. Tapi saya urungkan untuk menanyakannya. Saya akhirnya berpikir bahwa ini hanya karena saya terlalu serius berpikir bahwa harga buku itu pasti mahal.
Kedua, buku ini ditulis oleh tetangga kita, orang Lamongan. Namanya Mahfud Ikhwan. Siapa dia?
Bagi saya, mempertimbangakan latar belakang seorang penulis dalam memilih buku yang hendak saya baca atau beli itu penting. Meski tidak selalu, karena saya juga sering sekali menemui buku-buku bagus yang tidak saya ketahui samasekali latar belakang penulisnya.
Mahfud Ikhwan ini sorang penulis yang gigih. Dia berproses dari tidak bisa menjadi bisa. Dari jurnalisme kampus. Menulis untuk buku pelajaran. Menulis tentang sepak bola dan film india. Dan kabar terbaru, belum lama ini, Mahfud Ikhwan diganjar sebagai juara pertama sayembara penulisan novel Dewan Kesenian jakarta (DKJ). Judul novelnya Kambing dan Hujan. Tentang dilema cinta sepasang kekasih berhaluan beda. Satu NU, satunya Muhammadiyah.
Ketiga, novel ini bagus. Memang sepintas lalu nampak seperti buku motivasi untuk perempuan berjilbab. Sebab, sampulnya seorang perempuan muda yang sedang duduk termangu entah mikirin apa. 
Memang, buku itu tidak diganjar penghargaan apa-apa. Bahkan, berdasarkan informasi yang saya terima, novel ini sempat ditolak oleh beberapa penerbit. Di Jogja, yang dunia penerbitannya seperti industri jajan rumahan itu, bahkan amat aneh kalu sebuah buku sampai ditolak penerbit. Bisa jadi naskah itu sangat buruk. Atau kemungkinan lain, ada indikasi tidak laku di pasaran.
Tapi, perlu diingat, buku ini adalah novel pertama Mahfud Ikhwan. Sekarang dia sedang naik daun. Diperbincangankan di mana-mana gara-gara bukunya menang DKJ. Dan kalau dia bisa terus menjaga staminanya, tidak menutup kemungkinan dia bakal terus berkembang dan karyanya bakal lebih bagus lagi. Saat dia berada di pucuk nanti, orang akan lupa kalu dia pernah menulis buku semacam Ulid Tak Ingin ke Malaysia ini.
Saya ingin memberi ilustrasi. Pramoedya Annata Toer yang namanya besar dan karyanya luar biasa itu, dulu pernah menulis buku isinya tentang resep-resep obat Jawa. Naskah itu ditolak oleh penerbit. Tidak ada yang tahu di mana itu naskah sekarang. Bisa jadi itu adalah kalau saja naskah itu diterbitkan, bakal ramai yang mencarinya. Saya membayangkan Mahfud bakal menemui nasib serupa. Maka tak ada salahnya memiliki novel pertama Mahfud. Toh, bagi dia ini tentu saja istimewa. Jelek-jelek ini buku pertama.
Tapi saya tak ingin mengatakan bahwa buku ini jelek. Buku ini ditulis dengan baik. dengan penelitian berdasarkan kisah nyata. Sebab, fiksi yang baik, kata para pakar, tidak hanya ditulis berdasar imajinasi belaka. Tetapi ada kekuatan faktual di balik kefiksiannya. Nah, buku ini demikian. Ceritanya tidak melayang di awang-awang karena dekat dengan kehidupan sekitar. Tentang kehidupan anak desa, yakni kehidupan petani bengkoang.
Namanya Ulid. Dia masih kecil. Dia menikmati dan mencintai aktivitas orang-orang di desanya. Para petani bengkoang. Penambang kumbung. Dia pendiam dan merasa risih dengan godaan kawan-kawannya yang mencomblanginya dengan seorang cewek bernama Juwariyah. Dia hidup di tengah sebuah pergeseran pola kehidupan masyarakat yang mendamba mencari rejeki ke luar negeri, Malaysia khususnya. Dia tidak suka ke Malaysia seperti banyak pemuda desa dan para laki-laki desa tersebut. Tapi ayahnya yang seorang guru itu suatu ketika berangkat ke Malaysia karena ekonomi keluarga masih bermasalah. Ke Malaysia, bagi Ulid, adalah tidak cinta Indonesia. Makanya, dia marah dengan bapaknya ketika berangkat.
Suatu ketika Bapaknya pulang. Tapi karena suatu kasus kriminal. Ulid jadi kian jengkel. Tambah jengkel lagi, sebab kepulangan bapaknya ternhyata membuat ibunya yang berangkat ke Malaysia. Nasib Ulid yang nampak sial tersebut itulah yang pada akhirnya membentuk kepribadiannya. Tentang padangan-pandangannya terhadap mencari rejeki di luar negeri dan urusan kesepian karena ditinggal orang tersayang.
Pokoknya membumi sekali. Saya belum bisa menceritakan detailnya. Sebab saya kuatir Anda tidak jadi membeli dan memilikinya. Sebab, kebanyakan orang memang lebih suka mendengar cerita buku dari orang lain. Tapi, memilikinya tentu lebih nikmat. Yakinlah!
Foto Buku : www.heruls.net
*Pembaca novel. Bergiat di Komunitas LESUNG, Bojonegoro

Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates