KARMA BUKU

Oleh Mohamad Tohir


sarbikita.blogspot.com
BEBERAPA pekan lalu, saya bertemu seorang kawan. Dia baru saja menjadi wartawan di sebuah media lokal kota saya. Saya sering ngobrol dengan dia soal judul-judul buku dan penulisnya.
Kali ini dia cerita tentang pengalaman barunya dalam interviewnya di media lokal itu. Salah satu pewawancara, kebetulan adalah juga kawan yang juga sering nyambung dengan saya soal buku-buku. Dia mempunyai ratusan judul buku bagus di sebuah rumah baca umum di tengah kota. Saat wawancara tiba pada sesi bicara apa saja, kawan saya tadi bilang pada kawan saya bahwa dia pernah nyolong beberapa bukunya di rumah baca itu. Dia mengatakan yang mengajak mencuri adalah saya.
Saya tercengang dan tiba-tiba teringat dengan salah satu label sandang saya, pencuri buku. Ya, baik sekali kawan saya itu. Dia membocorkan perbuatan jahat saya.
Saya mencuri buku pertama kali saat masih duduk di bangku Aliyah. Awalnya masih malu-malu dan berdosa sekali sebelum kemudian menemukan pendukung. Pendukung yang mengubah saya jadi merasa bangga dan sakti.
Adalah saat itu saya membeli buku remak dari skripsi Arif Budiman (saudaranya Soe Hok Gie) berjudul Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan. Buku itu tentang eksistensialisme dan pembacaan terhadap beberapa puisi Chairil. Plus riwayat hidupnya. Tentang Chairil yang suka minum, mlarat, sakit-sakitan, keras kepala, keluar masuk pelacuran, sombong, dan nyolongan buku. Belakangan saya juga dengar informasi bahwa Chairil nyolong buku karena meniru perbuatan Muhamad Yamin, sang pahlawan negara itu. Karena Chairil saja nyolong, saya tak ada salahnya deh, pikir saya dulu. Toh, siapa yang bakal sedih dan merasa kehilangan bukunya hilang. 
Saya nyolong beberapa buku dari perpustakaan sekolah saya. Buku itu bagus-bagus. 7 judul mungkin. Sekarang yang tersisa 4 judul. Lainnya hilang.
Ternyata saya tidak sendirian. Beberapa kawan juga demikian. Mereka bilang bahwa bisa nyolong buku itu bangganya bukan main. Kala diceritakan ke beberapa kawan yang juga pecinta buku, ternyata itu bisa jadi bahan obrolan yang asyik. Itu karena ternyata nyolong buku jadi pengalaman yang hampir pasti pernah dilakukan oleh mereka.
Saya pernah mampir ke perpustakaan Jogjakarta di jalan Malioboro. Dari sana saya pernah nggondol buku jaring-jaring semiotika Umar Kayam karya Bakdi Soemanto, guru besar UGM yang baru wafat bulan lalu itu. Gila, pepustakaan umum sekelas Jogja bisa kecolongan. Maksudnya, apalagi Bojonegoro?
Maka wajar, di Bojonegoro, saya berhasil menggondol Di Bawah Bendera Revolusinya Bung Karno yang sebesar bantal itu. Saya melewati meja petugas dengan langkah dan sikap yang biasa saja sambil menenteng buku itu, dan bablas tanpa hambatan. Saya yakin mereka juga tidak merasa kehilangan.
Hingga saat ini, naluri untuk nyolong buku masih ada dalam darah saya. Masih hangat. Ketika melihat buku bagus dan tidak diperhatikan, saya seperti ingin mencurinya. Saya tetap akan menurutinya kalu saja tidak teringat betapa susahnya sebuah buku itu bisa terbit dan mawujud dalam bentuk yang bisa dipegang. Sebuah buku lahir tidak sambil tidur. Orang bahkan bisa sampai mempertaruhkan nyawa dan kepemilikannya yang paling berharga untuk menulis buku.
Saya kadang menitikkan air mata (o, dampret) kala mengingat kebiasaan saya itu. Hingga sekarang sejak beberapa tahun saya menempa diri ingin bisa menulis bagus dan ternyata belum juga keturutan, saya terkadang berpikir ini adalah sebuah karma.
Oh My God!







Read More →

MATA SENO


Oleh Mohamad Tohir


wargamarhaen.blogspot.com

SAYA PUNYA beberapa teman diskusi kecil-kecilan akhir-akhir ini. Mereka adalah remaja semuanya. Saya sering menceritakan pada mereka tentang penulis-penulis dan bukunya. Baru-baru ini saya cerita tentang Seno Gumira Ajidarma. Bukan tentang teman-teman itu yang ingin saya ceritakan sebenarnya, tapi tentang pertemuan dengan Seno. Tidak banyak dan tidak dalam yang akan saya catat di sini. Sekadar dokumentasi agar tak terlupakan. Dan memang tidak terlupakan.
Saya ingin mencatat tentang perjumpaan dengan para penulis. Saya telah mengaku ingin menjadi seorang penulis. Ini karena saya seperti tidak bisa menemukan apa-apa untuk eksistensi selain menulis. Saya sering memotivasi diri bahwa tidak sembarang orang bisa menulis. Maka bisa menulis adalah kelebihan yang patut dibanggakan.
Tapi terkadang, nyali itu ciut ketika bertemu dengan orang-orang hebat di dunia macam ini. Saya tentu saja tidak bisa seperti mereka, yang telah melampaui masa-masa mengerikan dan terjal dalam hidup mereka demi menulis. Tapi di sisi lain ada sebuah senyawa yang mendorong dan menantang diri...
Sekitar Juli lalu, saya bertemu Seno Gumira Ajidarma. Saya berangkat ke Jombang mengikuti acaranya, sebuah talk show tiga jam di sebuah Universitas. Seno pembicaranya. Bukan tentang cerpen-cerpennya atau bagaimana dia sebagai seorang penulis yang ingin saya tekankan pada catatan ini. Tapi mengenai sebuah sensasi pertemuan dengan sang idola.
Saya pernah membaca tulisan Coelho dalam Seperti Sungai yang Mengalir. Coelho adalah penggemar berat Borges, sastrawan legendaris di Brazil, generasi di atasnya. Suatu saat dia melihat Borges di sebuah pantai. Coelho mendekati dan menyalaminya. Pada mulanya dia telah bersumpah akan menyatakan kata-kata kekaguman dan beberapa pertanyaan kalau misalnya berjumpa. Tapi ternyata itu tidak dilakukannya. Dia hanya menyapa saja. Menyebut nama Borges dengan nada tanya dan sapa. Sudah, itu saja.
Pertemuan saya dengan Seno juga demikian. Saya ikut acara diskusi itu. Tidak begitu menarik bagi saya. Karena pembahasannya seputar bagaimana menulis dan apa arti sebuah tulisan dan sastra. Pikiran-pikiran itu saya bisa mendapatinya dalam pertemuan apapun dan dari tulisan-tulisan Seno sendiri. Tidak harus bertemu Seno. Ketemu Seno hanya ingin merasakan sensasi.
Selepas acara, ada sesi foto-foto. Saya tidak ikutan. Saya hanya ingin salaman dan minta tanda tangan. Saya senang sekali karena dari ratusan peserta tidak ada satupun yang bawa karya Seno. Ketika hendak beranjak pergi saya mendekatinya. Saya minta tanda tangan. Buku saya yang Trilogi Insiden itu. Setelah itu kami salaman. Tidak bicara apapun. Itu saja. Seperti kata Coelho, “idola memang tak bicara.” Seno hanya menatap mata saya sambil tersenyum. Tapi saya tak bisa melupakan itu. Dalam perjalanan pulang saya bresumpah akan segera bikin novel. Seminggu setelahnya saya sudah menemukan judul novel saya. Sebuah Novel yang Belum Pernah Kau Baca dan memori yang Tertinggal di Kobuku. Sampulnya sudah saya bikin. Tapi, hingga kini, isinya belum kelar-kelar. Mata Seno membayangi saya.
15 Oktober 2014


Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates