In
Memoriam Pramoedya Ananta Toer
Mohamad
Tohir
DI
HARI tulisan ini tayang, Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya cukup disebut Pram)
sedang dipertimbangkan oleh sekelompok mahasiswa pada sebuah diskusi di IKIP
PGRI Bojonegoro. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang lebih akrab mendapat label
kaum pergerakan atau aktivis. Label itu dirasa perlu disematkan mengingat adanya
gelombang mahasiswa lain yang justru lebih mendominasi. Mereka adalah mahasiswa
alay, kata seorang kawan yang cemas bahwa mahasiswa tidak lagi punya pergerakan
mulai sejak bendera Reformasi dikibarkan.
Disinilah, Pram menemukan relevansinya untuk
dipertimbangkan. Yakni, tidak bisa dipungkiri Pram begitu getol menaruh harapan
terhadap gerakan pemuda terpelajar sebagai pelopor perubahan, baik secara
langsung maupun dalam cerita-cerita fiksinya. Sebagai respon kecil atas harapan
besar Pram itulah, barangkali diskusi itu digelar. Diskusi Ini digelar seiring
dengan in memoriam satu-satunya sastrawan tanah air yang pernah menjadi
nominasi peraih Nobel Sastra itu yang lahir pada 6 Februari 1925 silam. Mereka
mungkin gelisah terhadap kondisi angkatan muda dewasa ini yang mengalami
kemerosotan intelektual dari masa-masa sebelumnya.
Mereka sedikit banyak telah membaca karya-karya Pram dan
menemukan semangat revolusioner yang muncul lewat-lewat tokoh-tokoh ciptaan
Pram. Dan memang, tanpa melalui analisis teks yang njlimet, orang segera dapat
membuat penilaian sepintas lalu, bahwa karya-karya Pram menyuarakan
progresivitas dan semangat melawan ketidakadilan, menentang penindasan, dan
indahnya perjuangan meski pada akhirnya kekalahan adalah ujungnya. Karya Pram
bukan tentang, mengutip Chail Anwar, cinta sekolah rendah. Novel-novel Pram
adalah tentang kemanusiaan dan bangsa.
Mengenai siapa itu Pram tentu saja nama ini sudah tidak
asing lagi. Kalau tragedi 1965 adalah tragedi besar dalam catatan sejarah
bangsa, maka nama Pram ada di sana. Yang otomatis, Pram punya peran penting.
Terlepas dari kontroversi mengenai Pram yang hingga kini belum kunjung selesai
(hanya saja tulisan ini tidak ingin masuk ke wilayah tersebut) Pram adalah
satu-satunya kandidat peraih Nobel sastra dari Indonesia. Berbagai referensi
tentang Pram bisa didapat dengan mudah sekarang ini, selepas sebuah era yang
mengharamkan nama dan karyanya, tumbang. Hanya saja, stigma semena-mena yang
disematkan padanya di era orde baru, belum sepenuhnya terhapus. Buktinya, nama
Pram hingga saat ini belum juga muncul dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah.
Padahal, di beberapa negara tetangga, karya Pram menjadi bacaan wajib.
Koran ini sendiri pernah menayangkan tulisan mengenai Pram
setahun yang lalu. Nanang Fahrudin, dalam tulisan tersebut menyatakan bahwa
Pram memiliki kontribusi penting dalam kaitannya dengan Bojonegoro. Yakni, Pram
mengenalkan Tirto Adhie Soerjo (TAS), bapak pers nasional yang menghabiskan
masa kecilnya di Bojonegoro. Tirto Adhie Soerjo adalah cucu Bupati Bojonegoro
RM Tirtonoto I (Mengapa Membaca Buku-Buku Pramoedya?, Jawa Pos Radar
Bojonegoro, 10 Februari 2014). TAS diperkenalkan dengan begitu hidup dan heroik
oleh Pram lewat tertalogi Buru (Bumi Manusia hingga Rumah Kaca) lewat nama
fiksi Minke. Kata Bojonegoro disebutkan gamblang di karyanyanya yang dibaca
jutaan orang di berbagai belahan dunia ini. Di bukunya Sang Pemula, pembacanya
segera tahu bahwa Minke adalah perwujudan TAS. Sebelumnya, TAS ini tidak ada
yang mengenal.
Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan sebuah analisa sastra
atau semacamnya. Tulisan ini hanya sekadar sambutan hangat sekaligus penegasan
atas gairah kaum pergerakan tersebut, yang harus diakui bisa dibilang langka,
(meskipun sebenarnya sudah sewajarnya). Bahwa, di tengah gelombang kaum
terpelajar yang hanya berpikir masuk perguruan tinggi kemudian lulus dan kerja
mapan, ada pergerakan yang peduli pada wilayah pemikiran semacam ini.
Pram
dan Angkatan Muda
Kalau kita ziarah ke makam Pramoedya (meninggal 2006 lalu)
di pemakaman umum Karet Bivak, Jakarta Pusat,pada nisan tertulis “Pesan
Terakhir Pram : Pemuda Haruslah Melahirkan Pemimpin”. Orang akan terhenyak,
betapa Pram menaruh harapan besar pada angkatan muda di akhir hidupnya. Terlepas
dari apakah makna tersirat pesannya tersebut, Pram percaya bahwa sejarah
Indonesia itu sejarahnya angkatan muda. Dalam beberapa kesempatan wawancara, itu
juga ditegaskan berkali-kali. “Jangan lupa itu, sejarah Indonesia, adalah
sejarah angkatan muda. Sejak zaman belasan dulu di Belanda, kemudian merembet
ke Indonesia. Hingga puncaknya di peristiwa Sumpah Pemuda. Itu titik tolak
jadinya negara kita,” kata Pram dalam wawancara di Majalah Play Boy Indonesia
(edisi 1, 2006). Dalam wawancara tersebut, Pram berpesan agar siapapun yang
punya perhatian pada sejarah, hendaklah menulis tentang sejarah Sumpah Pemuda.
Magnum Opus Pram, Tetralogi Bumi Manusia (disebut juga
Tetralogi Buru, karena ditulis saat Pram mendekam sebagai tapol di Pulau Buru),
menampilkan sosok Minke sebagai angkatan muda yang terpelajar dan punya pikiran
dan gerakan progresif. Dikisahkan, Minke ini adalah pribumi yang beruntung
dapat sekolah di lembaga milik Belanda. Minke ini, pada akhirnya, adalah yang
menggagas berdirinya organisasi kaum pelajar Sarekat Islam. Dari Sarekat Islam
inilah yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh
founding fathers bangsa kita.
Apa yang ditampilkan dan menjadi harapan Pram tersebut tentu
saja semestinya diapresiasi dan layak dijadikan pertimbangan. Pasalnya, gerakan
pemuda (baca;mahasiswa) sekarang sedang berada dalam wilayah yang
memprihatinkan. Di lingkup perguruan tinggi yang seharusnya menjadi cawah
candradimuka angkatan muda, justru menciptakan pola pikir yang bertolak
belakang. Lembaga pendidikan, sekolah, perguruan tinggi nampak menjadi semacam
komoditi yang kurang punya fokus pada soal proses pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Kita tidak dapat menolak arus informasi yang seakan tidak
ada batasannya yang meskipun di sisi lain positif, namun kita tidak bisa
menutup mata, ini juga menciptakan budaya massa yang cenderung kosumtif. Kenyataan
ini menempatkan masyarakat pada keriuhan dan hiruk pikuk yang seperti tidak
memberikan kesempatan untuk jeda merenung dan berpikir. Di sini generasi muda
berada dalam arus utama.
Menjadi
Terpelajar
Angkatan muda seperti apakah yang ada dalam pikiran Pram
sehingga menjadi harapan tingginya? Dalam Bumi Manusia, tokoh Minke yang kaum
muda pelajar itu, mendapat pesan dari seorang pelukis berkas serdadu kebangsaan
Prancis yang adalah sahabatnya, Jean Marais : “Seorang terpelajar harus adil
sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Saat itu, Minke sedang dilanda galau
karena kedekatannya dengan seorang nyai mendapat cibiran dari banyak pihak.
Nyai-nyai dianggap sebagai kaum rendahan karena menjadi perempuan simpanan
pembesar Belanda. Sebagai kaum pelajar, Minke dituntut untuk tidak serta merta
mengamini pendapat kebanyakan. Ia harus pelajari dan buktikan sendiri
seadil-adilnya tentang pandangan dan cibiran tersebut. Minke tidak boleh
menelan mentah-mentah sesuatu tanpa terlebih dahulu menganalisanya. Dari
sinilah perjalanan sang terpelajar dimulai.
Sebagai penutup, apa yang menjadi harapan Pram sebetulnya
adalah keniscayaan yang sudah selayaknya diamini oleh siapapun yang memiliki
kepedulian. Paling tidak ada beberapa catatan mengenai moment mengenang
kelahiran sastrawan kelahiran Blora ini. Pertama, stigma bahwa karya
Pram adalah terlarang yang sudah tidak berlaku, perlu disambut dengan hangat. Tidak
ada lagi cerita orang harus sembunyi-sembunyi membaca kayanya. Caranya adalah
tidak lain dengan membaca buku-buku karya Pram. Gerakan angkatan muda, pelajar
di sekolah dan SMA, sebagai harapan besar Pram, nampaknya perlu melakukan
kampanye yang intens.
Kedua, Pram tidak menulis dengan bahasa yang
lebay dan mendayu-dayu atau diindah-indahkan. Bahasanya jelas, lugas, dan
realis. Menurut Pram, keindahan bukan terletak pada bahasanya, tetapi pada
seberapa persoalan kemanusiaan diungkap melalui bahasa. Sementara itu,
keengganan pemuda terhadap sebuah novel biasanya disebabkan oleh asumsi bahwa
novel itu isinya cinta-cintaan belaka, maka karya Pram bolehlah dicoba untuk
mengikis itu.
Ketiga, Pram telah mengangkat nama Bojonegoro
meskipun tidak secara spesifik. Ada kebanggaan bagi pembaca Bojonegoro menemukan
kenyataan ini. Dan karyanya dibaca di berbagai belahan dunia. Setidaknya ini
bisa menjadi penyemangat bahwa Bojonegoro punya sosok yang bisa dijadikan
panutan. Konon, Bojonegoro sedang dalam kebingungan mencari identitas
sampai-sampai menempatkan tokoh dongeng sebagai panutan. Hal ini nampaknya juga
perlu menjadi perhatian Pemerintah untuk sekadar misalnya mencatat nama Pram
dalam kurikulum pendidikan yang notabene di sinilah ruang paling mungkin pemuda
berada. Semangat tentang angkatan muda, harus dibaca oleh angkatan muda.
Keempat, semangat muda pada akhirnya bukanlah
diukur dari umurnya. Tapi
dari progresivitas pikiran dan gerakannya. Sampai tua, Pram tidak
kenal lelah untuk menyuarakan ketidakadilan.
Di penghujung usianya, Pram masih intens mengkliping dan
merencanakan sebuah proyek buku. Buku itu, banyak orang memprediksi akan membuat publik
tercengang seperti buku-bukunya yang dulu. Sayang, hingga usianya
berakhir, pekerjaan itu belum rampung. Klipingan setinggi 8 meter itu masih belum rampung
dikerjakan. Perlu keuletan dan ketahanan seorang pemuda
untuk melakukan itu, di tengah-tengah cibiran bahwa itu suatu yang sepele.
Bojonegoro, 06 Februari 2015
Mohamad Tohir,
Tukang sapu Sindikat Baca
Tulisan
ini dibuat sebagai sambutan atas
Acara
IN Memoriam Pramoedya Ananta Toer
oleh
Pengurus Rayon PMII Averrous IKIP PGRI Bojonegoro
Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro,
Minggu 08 Februari 2015 dengan
judul Pramoedya dan Angkatan Muda