Binangun dan Ceceran Ingatan tentang Kata

Oleh Mohamad Tohir
BEBERAPA hari yang lalu, saya bertandang ke Binangun. Ya, Binangun. Entah mengapa saya sangat suka menyebutnya Binangun. Bukan pondok, ponpes, atau apalah apalah. Binangun bagi saya adalah kata yang puitis. Seperti kata lainnya; Langitan, Pethuk, Mranggen, Sarang, Kajen, Siguluk Guluk, Paiton, Tanggir, Gomang, dan lain sebagainya. Kata – kata itu sama – sama memiliki semacam kuasa untuk mengalahkan makna – makna lainnya. Paiton bisa saja bermakna banyak hal, tapi ternyata orang segera tahu, Paiton berarti Pesantren Nurul Jadid. Begitu kurang lebih maksud saya.
Entah mengapa saya bahagia sore itu, begitu tahu bahwa kegiatan rutin alumni Pesantren al-Hikmah adalah di Binangun, di rumah Abdul Aziz, kakak teman sekelas saya, Siti Rohmah (Saya selalu memanggilnya Mbak Rohmah, sampai sekarang). Saya lama tak ikut, dan jarang ikut. Dulu saat yang ikut orang – orang tua, saya mencoba untuk mengawali sebagai perwakilan kaum muda. Saya datang bersama Bambang saat itu dan jarang sekali kaum muda yang ikut. Sekarang sudah banyak. Ah, apalah arti tua, muda. Umur tidak selalu tepat dan berhasil mendefinisikannya. Orang boleh berumur 80. Tapi dia memiliki semangat muda yang tak dimiliki seorang yang berumur 23 tahun tetapi pemalas, seperti saya.
Saya datang bersama Bambang Su. Saya jemput dia di Soko. Dia sedang berada di warung minum depan sebuah toko swalayan saat saya jemput, baru saja selesai rapat membahas acara yang bakal digelar esoknya, sebuah pentas seni Karang Taruna. Saat saya jemput, Bambang Su tak membawa pakaian ganti. Dia hanya mengenakan kaos tipis lengan panjang warna kelabu dan trening warna merah dengan dua garis putih di tengah. Ya sudah, mau apa lagi. Kami pun berangkat.
Saya tidak ingin mencatat sesuatu yang besar. Hanya semacam keanehan dan kekaguman saya pada ingatan. Saat melewati jalan di brang etan, sekitar seratus meter sebelum masuk area pesantren sebelah timur, saya meresa baru kemarin melewati jalan itu. Saat melihat bangunan – bangunan baru di beberapa titik di pesantren, saya juga merasakan semua itu tidak berbeda dengan saat saya masih di pesantren dulu. Itu belum kalau saya masuk wakam (singkatan wali kamar. Sebenarnya istilah ini tak tepat, sebab merujuk pada sosok atau orang, bukan tempat atau ruangan. Dulu saya menyebutnya makam).
Sepulang dari kegiatan (ngaji), saya jalan beriringan dengan Maksum (nama aslinya M Thoha Mahsun). Saya tiba – tiba merasa seperti anak kecil. Sambil jalan, kami bicara tentang hal – hal yang bisa dipastikan basa – basi; dia (Maksum) yang bola-bali Palang (Tuban) – Baureno, Aw yang jadi orang penting, OGP, Festival HAM, Faizah yang tinggal di Lamongan, dsb. Maksum bukan sosok yang pintar memang. Tapi saya tahu dia orang yang serius dan penuh komitmen. Kalau tidak, mengapa dia masih menjadi orang kepercayaan Yai hingga saat ini?
Ah, Maksum. Dia adalah orang yang pertama kali saya kenal saat saya tiba di Binangun pada 2000 an lalu. Dia yang mengajari saya banyak hal. Banyak kata baru yang diperkenalkannya pada saya, seperti gendok, nampan, brang etan, ro’an, nggasap, dan lain sebagainya. Saya pertama melihat kerbau, bebek, pohon jeruk juga dengan Maksum, saat jalan – jalan di sore itu, di brang etan.
Apakah itu penting? Penting bagi saya. Entah mengapa saya selalu menyukai segala hal yang sepintas lalu tidak bermakna. Mungkin karena minat saya yang besar pada kajian filsafat postmodern.
Saya tidak mengingat perjumpaan perjumpaan dengan Maksum setelahnya, meskipun masih ada waktu sekitar delapan tahun setelahnya kami saling bersua. Ingatan terakhir tentang Maksum adalah saat dia mengomentari bacaan – bacaan saya saat kelas 3 Aliyah. Saat itu saya lagi gandrung – gandrungnya dengan kajian islam rasional, islam liberal, dan sebagainya, yang tentu saja terasa asing bagi sekitar. Maksum bilang pada saya, bukan pemikirannya yang dipermasalahkannya, tapi dia tidak setuju dengan sikap para tokoh yang buku - bukunya saya baca itu, karena mereka tidak bermadzhab. Saya ingin membantahnya saat itu. Tidak bermadzhab bagaimana? Mereka bermadzhab.... Tapi saya urungkan, Maksum adalah guru saya. Guru yang mengajari saya satu kata yang sebelumnya saya tak tahu itu.
Sebenarnya, kajian Islam semacam itu, tidak asing di lingkungan kami saat itu. Lebih - lebih, banyak buku di perpustakaan MBU yang ditulis atau digarap oleh tokoh – tokoh yang bisa dikatakan liberal. Ada nama – nama yang diagung-agungkan oleh para tokoh Islam liberal seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab, Jaluddin Rahmat, dan sebagainya. Salah satu buku tebal kumpulan artikel Nurcholish bahkan saya bawa pulang (curi). Judulnya Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Itu jadi salah satu buku favorit saya hingga sekarang.
Saya tidak bisa menjelaskan di halaman ini tentang bagaimana kajian Islam semacam itu yang saya maksud. Saya tak lagi memiliki energi untuk membuat semacam pembelaan.
Saat saya berjalan beriringan dengan Maksum malam itu, ingatan – ingatan kecil itu tiba – tiba muncul. Ingatan – ingatan yang membuat saya tersadar bahwa saya masih anak kecil. Hingga sekarang.
Tambangan Satu, 1 Maret 2017


Read More →

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates