Puisi (1)


mohamad tohir



SEMINGGU lalu, malam Sabtu, saya membaca puisi dalam sebuah acara ulang tahun sebuah komunitas seniman, Sayap Jendela, di Hall of Djanggleng Hotel. Acara itu bertajuk Sepekan Seni Sayap Jendela (S3J)

Saya memang malu sekali tampil di muka orang banyak. Sejak dulu. Kata seseorang, yang mana ia masih ingat masa kecilku, saya memang pemalu. Saat TK dulu, kata orang itu, saya selalu melipat tangan di belakang punggung sambil bersandar tembok dengan muka seperti kain dilipat tujuh sembari ndoweh (sebutan untuk sebuah kondisi tidak bisa mengendalikan penampilan bibir dan mulut) ketika teman-teman lain sedang asyik senam pagi.

Oh, saya mau bicara soal puisi. Jadi, malam itu saya tampil di panggung dan membacakan sebuah judul puisi. Saya manggung bersama teman-teman saya di Sindikat Baca; ada Danial, Shinta Damayanti, Vera, Wu Lang, Lipia, dan Toeloes.

Kami ingin membawakan puisi panggung dan diiringi music, atau istilah kerennya musikalisasi puisi. Tak ada Persiapan sama sekali. Tak ada latihan. Hanya ada rencana; saya baca puisinya Joko Pinurbo (saya masih ragu sebenarnya akan membacanya atau tidak, bahkan hingga beberapa menit sebelum pintas), Shinta baca 'Penerimaan'nya Chairil Anwar dan Danial akan baca Sajak Putihnya Chairil pula (dengan dinyanyikan.

Saya mengawali membaca puisi. Saya malu sekali. Saya membaca tanpa ekspresi. Saya kutipkan puisi itu, yang saya sebenarnya ingin mencari dukungan bahwa puisi itu memang sudah dari sononya nyaris tanpa ekspresi bila dipanggungkan. Puisi itu pernah dibacakan oleh penyairnya sendiri, Jok Pin, di depan para peserta seminari di sebuah sekolah pastor di Jogja 2008 lalu (saya membacanya dari majalah Tempo).

Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.


Puisi itu saya comot dari kumpulan puisi Pacar Senja (GM, 2006). Puisi itu memang seperti sebuah banyolan. Banyak orang belum terbiasa dengan puisi model seperti itu. Puisi lebih identik dengan haru dan penuh bunga-bunga kata. Sekian lama puisi kita seperti itu sehingga mereduksi genre puisi yang ada, seakan-akan yang nggak bikin haru bukan puisi. Saya mantap membaca puisi itu setelah sebelumnya saya menyaksikan pembacaan puisi oleh sebuah kelompok teater. Mereka membaca puisi dengan menangis geru-geru di depan mayat-mayatan seorang ibu. Puisi itu dikemas dalam sebuah drama kematian ibu yang diikuti sebuah penyesalan oleh anak-anaknya. Anak-anaknya bergantian membaca puisi sambil menangis dan meratap. Mereka tahbiskan itu sebagai ungkapan selamat hari ibu yang bakal jatuh dua hari kemudian. Kemudian saya mantap membaca Celana Ibu yang saya persembahkan pula sebagai ungkapan hari ibu. Kontras sekali ya?

Yah, sebatas itu saja yang saya tengok.
W.Oi, 27 Desember 2013

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates