Anna (2)


mohamad tohir


SEBUAH buku menemani minggu pagi saya yang kesepian. Rispondimi judulnya, tertulis dengan font yang agak sulit terbaca di pojok kanan bawah kulit buku, karya Susanna Tamaro. Buku itu sudah lama saya melihatnya, tapi hati saya belum kunjung menyentuhnya. Asu!
Guru membaca saya, Nanang Fahrudin, membahasnya dua hari yang lalu-meski sebatas pada ingatan yang tak utuh (hanya seputar sampul buku dan sekilas karya Susanna Tamaro yang lain yang judulnya sulit dieja itu). Seorang guru membaca saya yang lain (ternyata guru membaca saya banyak sekali), Prawoto, juga pernah menyarankan saya membaca Susanna Tamaro, tapi yang Va’ Do Ti Porta Il Cuore (Pergilah Ke Mana Hati membawamu).
Ada tiga cerita dalam Rispondimi, yang terpisah satu sama lain namun menemukan benang merahnya pada makna cinta kasih dan Ketuhanan. Sayang sekali saya baru menuntaskan cerita yang terakhir, Hutan yang Terbakar. Sensasi yang muncul ketika membacanya adalah seperti saat saya membaca Paulo Coelho, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis –sama-sama melibatkan pemuka agama dan pesan-pesan religius penuh cinta.
Tokohnya adalah aku (Saverio), yang adalah seorang peminat tumbuhan dan botani. Dia adalah tipe pria penyendiri. Ia jatuh cinta dengan seorang perempuan cantik yang jadi murid baru di sekolahnya, Anna. Mereka nyambung karena sama-sama penyendiri-pendiam(172-173). Mereka kemudian menikah dan punya anak dan tinggal di dekat hutan.
Saverio bekerja sebagai pelindung hutan pinus yang berkewajiban menjaga kelestariannya dari kematian atau pembalakan liar. Dia hidup bahagia pada mulanya hingga kemudian masalah muncul.
Saverio adalah anti Tuhan nampak ketika Anna mulai berubah dan membuka diri pada gereja (187-188). Itu terjadi ketika Giulia, anak mereka sakit dan dirawat. Sejak itu Anna sering berhubungan dengan perawat Giulia (Silvia). Melaui perawat itulah kemudian Anna dekat dengan yang berbau Tuhan. Anna berubah. Anna jadi senang keluar rumah dan penampilannyapun berubah menjadi cerah. Adu argumentasi mulai terjadi antara ia dan Saverio. Dan Saverio mulai mendengus perubahan Anna dengan penuh curiga. “…kalau perempuan berubah, hanya ada satu alasan….. Dia jatuh cinta pada laki-laki lain”(192).
Suatu ketika, saat sedang bermobil, Saverio terlibat adu mulut dengan istrinya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah biarawan yang dalam anggapan Saverio adalah lelaki lain Anna. Mereka berdebat soal keberadaan Tuhan. Saverio mengebut dan hampir menabrak mobil di depannya sebelum kemudian dengan cekatan menghindarinya. Anna menangis ketakutan.
“Jadi, siapa yang menyelamatkan dirimu? Siapa yang menyelamatkan kita dari kecelakaan? Tuhan, atau aku?”(197).
Di sisi lain, hutan pinus juga bermasalah. Hutan pinus sekarat dan Saverio tak tahu sebabnya. Kemungkinan disebabkan oleh jamur, serangga, hujan asam, atau karena virus tak bisa dibuktikan oleh Saverio. Saverio sedih sekali, sebatang pohon mati dan mengacung ke langit dalam tempo yang lama sekali dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Suatu saat ia akan membakar hutan itu, pikir Saverio(200).
Di sinilah letak ceritanya sebenarnya, seperti judulnya, Hutan yang Terbakar. Hutan yang sekarat adalah isyarat untuk permenungan kalau Saverio menyadarinya. Saverio menyadari itu ketika Anna sudah mati. Anna mati di tangannya sendiri. Saverio membunuhnya ketika rasa cemburunya tak mampu ia tahan lagi.
Lewat surat biarawan, yang dicurigai ada affair dengan Anna itu, Saverio tersadar akan pertanda alam itu. Biarawan tertarik mengomentari pendapat terbaru Saverio tentang kematian pohon pinus bahwa mereka mati karena iri. Mereka mati karena iri berada tumbuh di tengah-tengah cemara putih dan merah serta pinus hitam. Pohon-pohon pinus, pada musim dingin, mengugurkan daunnya, sementara yang lain tidak. Biarawan mengomentari lewat surat kepada Saverio; Pohon-pohon pinus itu bukannya iri karena daun-daun jarumnya, melainkan karena cinta. Tidakkah juga demikian yang terjadi pada manusia? (208). Biarawan membandingkan dengan kisah-kisah di al-Kitab, tentang mengapa kain membunuh Abel dan Yusuf yang berusaha dibunuh oleh saudara-saudaranya. Orang yang mencintai menanggung resiko lebih besar dan sering harus membayar harga yang lebih tinggi.
Begitulah, menarik sekali kisah itu untuk permenungan! Tapi sayang, catatan ini terbatas sekali. Saya mencatat ini di sebuah warung kopi dan sebentar lagi harus beranjak karena kawan saya yang datang dari jauh sedang berkunjung dan tentu saja saya harus menemuinya dan meninggalkan catatan sebelum rampung. Tapi, paling tidak, kita telah menengok!

Bojonegoro, 28 Desember 2013

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates