ORANG PAPA

Oleh Mohamad Tohir

Salvador Dali, The Temptation of St. Anthony, 1946

11 NOVEMBER adalah tanggal lahir Pangeran Diponegoro. Dia sosok penting yang kita punya. Dia pemimpin besar perang yang juga besar yang memporak porandakan kolonial saat itu, kisaran 1825 – 1830. Sejarah mencatat ini sebagai Perang Diponegoro. Sebutan lainnya adalah Perang Jawa. Ini karena saking besar dan serempaknya perlawanan itu di seluruh Jawa. Belanda bangkrut untuk membiayai perang ini. Di luar menghadapi lawan di perang dunia II. Sementara di Indonesia, kuwalahan menggempur perlawanan Diponegoro yang massif di hampir seluruh Jawa. Tentu itu butuh dana yang besar.
Diponegoro mempunyai misi menyatukan Jawa di bawah bendera Islam. Perlawanan menumpas penindasan kafir Belanda adalah jihad. Rakyat berpikiran seperti itu di bawah komando Diponegoro, ningrat atau priyayi yang menolak tunduk pada Belanda, seperti ayahnya, sultan Jogjakarta. Diponegoro juga tidak suka hidup secara borjuis. Dia hidup sebagaimana rakyat, di mana terjadi jurang lebar antara penguasa dan rakyat. Sebagai anak sultan dia malu. Maka, bergerak bebareng rakyat menjadi semangat tersendiri. Dia memimpin kaum papa yang kelaparan karena bahan makanannya dihisap besar-besaran oleh kolonial yang kongkalikong dengan para pembesar Jawa. Kekuatan orang papa besar sekali bila mereka marah, kekuatan orang-orang yang lapar.
Saya mengagumi Diponegoro. Sejarah Diponegoro adalah sejarah Bojonegoro juga. Bersamaan dengan perang Jawa itu, Bojonegoro adalah Rajekwesi. Rajekwesi menjadi salah satu titik penting Perang Jawa itu, sebagai sebuah perlawanan di bawah komando Tumenggung Sosrodologo, orang dekat Diponegoro. Pergolakan yang terjadi di Rajekwesi dan daerah sekitarnyapun tak kalah penting dan seru. Pergolakan ini reda bersamaan dengan ditangkapnya sang pemimpin besar Perang Jawa secara pengecut. Diponegoro ditipu dengan rencana rundingan yang akal bulus itu.
Dan Sosrodilogo, akhirnya dia dilupakan, sebagaimana orang tak lagi begitu mengingat Rajekwesi. Rajekwesi akan mengingatkan orang pada pergolakan para pendahulu. Rajekwesi adalah pemberontakan. Dan Bojonegoro, sebagaimana arti katanya, tunduk dan manut pada negara, tidak memberontak.
11 November adalah hari lahir Fyodor Dostoyevsky. Dia sastrawan besar Rusia. Dia dibaca dan dikenal seluruh dunia lewat karya-karyanya berupa novel dan yang lainnya. Dia menjadi inspirator bagi generasi setelahnya. Termasuk Haruki Murakami, Knut Hamsun, dan yang lainnya.
Tokoh-tokoh Dostoyevsky adalah orang-orang yang asing dari pusaran masyarakat. Asing karena berbeda prinsip. Asing karena papa dan menghindari hidup seperti borjuis sebagaimana masyarakat kebanyakan. Sebagaimana Dostoyevsky yang hidup miskin dan sosialis.
Saya belum pernah membaca banyak karyanya. Yang terkenal adalah Kejahatan dan Hukuman. Saya hanya pernah membaca sekilas tentang ini dari ulasan Yudi Latif dalam sebuah artikelnya di Kompas tahun lalu (pernah dijadikan bahan dalam Jianrapettenan oleh Danial). Tentang perasaan bersalah karena melakukan tindak kejahatan dan di sisi lain menyelami dilema cinta yang membingungkan.
Karya Dostoyevsky yang ada di rak saya adalah The Gambler. Ini bukan karya masterpiecenya, dan novel ini ditulis dalam waktu satu bulan. Konon, sepeti saya baca di pengantarnya, karya ini ditulis ketika Dostoyevsky sedang dalam krisis keuangan. Dia harus melunasi hutang pada krediturnya sementara itu tak punya uang. Dia memberanikan diri membuat kontrak dengan penerbit dengan uang muka untuk sebuah buku yang akan ditulisnya. Penerbit itu meamberi tenggat waktu beberapa bulan. Kalau buku itu belum jadi, penerbit mempunyai hak sepenuhnya terhadap penjualan buku-buku Dostoyevsky sebelumnya. Hingga waktu tinggal sebulan lagi, Dostoyevsky belum menulisnya. Dalam waktu sebulan itulah The Gambler ditulis dan selesai dan kemudian meraih sukses di pasaran.
Saya baru membaca satu karyanya, sebuah cerpen berjudul Maling yang Jujur. Cerpen ini ada dalam kompilasi cerpen klasik dunia (berjudul Cinta Tak Pernah Mati) yang diterjemahkan oleh Anton Kurnia dan Atta Verin, istrinya, dan diterbitkan oleh Serambi (penerbit ini terlalu rajin menerbitkan karya terjemahan. Jempol buat Serambi deh!). Gambar sampulnya adalah sebuah kembang mawar yang surealis, meditatif rose, karya sang legenda Salvador Dali.
Maling yang Jujur adalah cerita sederhana yang menggugah. Tentang kehidupan kaum papa dan lapar yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kejutan atau plot yang rumit. Kekuatannya terletak pada emosi tokoh-tokohnya. Ini bisa dirasakan dengan membacanya langsung, bukan lewat ulasan orang lain seperti catatan saya ini. Singkatnya, Maling yang Jujur bercerita tentang sebuah keluarga sederhana yang baru menerima pendatang baru, penyewa sebuah kamar kecil di dekat dapur. Pendatang itu bernama Astafi. Dia mantan tentara yang jadi seorang penjahit. Kalem dan tidak banyak tahu tentang hiruk pikuk dunia ini. Suatu malam terjadi sebuah pencurian yang amat konyol sekali. Seorang maling mengambil mantel tuan rumah. Saat itu semua penghuni, tuan rumah, Astafi dan dua orang pembantu ada di rumah. Maling masuk rumah dan semuanya tahu itu. Tapi maling berhasil menggondol mantel itu. Astafi mengejarnya dan kembali dengan tangan kosong.
Singkat cerita, sejak saat itu, Astafi sering bercerita tentang kisahnya mengejar maling dan gagal itu. Peristiwa itu mengingatkannya tentang kisahnya sendiri yang inilah sebenarnya cerita yang dimaksud itu, Maling yang Jujur. Maling itu macam-macam dan salah satunya maling yang jujur. Si tuan rumah tertarik mendengarnya.
Astafi bercerita tentang dirinya dan rumah sewaan sederhana yang ditinggali bersama seorang miskin, pemabuk, dan tidak bisa bekerja apa-apa bernama Emelian. Emelian ditemui pertama kali di sebuah bar dan sedang mabuk-mabukan. Mereka ngobrol dan Astafi merasa kasihan mengetahui Emelian hidup menggelandang. Emelian diajak ke rumahnya. Satu hari dua hari tiga hari dan seterusnya Emelian seperti tidak berniat beranjak dari rumah Astafi. Awalnya nyaman tetapi lama-kelamaan susah juga. Astafi tidak berpenghasilan banyak sebagai penjahit. Sementara Emelian hidup menggantung belas kasihan saja padanya. Pernah Astafi menyuruhnya pergi namun ia merasa kuatir dan kasihan. Maka Astafi mencoba marah dan diperingatilah Emelian agar tidak mabuk-mabukan. Kalau mabuk tidak boleh masuk rumah. Emelian masih mabuk suatu malam. Dia merasa bersalah lalu keluyuran dan tidak pulang. Astafi merasa bersalah dan kesunyia, lalu dicarinya Emelian. Dia ditemukan tidur di tangga sebuah bandara. Diajaknya lagi Emelain pulang.
Hingga suatu ketika Astafi mengalami krisis keuangan dan harus mencari rumah baru yang lebih kecil dan murah. Mereka akhirnya berpisah dan Astafi dapat rumah sewaan milik seorang perempuan tua. Hingga beberapa hari Astafi tidak melihat Emelian. Dan dia kaget ternyata suatu malam dia melihat Emelian meringkuk di bawah jendela rumah sewaannya. Kondisi Emelian masih tetap sama. Tetap mabuk-mabukan, tidak bekerja, dan mengenaskan penampilannya. Emelian tinggal lagi bersama Astafi dan lagi-lagi lumayan menyusahkan dengan kondisi keuangan yang kekurangan. Astafi bermaksud memberi Emelian modal dengan uang hasil menjual celana hasil jahitannya. Tapi Astafi kaget sekali bahwa celana itu tidak ada lagi di kopornya. Saat dicoba tanyakan pada pemilik rumah, perempuan tua itu juga mengaku kehilangan rok. Maka Astafi mencurigai Emelian. Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu selain mereka dan Emelian. Namun Emelian tidak merasa mencuri. Meski demikian, Astafi terlanjur curiga dan sejak saat itu dia jadi tidak suka pada Emelian. Dia mendiamkan Emelian hingga beberapa minggu. Emelianpun merasa tidak enak hati dan bersalah dengan sikap Astafi. Akhirnya dia pamit pergi. Astafi kuatir dan merasa bersalah sekali. Dia tidak bermaksud tidak baik. Kemana Emelian akan pergi dengan kondisi seperti itu : kumuh, tua, mabuk-mabukan, tidak bisa bekerja apa-apa. Direlakannya Emelian meskipun beberapa minggu kemudian Emelian kembali lagi. Ia tampak sangat kurus dan menyedihkan. Emelian sakit dan parah. Dokter mengatakan percuma mengobatinya. Di penghujuang hidupnya, Emelian dengan terbata-bata mengaku dialah yang mengambil celana itu.
Tentu saya tidak bisa cerita dengan lengkap dan dengan emosi dan rasa yang serupa. Saya tidak pandai untuk itu. Membacanya sendiri terasa mengaduk-aduk emosi. Saya berencana akan membaca The Gambler yang saat ini tergeletak di rak saya.
Begitulah, membaca Dostoyevsky adalah membaca tentang penderitaan dan keterasingan orang-orang miskin dan jelata, papa. Kalau Dostoyevsky mengangkat senjata lewat tulisan, Diponegoro dengan senjata aksi massa. Terlepas mereka berada di dua kutub yang berbeda, mereka orang-orang luar biasa. Diponegoro meninggal dalam pembuangan. Namanya harum hingga kini. Dia dikibuli, dikhianati, dan dipuja sekaligus. Dostoyevsky mati kena penyakit epilepsi. Namanya masih ada hingga kini. Setiap orang yang mengaku penulis dan sastrawan, saya tak ikut mengakuinya kalau dia tidak tahu sama sekali tentang Dovtoyevsky. Paling tidak, sebatas menegok lah! Mereka lahir di tanggal ini dan di masa yang hampir bersamaan. Catatan ini hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Mereka telah mati namun sebenarnya hidup. Mereka, seperti kata Chairil, hidup seribu tahun lagi...

Klampok-Rumah Baca!,
 11 November 2014


Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates