LORCA DAN KATA



Oleh Mohamad Tohir

INI sekelumit tentang Lorca. Sebuah nama yang muncul dan sedikit mengusik ketika beberapa kali disebut oleh kawan saya yang adalah penyair, Timur Budi Raja namanya. Kerap, dalam sebuah perbincangan, dia menyebut nama itu terus.
Yeng terakhir adalah saat Launching Atas Angin beberapa pekan lalu. Di sana, dalam tema diskusi membaca puisi, Timur menyebut nama itu lagi ketika mengambil contoh saat dia membincang bahwa kata bukanlah benda mati. Kata kerap membuat orang atau kekuasaan takut. Frederico Garcia Lorca adalah sastrawan yang diculik dan dibunuh di sebuah tempat oleh penguasa setempat. Gara-gara kata tentunya.[1]
Saya tidak begitu mengenal Lorca. Pertama kali mendengarnya adalah ketika saya membaca sebuah wawancara Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar Amerika Latin itu, kepada Subcomandante Marcos, pejuang kemanusiaan Zapatista, Meksiko. Marcos memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang tergerus oleh arus globalisasi ekonomi neoliberal. Saya membaca wawancara itu di sebuah lembaran yang entah di mana sekarang (terbitan insist mungkin. Atau resist ya?). Wawancara itu bicara mengenai buku-buku yang dibaca Marcos di tengah padatnya waktunya. Marcos bilang bahwa kalau para tentara berjuang dengan senjata senjata, yang di saat senggang biasanya mengelap senjata mereka, maka Marcos mengisi senggang dengan membaca. Kata-kata adalah amunisi bagi Marcos.
Marcos bicara tentang buku-buku karya penulis Amerika Latin dan Spanyol, termasuk karya Cervantes yang legendaris itu, Don Quixote. Juga buku Lorca, yang selalu ditenteng di mana-mana. Entah apa judulnya.
Karena saya tidak begitu bisa anteng terhadap puisi, saya agak mengabaikan Lorca. Hingga akhir-akhir ini saat namanya disebut berulang-ulang oleh Timur dengan suaranya yang semriwing itu.
Pun akhirnya, saya tetap tak bisa menulis tentang Lorca secara biografis. Sama sekali tidak bagus, karena saya tidak membaca karyanya. Saya pernah menyentuh bukunya memang, saat ada pameran buku di Gedung Wanita Bojonegoro, membuka-buka sebentar, lalu mengempaskannya (saat itu bersama buku puisi Pablo Neruda). Selain Timur, orang yang saya ketahui kerap menyebut namanya adalah Joko Pinurbo. Di suatu esai yang entah di mana juga.
Kemudian yang membuat saya tertarik dengan Lorca adalah hal unik lainnya. Dia katanya homo dan pernah hendak menggumuli Salvador Dali (mereka sejaman), pelukis legendaris itu (saya lebih akrab Dalinya ketimbang Lorca sebenarnya).[2]
Seharusnya saya bertanya pada Timur, tapi nampaknya saya perlu urungkan itu karena saya tidak punya amunisi tentang Lorca, kecuali penggalan-penggalan sialan itu. Pada akhirnya, saya belokkan ke soal kekuatan sebuah kata. Tetap saja pada mulanya adalah Lorca. Karena dia adalah bukti nyata bahwa kata itu punya kekuatan. Puisi itu punya daya. Lorca sampai dibunuh gara-gara kata.
Kalau benar demikian, maka Lorca adalah bantahan buat saya. Bantahan pada pandangan cupet saya bahwa puisi hanyalah sekadar bermain-main kata. Puisi hanya kerjaan mereka yang suka bermanis-manis dengan kata dan kelewat ribet dan rewel. Sehingga yang esensial kerap terabaikan. Kata, atau puisi, adalah ada jurang dengan realitas.
Padahal, berpikir seperti itu sebenarnya terbilang goblok. Bukankah sebuah puisi, sebuah kata, tertulis atau terucap karena ada latar belakangnya? Sesuatu yang melatarbelakangi inilah yang kerap kita abaikan sehingga kita tak bisa menggapai sebuah kekuatan kata. Nah, mempelajari, mengotak-atik, menayangkal, mengapresiai inilah yang sebenarnya dibutuhkan di tengah keraguan kita akan kekuatan kata-kata.
Catatan ini akan saya lanjutkan. Saya harus bekerja. Tanpa kata?
Klampok, 08 November 2014


[1] Diskusi itu bertajuk “Membaca Puisi”. Membaca berarti memaknai, mendaras, menelaah, bukan sekadar mendeklamasikan atau membunyikan puisi, seperti penyempitan yang kerap terjadi. Diskusi ini membahas seberapa penting dan bermaknanyakah sebuah puisi bagi kehidupan? Diskusi mengundang Gol A Gong (penulis Balada si Roy), Anas AG (redaktur koran lokal), dan tentu saja Timur Budi Raja sendiri.  
[2] Saya belum ingat hingga catatan ini ditulis, dimana bahan-bahan itu saya baca dan kemudian simpan. Saya akui saya senang dengan kerja menyimpan berkas-berks penting tentang sastra. Tapi saking rapi dan amannya, saya sampai tidak bisa menjankaunya sendiri.  Yang jelas mereka adalah lembaran-lembaran suplemen sebuah majalah. Kalau tidak salah, Iqra’, sisipan Tempo.

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates