sdnblimbing3mlg.wordpress.com |
MALAM TADI saya bertemu dengan seorang perempuan tua yang kemalaman hendak pulang ke
Purwodadi. Kami berbincang cukup lama di terminal Rajekwesi. Dia seorang
pekerja rumah tangga yang membantu bersih-bersih, menata ruang, memasak,
cuci-cuci, dan menemani bermain anak-anak di sebuah keluarga kaya di Gresik.
Namanya Karmi. Dia sekitar 50an. Kerudungnya hijau muda yang
warnanya mulai mbulak. Wajahnya bulat dan sudah keriput. Matanya kecil dan
berwarna coklat. Bintik-bintik hitam tanda tua nampak jelas di pipinya yang
cekung. Dia memakai gelang karet warna hijau, kuning, dan merah. Sebelum pakai
arloji, saya juga pakai gelang seperti itu. Dia berangkat dari Gresik sehabis magrib. Naik bus jurusan Purwodadi
tetapi malah turun di terminal Bojonegoro. Seharusnya dia langsung, tanpa
turun. Tapi entahlah, namanya orang tua. Dia pulang karena cucunya mau sunat.
Sebenarnya saya mau ikut-ikutan sedih. Tapi dia sama sekali tidak menunjukkan
rasa kuatir, takut maupun sedih. Wajahnya dipulas senyum. Atau karena bibirnya yang lebar dan tipis ya?
Kami bertemu di sebuah warung di dalam terminal. Saya sedang menikmati minum
teh tawar. Dan dia menanyai saya terlebih dahulu. Gara-gara minuman saya itu.
Masih muda kok suka yang pahit-pahit. Saya jawab hidup saya memang pahit dan
dia tertawa. Kemudian kami ngobrol.
Dia memesan mie rebus dan memakannya dengan lahap. Saya
sampai kepingin. Dan apa boleh buat, saya juga pesan mie rebus. Kami juga sempat udur-uduran mbayari, kami sama-sama mengodos duwit. Seperti dengan kawan saja, akhirnya sepakat dia tidak mau dibayari. Saya bayar buat saya sendiri. Setelah itu
kami duduk-duduk di ruang tunggu dan cerita-cerita. Tidak dapat berduaan dengan
perempuan muda, tua juga tak apa lah.
Siapapun tentu was-was dan kasihan melihat ibu tua yang
sendirian di terminal. Saya tak tega meninggalkannya sendirian. Saya hendak
mengantarnya ke pertigaan terminal untuk menegat bus, karena bus jurusan
Purwodadi tidak masuk terminal. Tapi dia menolak. Dia ingin melanjutkan
perjalanan besok. Dia memang ingin transit di terminal. Sekedar melihat-lihat
luar setelah berhari-hari tidak keluar dari gedung tuannya yang besar.
Dia bertanya tentang pekerjaan saya dan saya jawab bahwa
saya tukang sablon. Dia bercerita bahwa anaknya yang pertama juga tukang sablon
tapi sekarang sudah meninggal. Dia meninggal karena sakit dalam. Anaknya
seorang peminum. Dan setelah itu dia cerita tentang keluarganya yang membuat
saya kaget.
Ibunya, kata Karmi, adalah anggota gerwani (Purwodadi memang salah satu basis kuat gerakan kaum merah saat itu).
Ibunya cantik, nyegit, cerewet, dan bisa bela diri. Ibunya meninggal saat dia
usia 16 tahun. Dia masih ingat bahwa keluarganya dikucilkan di masyarakat
desanya. Saya lupa desa mana itu. Bahkan
dia kerap melihat ibunya mendapat perlakuan tidak senonoh dari beberapa lelaki
desa. Keluarga mereka dianggap miring dan dicap buruk. Inilah yang membuat
Karmi menjadi apatis hidup di tengah masyarakat. Dia tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan desa dan aturan-aturan yang mengikat. Dia tidak ambil pusing sama sekali tidak masuk anggota jamaah tahlil. Dia juga sepakat dengan keluarganya agar menghindari jadi PNS.
Acara sunatan cucunya lusa
ini, tidak digelar walimah. Dia masih terbayang-bayang dengan acara
walimah kedua anaknya yang hanya dihadiri oleh beberapa warga. Bahkan modon
kampungpun tidak datang. Dia masih terluka akan hal itu. Apalagi anaknya. Karena
tidak nyaman di desa itulah Karmi memilih melancong ke luar kota. Meskipun
sekarang keadaan sudah berubah, Karmi masih belum bisa move on.
Sekarang Karmi sudah 15 tahun menjadi asisten rumah tangga di
sebuah keluarga kaya pengusaha plastik di sebuah kawasan di Gresik. Karmi bukan
orang lemah. Dia bicara dengan cekatan dan sebuah bara. Tentu bukan karena kekalahan
dan penindasan dia menjadi seorang pembantu. Eh, asisten rumah tangga.
Malam sudah laut. Saya mendekati warung makan di sudut
terminal. Saya bertanya apakah ada tempat buat tidur malam ini untuk Karmi. Dia
mempersilakan Karmi tidur di sebuah ruangan kosong warung itu.
Saya menyalami dia dan meninggalkannya. Saya ucapkan salam
dengan bahasa arab. “Assalamu Alaikum”.
Dia menjawab “salalomaulaikom”.
Selamat menikmati hidup, Karmi!
Klampok, 19 November 2014
02.08 WIB
Posting Komentar