sarbikita.blogspot.com |
BEBERAPA
pekan lalu, saya bertemu seorang kawan. Dia baru saja menjadi wartawan di
sebuah media lokal kota saya. Saya sering ngobrol dengan dia soal judul-judul
buku dan penulisnya.
Kali ini dia cerita tentang
pengalaman barunya dalam interviewnya di media lokal itu. Salah satu
pewawancara, kebetulan adalah juga kawan yang juga sering nyambung dengan saya
soal buku-buku. Dia mempunyai ratusan judul buku bagus di sebuah rumah baca
umum di tengah kota. Saat wawancara tiba pada sesi bicara apa saja, kawan saya
tadi bilang pada kawan saya bahwa dia pernah nyolong beberapa bukunya di rumah
baca itu. Dia mengatakan yang mengajak mencuri adalah saya.
Saya tercengang dan tiba-tiba teringat
dengan salah satu label sandang saya, pencuri buku. Ya, baik sekali kawan saya
itu. Dia membocorkan perbuatan jahat saya.
Saya mencuri buku pertama kali
saat masih duduk di bangku Aliyah. Awalnya masih malu-malu dan berdosa sekali
sebelum kemudian menemukan pendukung. Pendukung yang mengubah saya jadi merasa
bangga dan sakti.
Adalah saat itu saya membeli
buku remak dari skripsi Arif Budiman (saudaranya Soe Hok Gie) berjudul Chairil
Anwar, Sebuah Pertemuan. Buku itu tentang eksistensialisme dan pembacaan
terhadap beberapa puisi Chairil. Plus riwayat hidupnya. Tentang Chairil yang
suka minum, mlarat, sakit-sakitan, keras kepala, keluar masuk pelacuran,
sombong, dan nyolongan buku. Belakangan saya juga dengar informasi bahwa
Chairil nyolong buku karena meniru perbuatan Muhamad Yamin, sang pahlawan
negara itu. Karena Chairil saja nyolong, saya tak ada salahnya deh, pikir saya
dulu. Toh, siapa yang bakal sedih dan merasa kehilangan bukunya hilang.
Saya nyolong beberapa buku dari
perpustakaan sekolah saya. Buku itu bagus-bagus. 7 judul mungkin. Sekarang yang
tersisa 4 judul. Lainnya hilang.
Ternyata saya tidak sendirian.
Beberapa kawan juga demikian. Mereka bilang bahwa bisa nyolong buku itu
bangganya bukan main. Kala diceritakan ke beberapa kawan yang juga pecinta
buku, ternyata itu bisa jadi bahan obrolan yang asyik. Itu karena ternyata
nyolong buku jadi pengalaman yang hampir pasti pernah dilakukan oleh mereka.
Saya pernah mampir ke
perpustakaan Jogjakarta di jalan Malioboro. Dari sana saya pernah nggondol buku
jaring-jaring semiotika Umar Kayam karya Bakdi Soemanto, guru besar UGM yang
baru wafat bulan lalu itu. Gila, pepustakaan umum sekelas Jogja bisa
kecolongan. Maksudnya, apalagi Bojonegoro?
Maka wajar, di Bojonegoro, saya
berhasil menggondol Di Bawah Bendera Revolusinya Bung Karno yang sebesar bantal
itu. Saya melewati meja petugas dengan langkah dan sikap yang biasa saja sambil
menenteng buku itu, dan bablas tanpa hambatan. Saya yakin mereka juga tidak
merasa kehilangan.
Hingga saat ini, naluri untuk
nyolong buku masih ada dalam darah saya. Masih hangat. Ketika melihat buku
bagus dan tidak diperhatikan, saya seperti ingin mencurinya. Saya tetap akan
menurutinya kalu saja tidak teringat betapa susahnya sebuah buku itu bisa
terbit dan mawujud dalam bentuk yang bisa dipegang. Sebuah buku lahir tidak
sambil tidur. Orang bahkan bisa sampai mempertaruhkan nyawa dan kepemilikannya
yang paling berharga untuk menulis buku.
Saya kadang menitikkan air mata
(o, dampret) kala mengingat kebiasaan saya itu. Hingga sekarang sejak beberapa
tahun saya menempa diri ingin bisa menulis bagus dan ternyata belum juga
keturutan, saya terkadang berpikir ini adalah sebuah karma.
Oh My God!
Posting Komentar