Aku dan Lukisan



Aku dan Lukisan
mohamad tohir


KETIKA aku mengawali catatan ini, aku baru saja beranjak dari kediaman seorang pelukis ‘tua’ Bojonegoro bersama Nanang Fahrudin, guru membacaku. Sekarang aku sedang berada di sebuah warung kopi pinggir jalan  dengan akses internet sepenuh waktu. Adzan maghrib berkumandang malu-malu dan aku menyeruput kopiku yang baru saja tiba di meja. Hmmmmmh, sedaaaap!

van gogh
Pelukis tua itu bernama Handoko Sumahan. Ini adalah keempat kalinya aku bertandang ke rumahnya. Pertama kali bersama Fathoerochman Jacobs untuk wawancara Majalah Atas Angin, kedua bersama Sarwo M. Djantur, ketiga sendirian, dan bersama Nanang Fahrudin ini aku menemaninya untuk wawancara buletin blokBojonegoronya. Karena itu, tentu tidak aku catatkan di sini perbincangan sepanjang sore itu karena semua itu adalah bahan untuk tulisan media.
Yang ingin aku catat tentu saja apa yang tidak bakal muncul di buletin yang dipimpin Nanang Fahrudin itu. Yang ingin aku catat adalah berkaitan pandanganku tentang lukisan. Hanya saja, membincang dunia lukisan dan aku adalah orang Bojonegoro, maka kurang afdhol jika tidak menyebut nama Handoko Sumahan. Dia pelukis tua di Bojonegoro yang sekarang tidak nampak di permukaan. Dia seorang katolik yang taat dan kini menjabat sebagai pimpinan dewan paroki. Oleh orang, Handoko Sumahan ini disebut sebagai pelukis bangau.
Saat mendengarkan mereka bicarapun, aku lebih banyak melamun dan kadang-kadang mengiyakan sambil menyebut tokoh-tokoh rupa sehapalku seperti SH. Mintardja, Man Daman, Teguh Santosa, dll.
Dalam lamunanku aku berpikir mengapa bisa mengenal pelukis dan kadang berbincang soal lukisan? Kalau aku renungi ternyata aku betul-betul tidak mendalam soal itu.
Aku bukan perupa dan tidak paham detil mengenai lukisan sebenarnya. Aku tidak mampu membaca lukisan dengan benar dan baik meskipun aku suka memancang lama-lama sebuah lukisan pada kanvas dan menciumi bau catnya dan mengagumi bingkai besarnya dan mengandaikan diri suatu saat bisa menggoreskan tinta di kanvas meskipun ngawur. Hanya sebatas itu saja aku mampu membaca sebuah lukisan, baru menengok. Aku tidak pernah faham sebuah lukisan itu bergaya apa dan jenis catnya dari apa dan mengandung pesan apa. Ujung-ujungnya, aku terpaksa mencari filosofi di balik sebuah lukisan yang terselip di sela-sela goresan.
Pertama kali aku suka berdiam diri memandangi lukisan berlama-lama adalah selepas aku membaca novel tebal Dan Brown berjudul The Da Vinci Code. Novel itu membaca  tuntas sebuah lukisan besar mahakarya Leonardo Da Vinci. Aku takjub saat itu dan merasa ada sensasi yang nikmat begitu menyebut kata The Last Supper, The Monalisa, Madonna Of The Rocks, dan The Vitruvian Man. Aku tak habis pikir sebelumnya bahwa sebuah lukisan menyimpan sebuah rahasia penting yang bakal bikin geger kalau diungkap ke publik.
Selepas itu aku mulai sedikit demi sedikit menghafalkan nama-nama tokoh senirupa dan seniman besar dan mulai bersinggungan dengan para senimannya secara langsung. Agak konyol ketika mereka memintaku mengomentari karya dan serta merta aku akan bilang tanpa pertimbangan yang matang bahwa lukisan meraka; menakutkan, lukisan yang membuatku teringat dengan seorang perempuan nun jauh di sana, indah sekali warnanya tapi aku tidak suka perpaduan warna seperti itu, goresan yang benar-benar lembut dan butuh tenaga ekstra dan berlama-lama, mengandung daya magis yang membuat orang merinding, menggugah perasaan, membuat diri seakan ikut terlibat dalam peristiwa yang dilukis, dan seterusnya.
Kadang-kadang aku merasa berdosa kepada teman-teman pelukis itu karena berlagak mengerti dan berkomentar yang bukan-bukan. Aku berlagak dekat dan hafal betul dengan karya Van Gogh, pelukis yang gila dan mengiris kupingnya. Apalagi bila berhadapan dengan pelukis yang bodoh-bodoh yang tidak mengerti para pendahulunya. Dengan menyandingkan karya lukisan mereka dengan karya-karya Pablo Picasso, Monet, Salvador Dali, dan lain-lain aku merasa berhasil membuat diri terkesan pandai.
Begitulah aku terhadap lukisan-lukisan yang ternyata begitu cekak sekali. Hanya saja aku benar-benar tak rela bila sebuah lukisan itu dipandang remeh meskipun itu adalah sebatas gambar seorang bocah TK dengan media crayon atau pastel. Setiap kali aku bersua dengan anak-anak mereka begitu mudah dekat dan menyukaiku adalah bersar kemungkinan karena aku suka gambar seperti kebanyakan mereka.

Bojonegoro, 29 Januari 2014
[18.07-1915 WIB]

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates