oleh mohamad tohir
Berikut ini adalah cerita pendek saya yang dimuat di media massa
lokal yang
saya selalu malu kalau membacanya sekarang.
Dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro, 5 Agustus 2012.
saya selalu malu kalau membacanya sekarang.
Dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro, 5 Agustus 2012.
foto di "warung semok" |
SEMILIR angin bengawan solo mengelus-elus pori-pori
kulitku. Sebentar lagi senja.
Aku menyukai senja. Apakah semua
orang menyukainya juga sepertiku? Dulu ada seseorang yang entah karena saking
sukanya sampai-sampai memotong senja untuk diberikan pada pacarnya.[2]
Tapi itu hanya ada dalam cerita fiksi belaka yang diceritakan oleh seorang
laki-laki padaku. Coba kalau betul-betul terjadi, pasti asyik sekali. Orang
pasti gempar dan panik karena bagian dunia ini terasa ada yang hilang. Termasuk
aku mungkin, yang akan menangisi kebolongan langit karena senjanya hilang dan
aku hanya mampu duduk melongo.
Sebuah koran lokal di kotaku juga
pernah memberitakan tentang bupatiku yang pernah suatu hari duduk sendirian di
tepi bengawan ini sambil menikmati senja. Tak jelas apa maksudnya. Mungkin saja
ia sedang dalam puncak romatisme karena habis dicium istrinya. Atau mungkin
saja ia hendak mencipta sebuah puisi yang akan dipersembahkannya pada rakyat
dan kotanya lusa.[3] Entahlah. Bupatiku romatis
sekali ya? Aku sempat mengandai-ngandai menjadi istri keduanya. Bukan karena
aku kemaruk ingin dekat dengan pejabat dan segala macam kehormatan. Aku
suka lelaki yang menyukai senja. Itu saja. Aku menyukainya sambil membayangkan
ia memotongkan senja untukku lalu ia bilang sayang padaku. Buku yang sedang
kupegang pasti akan terjatuh dan basah oleh air yang menggenang di tanah
berpasir. Tentu aku akan langsung menangis haru lalu memeluknya erat dan
menciumi matanya. Entah mengapa aku suka sekali dengan mata lelaki itu. Mata
yang meyimpan senja. Menyimpan keteduhan, kebijaksanaan, dan ketenangan. Ya,
senja itu keteduhan, kebijaksanaan, kelembutan dan ketenangan yang tak mudah
diombang-ambingkan oleh badai.
Tepian sungai terpanjang se-Jawa
itu menyisakan tanah berpasir yang cukup luas dan panjang di musim kemarau ini.
Tanah berpasir itu berwarna kuning kusam agak keputih-putihan menyerupai pasir
pantai. Di situlah aku menginjakkan kakiku yang telanjang. Aku bisa berdiri
lama-lama, jingkrak-jingkrak, atau hanya duduk saja sambil tersenyum sendiri
atau bahkan menangis di depan senja. Saat senja tiba, ketika sunsite
menunjukkan wajahnya di langit barat, keindahan alam begitu menyejukkan mata
yang memandangnya.
Sebentar lagi senja. Aku tak lagi
bisa menikmati deret kata-kata dalam buku yang tengah kupegang. Tentu membaca
dan menikmati senja lebih seru dan menimbulkan lebih banyak pengharapan.
Kumasukkan bukuku dalam tas cangklongku. Aku jadi teringat kata-kata Raja
Melkisedek kepada seorang anak gembala bernama Santiago;”Kalau kau mendamba
sesuatu, alam semesta bekerja sama membantumu memperolehnya”. [4]
Seperti saat ini, aku sedang
mendamba sebuah kenangan dan senja pasti akan membentuku memperolehnya. Dulu,
dulu sekali, lelakiku sering mengajakku ke sini menikmati senja. Kami memang
selalu menghabiskan waktu pacaran di tempat-tempat sepi. Bukannya dengan begitu
kami akan bebas mau apa saja. Itu hanya karena lakiku tak punya banyak uang
semantara aku suka sekali minta ini minta itu. Sejak kecil aku suka sekali
mencegat penjaja camilan yang lewat dengan gerobaknya di depanku.
Di tepi bengawan solo ini aku
terduduk dan sepi sekali. Tak perlu rebutan untuk memotong senja kalau memang
senja dapat dipotong. Kepak sayap burung dali di atas air akan tertangkap
selalu oleh mata. Ia terbang ke utara cepat sekali, mengepakkan sayap, lalu ke
barat, mengepakkan sayap lagi, ke timur, mengapak lagi lalu menukik ke bawah
mencomot entah apa di permukaan air yang berwarna keemasan karena pantulan
sunsite.
Lakiku. Pacarku. Gantengku.
Sayangku. Lakiku yang matanya menyimpan senja. Aku hanya bisa mengingatmu. Aku
tak bisa lagi menjamahmu meski hanya sekadar aroma tubuhmu yang kadang agak bau
itu. Bau keringat lelaki, tentu saja lakiku, bukanlah aroma yang kemudian
membuatku menutup hidung dan memalingkan muka atau bahkan sampai muntah-muntah.
Aku sering berkhayal kalau kami menikah nanti, aku akan selalu menyambutnya
tiap kali pulang kerja dengan mengusapkan telapak tanganku untuk mengeringkan
keringat di sekujur tubuhnya atau kalau perlu dengan pipiku, sebelum nantinya
mandi air hangat yang telah kupersiapkan juga. Dulu ibuku juga demikian saat
awal-awal menikah dengan ayah, meski hanya mampu bertahan dua minggu saja.
Lakiku, gantengku, sayangku itu
selalu bercerita tentang banyak hal padaku. Juga tentang lelaki yang memotong
senja tadi, dia yang cerita. Lelaki yang entah sinting atau apa memotong senja
untuk diberikan pada pacarnya yang cantik, yang manis, yang tercinta, yang
paling manis dan sendu. Ia bahkan harus menjadi buronan paling dicari karena
mencuri senja. Hingga ia lari dan sembunyi masuk ke gorong-gorong yang airnya
bau sekali. Aku teringat dengan aroma tubuh lakiku yang kadang bau itu. Apakah
ia juga habis memotong senja?
“Siapakah perempuan itu lakiku?”
aku akan bertanya begitu.
“Tentu saja yang cantik, yang
manis, yang tercinta, yang paling manis dan sendu itu adalah kau. Dan lelaki
sinting itu adalah aku”, jawab lakiku lantas tertawa yang akan kusambut dengan
senyum dan degup dada yang kencang. Lalu aku merangkulnya dan kucium matanya.
Mata yang menyimpan senja.
Dia juga akan bercerita tentang
sebuah kota yang indah sekali. Sebuah kota yang damai, indah, tenang, makmur
dan merdeka seratus persen. Kekayaan buminya tidak dieksploitasi secara
serampangan oleh orang asing, manusianya tak ada yang terlampau kaya tapi tak
ada pula yang amat miskin, banyak wisata alamnya, ah… lengkap dan teramat indah
sekali, aku sampai lupa. Aku lupa menanyakan nama kota itu. Namun sekarang aku
tak lagi punya hasrat untuk bertanya karena semua gambaran itu hanya bualan dan
ilusi saja. Kotaku bertolak belakang dengan itu semua. Kotaku hampir saja
hancur oleh kekayaan alam yang menjadi rebutan semua orang. Orang-orang asing
telah berjubel di kotaku. Perlahan-lahan mereka mengikis sedikit demi sedikit
penghuni kota yang asli. Juga memacari perempuan-perempuan dan lelaki kami.
Kami yang punya mata yang menyimpan senja perlahan-lahan redup dan ‘pett’…
mati. Tapi sumpah, mereka ganteng-ganteng. Tadi siang aku habis jalan dengan
seorang lelaki ganteng yang namanya sulit sekali dieja, lidahku sampai geli.
Tapi aku tetap saja tak suka. Matanya tak menyimpan senja sama sekali. Matanya
menyimpan biru laut yang seakan mau menggulung dan menenggelamkanku.
Lakiku yang matanya menyimpan
senja itu, aku tak tahu lagi dimana sekarang. Terakhir kali bersama, aku
melihat senja di matanya tak lagi utuh. Sebelumnya aku pernah melihatnya duduk
berhadap-hadapan di sebuah warung makan di kota dengan seorang perempuan
bermata biru. Uh, aku benci dengan mata yang biru. Mata yang menyimpan laut
yang seakan mau menggulung dan menenggelamkanku. Perempuan-perempuan bermata
biru itu kini telah memenuhi kotaku, terselip di lembaran-lembaran majalah, bungkus
sabun, dan pamflet-pamflet kontes wanita paling cantik.
Di kota itu, kata lakiku yang
matanya menyimpan senja itu, ada sepasang kekasih yang suka duduk di tepi
sungai. Mereka biasa bercerita tentang para kesatria pasca Baratayudha. Lakiku
bilang, sama seperti lelaki sepasang kekasih itu, tak suka dengan Prabu
Yudhistira yang ternyata menjadi sosok yang fasis dan tuli pada suara
rakyatnya. Yudhistira juga telah berkhianat pada ikatan cintanya dengan Drupadi
yang cantik. Sampai-sampai pada suatu malam, Drupadi dengan hatinya yang remuk
redam berkata pada adik iparnya yang tak berhasil melipur laranya;”Aku sudah
tak bisa lagi membedakan baik dan buruk. Untuk siapakah kebaikan dan bagi
siapakah keburukan? Aku sudah buta, tuli, dan bisu. Mataku tak dapat
menyaksikan apa yang disebut kebaikan, telingaku tak dapat mendengar keindahan,
dan mulutku tak mampu mengucapkan kemuliaan”. [5] Aku menghela nafas. Kata-kata
Drupadi yang penuh kekecewaan dan frustasi cukup akut itu menusuk-nusuk
kalbuku.
Lakiku juga membenci Arjuna yang
katanya juga sama, suka kawin dan mengumpulkan banyak istri. Aku juga terkejut,
padahal sebelumnya aku menganggap lakiku itu, lakiku yang matanya menyimpan
senja, seperti seorang Arjuna yang gagah dan ganteng itu.
“Mata Arjuna tak menyimpan
senja?” Tanyaku pada lakiku.
“Kau benar”, jawabnya sambil
terus bercerita. Sepasang kekasih itu begitu menikmati menjadi dirinya sendiri
tanpa pernah berandai-andai menjadi tokoh-tokoh yang diagungkan dalam
dongeng-dongeng. Mereka sama-sama mempunyai mata yang menyimpan senja. Di kota
itu tak ada keinginan. Aku bingung apa maksudnya.
“Keinginan bukan lagi keinginan
ketika apa yang diingini sudah pasti terwujud”. Jawabannya ini agak melegakanku
dan membuatku tetap menyukai kotaku yang seperti mau hancur ini. Aku menyukai
kerja keras. Apa jadinya jika tak ada keinginan? Yang laki-laki suka sekali dengan
kopi, lanjut lakiku, kemudian yang wanita mengempit tangannya di balik
ketiaknya. Lalu sebentar kemudian di tangannya sudah ada secangkir kopi panas. [6]
“Secangkir kopi muncul dari
ketiak? Bagaimana aromanya” Tanyaku heran.
“Iya. Memangnya ketiakmu bau ya?”
Ia balik tanya. Aku jadi kesal dan malu.
“Ajaib ya?”
“Kau tidak percaya?
“Tidak”
“Contohnya?” Aku mengejarnya
terus.
“Kapal selam pertama yang
diciptakan oleh Amerika, jauh sebelumnya, beberapa abad lalu, sudah ada dalam imajinasi seorang Julis
Verne. [8] Saat itu Verne menulis sebuah
novel, ingat, hanya novel… tentang petualangan di bawah laut dengan sebuah
kapal yang sebelumnya belum terlintas dalam benak manusia. Verne sendiri tak
tahu bahwa kapal seperti bakal ada pada zaman setelahnya”.
Kurangkul dan kucium matanya.
****
Senja yang kunanti-nanti akhirnya
tiba juga. Sunsite yang luar biasa indah itu terpampang di depan mata dan bias
keemasannya terasa menerobos ke dalam dadaku. Hari telah tua dan akan menemui
titik tengahnya, antara hidup dan mati. Malam, sebenarnya bukan lagi hari, kata
lakiku suatu kali.
Kupejamkan mataku. Aku sendirian
menjemput datangnya senja. Kecopak ikan yang melompat-lompat di permukaan air
terdengar lamat-lamat di telingaku. Kurentangkan tanganku. Sambil terpejam aku
menegadah ke langit. Tuhan, kekamian ini agaknya hanya terlantun dalam nyayian
di atas bumi yang gerhana, berdentum kesis-siaan sepi, padahal camar-camar
bersungguh menjilat pantai. [9]
Kubuka kedua mataku, ujungnya
terasa hangat. Tubuhku bergetar lalu terduduk. Buliran air menetes deras
melewati pipi dan jatuh ke tanah berpasir. Beberapa ekor serangga air mendekati
lututku, menanti jatuhnya air mataku di dahi atau mulutnya.
Lakiku, gantengku, sayangku.
Apakah senja masih tersimpan di matamu barang sedikit saja? Kalau masih aku
akan selalu menunggumu. Apakah kamu masih bersama perempuan bermata biru itu?
Apakah senja di matamu juga telah berganti biru laut yang serasa ingin
menggulung dan menenggelamkan itu? Apakah aku boleh memotong senja untuk
kutaruh di matamu agar kembali seperti sedia kala?
Huft, senja mulai pamit. Suara
adzan maghrib bergema di sebujur langit yang masih menyisakan keemasan milik
senja. Kuusap pipiku yang terasa pliket oleh sisa air mata. Kurasakan pipiku
yang tak lagi selembut dahulu, dulu sekali, saat aku mengimpikan menyeka
keringat lelaki yang matanya menyimpan senja itu. Beberapa teguk air mineral
membasahi kerongkonganku yang sedari pagi terasa kering.
Suatu Senja Di TBS,
untuk seorang perempuan paruh
baya yang sedang duduk termangu
22 Juli 2012
Catatan :
[1]Epigon dari judul novel penulis ternama kebangsaan Brazil,
Paulo Coelho; Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.
[2] Dalam cerita romantis Seno Gumira Ajidrama, Sepotong
Senja Untuk Pacarku.
[3] Ada seorang bupati yang suka nulis puisi. Tentu saja dia
adalah bupatiku. Tak semua puisinya yang kusuka. Kenapa jauh sekali dengan
puisi-puisi Joko Pinurbo atau bahkan Rendra ya?
[4] Dikutip dari The Alchemist oleh Coelho sendiri
untuk catatan pembuka dalam bukunya yang lain, The Five Mountain.
[5] Sebuah kisah apik pewayangan pasca Baratayudha dalam novel
karya Yanusa Nugroho berjudul Manyura.
[6] Tentang perempuan yang mengeluarkan kopi dari ketiaknya
ini ada dalam cerpen saya yang belum terpublikasi, Perempuan Yang Membaca
Novel Tanpa Kata-Kata
[7] Kata-kata Coelho dalam Seperti Sungai Yang Mengalir
[8] Novel karya Julis Verne berjudul Berkeliling Dunia di
Bawah Laut, menceritakan tentang petualangan di bawah laut yang seru dengan
menggunakan sebuah kapal selam bernama Nautilus. Kapal selam pertamakali di
dunia yang dibuat oleh Amerika juga menggunakan nama itu.
[9] Dikutip dari sajak Zawawi Imron, Do’a atau Sajak
Posting Komentar