Dewi



mohamad tohir


NAMANYA Dewi. Dia cantik, bersih, dan gemuk. Saya ingin menjawil pipinya tapi belum kesampaian. Dia tak pernah membalas panggilan saya.

Saya ingin menulis soal kucing, binatang yang katanya paling disukai Nabi saw. Salah satu sahabat Nabi berjuluk Abu Hurairah – ayah/pelindung kucing, disebabkan ia begitu gandrung pada kucing. Satu waktu dia sedang menggembalakan kambing dan melihat kucing sendirian di tengah padang. Dia mengambilnya dan memasukkannya dalam karung. Abu Hurairah dikenal sebagai salah satu periwayat hadits paling banyak.
Saya pernah memiliki sebuah buku yang berisi cerita tentang kucing, judulnya saya lupa (font judul pada kulit buku sulit dieja) terbitan Gramedia. Buku itu sekarang entah di mana, padahal saya belum tuntas membacanya. Saya membeli buku itu karena saya menyukai kucing. Gambar kulitnya membuat saya tersenyum, seekor kucing yang memelototi capung. Satu kakinya terangkat.
Entah mengapa, ada rasa adem dalam dada saat memandangi kucing. Bagi saya, kucing adalah peredam rasa benci dan marah. Saya pernah membuat cerpen tentang kucing berjudul Kucing Mbah Sayyidun, tapi tak rampung.

Pengalaman pertama saya dengan kucing bermula ketika saya sunat dulu. Sebelumnya saya tak pernah suka kucing. Saat itu saya disunat dan tiap hari harus pakai sarung hingga luka kering, sampai kira-kira tujuh hari. Dalam masa-masa penantian itulah, muncul seekor kucing belang telon yang selalu mengendus-endus di kaki saya. Tak ada yang tahu darimana asalnya dan milik siapa kucing itu. Kucing itu lengket dengan saya. Tidur di kaki saya dan kadang naik di dada saya. Saya membiarkannya. Setelah sembuh, saya memeliharanya.
Kucing itu adalah kucing yang riang dan suka bermain. Dia selalu menggigit saat saya tempelkan jari saya di bibir atau kumisnya. Dia tidak menggigit betulan atau melukai. Dia hanya main-main. Dia menggigit dengan muka yang melucu.
Saya rutin memandikan kucing itu meski selalu kasihan melihat dia basah kuyup. Saya tak suka melihat dia kotor penuh debu atau angus. Dia benar-benarkucing yang cantik. Hanya saja, saya sering menjahilinya. Saya sering memukul kepalanya dengan tangan, menjewernya, memaksanya menelan makanan jika tak mau makan. Saya pernah memberinya sambal dan garam hingga keluar busa dari mulutnya. Tapi kucing itu tak pernah marah. Dia masih lengket pada saya.
Pendidikan menengah saya adalah di lingkup di pesantren, yang mengharuskan saya jauh dari rumah. Tentu pula saya berpisah dengan kucing saya. Seminggu meninggalkan rumah, saya kangen dan sering menangis. Saya tak malu berterus terang. Masa bodoh! Saya rasa semua teman-teman juga menangis. Tapi saya menangis bukan karena kangen pada ayah dan ibu saya. Saya masih ingat, dalam surat yang saya kirim pada kakak saya, saya menanyakan kabar kucing saya. Empat bulan kemudian saya pulang dan saya tak mendapati kucing saya. Kata ibu, kucing saya hilang.

Di pesantren, saya juga bertemu dengan kucing yang selalu mengikuti saya. Malam hari saat istirahat, kerap ia datang dan ngusel di ketiak atau di atas dada saya. Tapi bukan saya saja yang suka kucing ternyata. Banyak yang suka. Dan saya merasa terganggu. Entah mengapa, saat kucing itu bermain-main dengan teman lain, saya merasa tidak suka. Saya merasa kucing itu hanya dekat dan suka dengan saya, ternyata tidak. Tapi saat saya memanggilnya, kucing itu pasti menoleh dan mengeong. Kucing itu, oleh teman-teman, entah siapa, diberi nama Paijo. “Jo, Jo, mrene, Jo!” kucing itu pasti mengeong.
Seminggu lalu, kawan dan guru saya, Nanang Fahrudin, mengalami kejadian aneh. Dalam perjalanan berangkat ke kantor tempat dia bekerja sebagai jurnalis, dia melihat kucing yang menyeberang di tengah jalan. Kucing itu hampir ketabrak, masuk di sela-sela ban. Nanang Fahrudin sampai terhenti dan merasa kasihan. Melanjutkan perjalanan, belum sampai jauh, ddia melihat lagi kucing menyeberang. Dia agak berang, teganya orang membuang kucing di tengah jalan!

Malamnya, saya bertandang ke rumah seorang teman yang tukang sablon. Dia juga mempunya kucing, tiga ekor. Kucingnya gemuk-gemuk dan bersih. Mereka punya nama. Salah satunya bernama Dewi. Yang dua saya lupa (Rosa dan Tackur, mungkin).
Saya memanggil yang bernama Dewi. Dia cantik dan gemuk sekali. Sayang dia kurang agresif sehingga tidak begitu enak diajak bergurau. Dia tak menyahut saat saya panggil. Pemiliknya bilang, begitulah si Dewi kalau belum kenal. Saya suka bermain-main dengan kucing.
Saya pernah sekali melihat kucing sekarat (sebulanan yang lalu). Lehernya hampir putus dan darah keluar deras. Dia masih bergerak-gerak dengan tubuh telentang. Keempat kakinya yang terangkat ke atas bergerak-gerak seperti mencari pijakan. Saya hanya bisa melihatnya tanpa berkedip. Bayangan kucing mati itu terngiang-ngiang hingga sekitar empat hari. Dia kucing yang masih kecil dan lucu. Bulunya bagus, berwarna hitam dan putih, dan wajahnya juga bersih dengan warna hitam sebesar jempol tangan saya di atas matanya.

***
Teringat buku saya yang lenyap tadi, saya searching di internet dan menemukannya. Buku itu berjudul Cat Stories karya James Herriot, berisi 11 cerita tentang kucing. Saya hanya ingat beberapa cerita saja. Toh belum semua cerita saya baca.


Saat menonton sepak bola tadi malam, Chelsea vs Southampton, saya teringat buku itu. Ingatan saya muncul tiba-tiba saat melihat pemain baru, masih muda dan segar, bernama Oscar. Dia mencetak gol terakhir dan melangkapi kemenangan. Nah, salah satu kucing dalam buku cerita itu bernama Oscar.
Kucing bernama Oscar itu terdapat dalam sebuah cerita berjudul Kucing Sosial. Itu cerita pertama yang say abaca karena membuat penasaran. Oscar adalah seekor kucing yang hampir sekarat saat ditemukan oleh Herriot, seorang dokter hewan, penulis buku itu. Tubuhnya penuh luka. Kucing itu dibersihkan, dijahit lukanya, dioprasi, diberi makan makanan bergizi, diperlakukan bak manusia. Kucing itu sembuh dan diberi nama Oscar. Setelah sehat dan Herriot begitu senang dengan Oscar –kucing itu bersih, menggemaskan dan gemuk, tiba-tiba kucing itu menghilang. Dicari dimana-mana tidak ada. Oscar pergi tanpa permisi. Herriot sedih sekali. Malam harinya, seorang pastor datang ke rumah dan menggendong kucing. Pastor mengetahui kucing itu milik Herriot lalu membawanya pulang. Pastor bercerita, kucing itu duduk di kursi di gereja yang sedang menyelenggarakan Pertemuan. Kucing itu seperti mendengarkan dengan cermat sampai selesai. Pastor tertarik dan bermaksud mengantar kucing itu pulang.
Ternyata kucing itu memang tidak kabur, malainkan bepergian. Oacar mengunjungi acara perkumpulan dan pertemuan, pertandingan balap, dan lain-lain. Oscar juga bisa menyeberang jalan raya. Ia tengok kanan kiri layaknya manusia.
Suatu hari, pemilik kucing itu datang ke rumah dan menanyakan apakah ada kucing yang suka berkunjung ditemukan oleh Herriot? Kucing itu akhirnya dibawa pulang oleh pemilik aslinya. Kucing itu bernama Tiger sebenarnya.
Cerita lain adalah tentang kucing hadiah natal. Seekor kucing selalu datang di dekat perapian sebuah keluarga, sebut saja Ibu Wulang. Kucing itu bukan miliknya. Kucing itu datang di rumah Ibu Wulang dua atau tiga kali seminggu. Dia menyelinap masuk dan duduk-duduk saja di dekat perapian dan tak pernah biacara apa-apa. Ibu Wulang memeberinya makan kadang-kadang. Setelah makan biasanya langsung pergi. Begitulah pada intinya, kucing itu menyelinap, duduk di dekat perapian lalu pulang entah kemana.
Saat malam natal, kucing itu mengejutkan Ibu Wulang. Kucing itu berbaring tak bergerak di dekat perapian. Dia menyelinap sambil menggigit kucing kecil lalu meletakkannya di lantai dekat perapian dan dia langsung  berbaring tak bergerak. Ibu Wulang mendatangi Herriot dan kucing itu diobati. Kucing itu sakit parah, tumor ganas, dan sedang koma. Kucing itu akhirnya mati.
Sejak saat itu Ibu Wulang memelihara anak kucing yang dibawa kucing tadi. Dia dirawat sampai besar. Kucing itu punya keanehan. Kucing itu suka bermain-main. Saat sebuah bola kecil dilemparkan oleh Ibu Wulang, si kucing akan mengejarnya, mengggit, lalu mengembalikan bola itu pada Ibu Wulang untuk dilemparkan kembali dan diambil lagi dan dilemparkan kembali tanpa pernah kucing bosan dan lelah.
Kata Dr. Herriot, kucing itu adalah kucing penangkap.


Sayang sekali buku itu hilang. Cat Stories adalah buku yang manis. Saya dapat merasakan sentuhan bulu-bulu halus seekor kucing. Kucing adalah satu-satunya hewan yang paling mudah bermain-main dan dekat dengan manusia. Berbeda sekali dengan sapi, kambing, ayam, atau kodok. Mereka tak pernah bisa nyambung dengan manusia.
Kucing, oh, kucing…!

Bojonegoro, 2 Januari 2014


Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates