Oh, Sekolah Alam



Catatan I


mohamad tohir

HARI MINGGU lalu, aku turut serta Sekolah Alam di Klampok, kampung kelahiranku. Klampok adalah nama kampungku yang ketjil dan terpencil. Di Klampok tidak ada sekolah formal untuk anak-anaknya sebagaimana kampung-kampung lain. Kita harus ke kampung sebelah kalau sekolah.
Bule, nama lakab, adalah pimpinan Karang Taruna kampung Klampok. Dia lincah, banyak ide, enak berbicara tanpa minus argumentasi, bersemangat, dan berwajah sumringah. Dia yang menggagas Sekolah Alam. Aku tidak bertanya mengapa dia punya gagasan itu. Apapun alasannya, bagiku itu suatu nilai plus. Yang pasti Sekolah Alam telah berdiri, anak-anak kampung kami bersemangat turut serta –bermain dan belajar, dan kami punya mimpi manis ke depan.
Aku tidak begitu tahu mengapa namanya Sekolah Alam. Aku hanya mampu membaca dan menafsirinya sendiri, bahwa alam adalah media bebas dan murni. Kelestarian alam tergantung manusianya sebagai pengelola yang dipasrahi oleh Tuhan sebagai pencipta. Dengan Sekolah Alam ini diharapkan anak-anak mampu mengakrabi alamnya sebab alam adalah media langsung yang disentuh dan diselami oleh setiap manusia. Sekolah yang identik dengan kelas-kelas dan bangunan sekolahan kadang membuat peserta didik jadi asing dengan alamnya. Seperti kata Rendra dalam Sajak Seonggok Jagung; apa guna pendidikan jika membuat orang jadi asing dengan dunianya? Mungkin begitu.
Aku jadi teringat dengan Kampung Kalibening di Salatiga. Ada Qaryah Thayyibah di sana, sebuah pendidikan alternatif di mana pada alamlah sistem pendidikan itu ditambatkan. Qaryah Thayyibah adalah wujud pendidikan alternatif yang menyenangkan dan berbasis pada bakat. Aku ingin mengartikan alam sebagai bakat yang mana bakat adalah blueprint dari Pencipta. Kemarin aku bertemu dengan seorang pendidik di sebuah lembaga pesantren di kidul Kota Bojonegoro. Dia pernah berjumpa dengan Bahruddin, penggagas Qaryah Thayyibah. Satu hal yang diingat oleh pendidik itu adalah apa yang dibilang oleh Bahruddin bahwa, menyitir hadits Nabi Muhammad, bahwa tiap bayi terlahir dengan fitrah dan tergantung orangtuanyalah fitrah itu terjaga. Fitrah tidak diartikan sebagai kertas yang masih mulus belum tercoret apa-apa. Fitrah adalah potensi pribadi dari Sono. Pengelolaan fitrah yang tidak tepat bisa menghambat tumbuhkembang tiap pribadi bahkan merusaknya. Maka, pendidikan –yang bertugas meningkatkan kualitas hidup manusia, bagaimanapun juga, harus berdasarkan pada fitrah atau potensi pribadi itu. Seorang yang fitrahnya adalah sebagai pengusaha harus diarahkan dan dikelola ke sana, bukan dibelokkan menjadi petinju, mudahnya demikian. Paulo Coelho, pengarang asal Brazil itu, menyebutnya sebagai Legenda Pribadi. Tugas manusia hidup di dunia adalah menemukan Legenda Pribadi untuk kemudian dikelola.
 Aku juga teringat dengan Paulo Freire, dimana dialah kiblat Bahruddin mendirikan Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah. Freire terkenal dengan adagium Pendidikan yang Membebaskan. Pendidikan yang mulia cita-citanya itu, di lain pihak ternyata menjadi penjara bagai kreativitas dan pribadi. Ada yang keliru di sana pastinya. Kekeliruan itu, menurut Freire, bukan pada cita-cita pendidikannya, melainkan pada sekolah atau lembaga pelaksana pendidikannya. Harus ada terobosan yang tidak dikungkung oleh sekat-sekat dan belenggu sekolah untuk memecahkannya.
Atau barangkali Sekolah Alam Kampung Klampok adalah sebuah tangan panjang dari Ivan Illich yang terkenal dengan adagium Deschoolingnya, yakni masyarakat tanpa sekolah. Pandangan Illich, sederhananya, masyarakat tidak butuh lembaga sekolah untuk belajar dan berkembang. Alam sekitar dan lingkungan telah terbuka bebas untuk dipelajari secara bebas pula tanpa harus masuk dalam lembaga sekolah yang justru mereduksi kesempatan itu. Illich bilang demikian pada decade 70-an, seperti melontarkan ramalan. Sekarang kita bisa menengok sendiri, betapa orang ingin tahu dan mengerti apapun bisa dengan sangat mudah dan cepat sekali. Masih butuhkah kita dengan sekolah?
Atau entah bagaimana?

Bojonegoro, 29 Januari 2014
  

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates