Oleh Mohamad Tohir
Momen Hari Kartini, tentu saja bahasan yang
paling etis adalah tentang perempuan dan pernik-pernik yang menghiasinya.
Baiklah, kita ambil saja sosok perempuan yang satu ini. Ratna Indraswari Ibrahim (kompasiana.com) |
Judul di atas
adalah nama perempuan yang saya maksud. Indah bukan? Sepintas mendengar namanya,
atau Anda yang pernah membaca cerpen-cerpen cantiknya yang beterbaran di media
atau yang sudah berupa antologi, saya yakin yang muncul dalam benak adalah si
penulis merupakan sosok perempuan yang cantik, pinter, dan masuk golongan orang
have. Tapi itu sangat kontras ketika kita bertemu langsung dengan Mbak Ratna
sendiri, seakan asumsi itu berbalik 90 derajat menyalahkan.
Jadi, cerpenis produktif kondang asal Malang itu adalah perempuan
yang tak pernah merasakan bagaimana menjadi perempuan umumnya yang memiliki
kecantikan dan kelebihan lainnya untuk bisa dibanggakan. Sejak umur 10 tahun,
di mana seharusnya ia bisa mengikuti temen-teman sebayanya merasakan bahagianya
mengoptimalkan usia produktif, tangan dan kakinya tiba-tiba mengalami
penyusutan yang mengharuskan Mbak Ratna selalu ditemani kursi roda kemanapun ia
pergi. Bahkan penglihatan dan mulutnyapun tak berfungsi dengan baik. Suatu
kondisi yang sekaligus menutup celah dan peluang setiap orang untuk berani
menambatkan mimpi setinggi-tingginya. Apalah yang bisa diharapkan dari seorang
perempuan yang cacat fisik? Bahkan mungkin, untuk suka pada lelakipun,
seseorang dengan kondisi demikian harus pikir-pikir ratusan kali. Itulah yang
terjadi pada Ratna.
Saya bertemu Mbak Ratna saat masih duduk di bangku Aliyah kelas dua dulu,
itupun tak langsung, melainkan lewat cerpennya yang kupungut dari pinggir
jalan, berjudul Surat-Surat Putri, yang dimuat di Jawa Pos Edisi Minggu.
Hingga kini masih kusimpan dan sempat kucopy lalu kusebarkan pada
teman-temanku. Surat-Surat Putri mengisahkan seorang perempuan feminin
bernama Putri, puteri seorang birokrat, yang mempunyai pacar seorang
aktifis pergerakan mahasiswa 98, Adit. Di satu sisi hati kecilnya ingin
merasakan laiknya pemuda sebayanya yang maklumnya asyik berhaha-hi hi bersama,
akan tetapi di sisi lain, sebuah idealisme mahasiswa menuntut untuk sekadar
merasakan bagaimana mirisnya kondisi bangsa yang sedang dalam pesakitan saat
itu. Atau dengan kata lain, konflik yang ditekankan dalam cerpen
itu, adalah bimbangnya Puteri berhadapan dengan sebuah pilihan antara hidup
idealis atau realistis. “Orang idealis akan terkoyak-koyak oleh idealismenya
sendiri, hardik mamanya menanggapi Puteri yang pacaran dengan orang idealis seperti
Adit.
Ratna adalah salah satu dari sekian perempuan-perempuan pilihan di belahan
Nusantara ini. Ratusan cerpen dan novel telah lahir darinya meski kondisi
fisiknya sangat tidak mendukung. Memang, sempat muncul rasa marah dengan
kondisinya saat itu. Akan tetapi berkat support dari ibunya bahwa Tuhan tidak
mungkin menciptakan sesuatu tanpa maksud baik, pasti ada kelebihan di balik apa
yang dialami saat ini. Semangat itulah yang selalu mengiringinya hingga ia
menemukan bakat dan minat lebih di bidang sastra. Untuk memperkokoh
keyakinannya itu, dalam sebuah kesempatan Ratna mempresentasikan dengan optimis
sebuah hukum fisika bahwa ketika salah satu sisi benda diberi atau mendapat
tekanan, ia akan memindahkan massanya ke sisi lain. Dan itulah yang terjadi
padanya. Bahwa tangan dan kakinya boleh lumpuh, tetapi ia masih punya telinga
dan daya ingat yang bisa digunakan sebagai mesin untuk berontak dari
ketidakberdayaannya. Dengan bermodalkan pendengaran dan daya ingat irulah ia
mengoptimalkannya untuk kemudian menyerap, mengingat, dan mengolah apa yang
didengarnya untuk menjadi sebuah karya tulis atu cerpen.
Dengan bantuan seorang asisten yang siap menjelmakan kata-kata yang
didektekannya, lahirlah cerpen-cerpen yang bermutu dan disambut hangat oleh
dunia sastra kita. Dus, tak muluk-muluk, Ratna dengan karya-karyanya dapat
disandingkan dengan Dee ( Dewi Lestari) atupun Ayu Utami, sama-sama penulis
namun memiliki nilai lebih dalam hal penampilan dan paras dibanding Ratna.
Menulis adalah panggilan hidup, barangkali itulah yang pantas untuk
disematkan kepada sosok Ratna Indraswari Ibrahim dan aktifitas menulisnya.
Panggilan itu, bukan saja berdampak nyata bagi dirinya sendiri akan tetapi juga
terhadap manusia-manusia di sekelilingnya. Cerpen –cerpen inspiratifnya,
mengundang para pembacanya untuk mendekati Ratna dan menekuni sosok serba
terbatas itu. Bahkan, Ratna kerapkali menjadi magnet bagi orang-orang untuk
sekadar curhat padanya dari hal-hal sepele sampai permasalahan yang rumit macam
apapun. Dan dari situ pulalah, lewat ketajaman pendengaran dan daya ingatnya,
ia kerapkali mendapatkan inspirasi untuk cerpen-cerpennya.
Rumahnya di Malang, sering menjadi tempat para mahasiswa untuk berdiskusi
dan mengadakan dialog-dialog ringan dengan ratna. Bahkan, di satu sisi
rumahnya, di bangun sebuah toko buku yang unik dan berbeda dengan took
buku lainnya yang bernama Tobuki, Toko Buku Kita. Di Tobuki, orang harus
melayani dirinya sendiri. Bayar dan ambil kembalian sendiri di tempat yang
telah disediakan.
Ratna Indraswari Ibrahim telah berpulang 27 Maret kemarin.
Barangkali, dunia sastra kita telah kehilangan lagi salah satu lakonnya.
Secara biologis, ia memang tidak meninggalkan keturunan. Akan tetapi bukan
berarti, sosok Ratna akan lenyap begitu saja. Tentu, bukan berarti, kita
mengharapkan sosok penulis atau orang kreatif sembari pakai kursi roda karena
lumpuh. Akan tetapi, kita hanya dituntut untuk sedikit bercermin; dengan
kondisi yang serba terbatas, dimana nalar normal mestinya mengamini bahwa hidup
Ratna telah berakhir karena tak ada yang bisa diharapkan dengan kondisi seperti
itu, akan tetapi itu terbantahkan oleh semangat yang selalu hidup yang justeru
melampaui manusia sekelilingnya dengan segala fasilitas yang bisa jadi serba
lebih.
Meski saya lumayan awam terkait kartini dan cita-citanya, tetapi saya
percaya perempuan seperti Ratna bisa mewakili sosok perempuan seperti yang
dicita-citakan Kartini. Bahkan kalau boleh optimis lebih jauh, bunda Kartini
tengah menyambutnya dengan tangan hangat di sana. Semat Jalan, Mbak Ratna!
Selamat Hari Kartini.
Bojonegoro, 2011
Posting Komentar