Lantung


LANTUNG

foto dari : rnbsfamily.blogspot.com
SELEPAS keciprat tegang pada ewesewesewes di MA Walisongo Sugihwaras semalaman (30/03/2014), paginya, bersama Aris Hidajat, Isma Uwug Uwug Uwug dan Maria Ko Jawa, saya menuju sungai itu.
Beberapa hari sebelumnya, saat beli bakso, saya mencomot selembar koran rubrik Wisata & Kuliner Jawa Pos Radar Bojonegoro tertanggal 28 Maret 2014. Dari sanalah saya tahu informasi tentang sungai itu. Sungai Lantung namanya, yang mengalir di sekitar desa Drenges dan Bareng Kecamatan Sugihwaras. Langsung saja, i'tikad untuk mampir ke sana di tengah agenda utama, ewesewesewes itu, saya tancapkan. Aris Hidajat mengamini itu dengan gairah 45. Isma uwug uwug uwug dan Maria Ko Jawa tak menolak diajak.
Lantung adalah sebutan untuk minyak bumi yang masih mentah. Beberapa sumber menyebut bahwa di sekitar sungai itu pernah dilakukan operasi pengeboran minyak, tapi tak berlangsung lama karena alat beratnya selalu rusak.
Itu adalah yang pertama kali saya ke sana meskipun di sepanjang perjalanan saya teringat peristiwa di sebuah malam, bahwa saya sudah pernah melewati jalan itu, bersama Danial Arifudin (salah satu guru membaca saya), tersesat sampai di jembatan di atas sungai itu. Malam itu saya menemani Danial yang 'sunyi' itu menghadiri sebuah ritual tarekat yang entah apa namanya.
Saya tidak ngapa-ngapain di sana. Saya hanya menikmati perjalanaan yang beberapa kali keliru; kelewat jauh, bingung antara sak dan sapi, menginjak tlethong, berjibaku di jalanan penuh gedibal, dan seterusnya dan seterusnya. Bergedibal itu terbayarkan ketika terdengar oleh telinga kami suara gemericik air di suatu tempat yang tak lagi jauh. Melewati kali kecil, tertutup semak dan curam perbukitan sawah, Kali Lantung dengan gemericik dan bebatuannya menunggu sudah. Duduk di bebatuan di tengah-tengah sungai, meskipun licin, sambil mendengarkan suara gemericik aliran air, saya seperti berada entah di mana. Bolehlah sesekali saya (atas nama Bojonegoro) merasa tidak percaya diri pada apa yang saya punya dan apa yang ada pada diri saya.
Memang, saya selalu nerveous bila berhadapan dengan beberapa kawan dari luar kota; Gresik, Surabaja, Semarang, Jepara, atau lainnya. Kepada mereka tak bisa saya ceritakan tentang sebuah tempat semenarik yang ada di kota-kota mereka. Semua mafhum tak ada apa-apa yang menerik di Bojonegoro. Tak apa! Buat apa marah dan balas dengan muka congkak bahwa itu adalah opini yang keliru. Biarlah gemericik air, semilir angin, aura hijau lumut-lumut yang menempel di bebatuan menyiram dada saya yang kerapkali panas oleh sebab tangan-tangan dan pikiran kotor saya maupun orang lain.
Di tengah ketiga kawan saya yang sedang menikmati suasana dengan jeprat-jepret, saya menyentuh gerak air dengan jemari saya. Ingin saya menyapa air, tersenyum pada angin, dan berdialog dengan bebatuan. Saya tak bisa. Sungguh tak bisa! Kadang saya berpikir, kepada mereka saya kerap memandang sebelah mata sebagai sama-sama makhluk Tuhan sehingga sama sekali saya tak mampu berdialog. Mereka waujud dalam sebuah siklus tanpa sepengetahuan saya; berkembang, tumbuh, berubah wujud, melepuh, menyublim, menguap, lalu punah dan hancur.
Orang Jepang kuno, seperti yang dikutip Pulo Coelho dalam By The River Piedra I Sat Down and Wapt, menyebut itu sebagai 'shibumi'. Ada sebuah makna agung dalam setiap benda sekecil dan sesederhana apapun itu di sekitar kita. Kepada benda-benda itu kerapkali orang tak mampu menangkap kehadirannya. Kita kerapkali merogoh kocek jutaan rupiah untuk pergi ke suatu tempat yang jauh-jauh untuk melepas penat dan menghabiskan waktu libur, sementara di belakang rumah kita gemericik air menunggu dengan keagungan, keindahan, dan kebesaran ciptaan Ilahi, untuk disapa. Seperti saya yang lupa akan kehadiran kawan-kawan yang yang selalu tersenyum pada saya itu. Oh, mereka memanggil saya untuk jeprat-jepret.
04 Maret 2014



Road to Kali Lantung

Bolehlah dimulai dari perempatan Balen, terus saja ke selatan. Jalan bisa dengan mudah dilewati karena sudah beraspal dan sebagian paving. Hingga pertigaan Sugihwaras-kurang lebih 500 meter dari pasar Sugihwaras, belok kiri (timur) hingga sampai di pertigaan pasar Bulu. Dari pasar Bulu belok ke selatan. Perjalanan mengikuti rute paving hingga tiba di sebuah jembatan layang, seratus meter setelahnya ada kuburan. Di timur kuburan ada pertigaan. Di sudut pertigaan ada papan petunjuk bertuliskan Wisata Kali Lantung. Ikuti arah panah itu sampai jalan berpaving habis. Selepas itu, dapat bertanya pada warga yang akan menjawabnya dengan ramah. Sungai Lantung tak jauh lagi.
Desa Drenges, di mana sungai itu mengalir, punya blog yang bisa dikunjungi. Ada keterangan singkat mengenai kali ini di sana. Monggo : http://desadrenges.blogspot.com/2013/02/wisata-kedunglantung.html

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates