Selamat Ulang Tahun, Thukul!

Oleh Lugiono*
kaskus.com
Namanya Wiji Thukul. Aslinya Wiji Widodo. Seorang seniman, katanya, karena bertubuh ceking, berambut kribo dan tak pernah mandi. Dia juga seorang jurnalis, meski tak lama. Seorang tukang sablon dan buruh tukang pelitur, untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dan seorang penyair, karena dia memang menulis puisi.

Pada tanggal yang sama dengan tanggal hari ini (26 Agustus), di tahun yang berbeda, 1963, dia lahir, di Solo. Catatan kecil ini hanya ingin ikut mengucapkan selamat pada orang yang tak pernah mati itu. Catatan ini tidak panjang, karena hanya sebuah ucapan selamat ulang tahun. Meski tanpa lilin dan kue.

Ya, Thukul memang tidak mati. Atau, lebih tepatnya, tidak ada yang tahu apakah dia sudah mati atau masih hidup. Karena dia hilang pada suatu ketika di sebuah rezim (1996). Hilang tanpa ada yang tahu ke mana. Atau kalau mau lebih serius lagi, dia memang tidak pernah mati. Alias abadi.

Maksudnya? Scripta Manent Verba Volant, orang bijak Yunani bilang begitu. Kurang lebih maksudnya begini; apa yang tertulis itu abadi dan yang (hanya)terucap akan menguap, hilang dan dilupakan. Ribuan tahun yang lalu, sebelum masehi, para filsuf menuliskan kata-kata meraka. Di zaman ini, yang kalau kita membayangkan mereka hidup di tengah kita bakal terasa aneh ini, mereka nyatanya masih diingat. Masih dikutip kata-katanya meski hanya sebuah jargon di sebuah spanduk di pinggir jalan. Mereka masih hidup. Sedangkan kakeknya kakek kita, kebanyakan kita tak tahu. Apalagi ingat. Mereka mati dalam artian sesungguhnya.

Wiji Thukul adalah salah satu orang yang percaya bahwa kata-kata punya kekuatan. Punya power yang lebih kuat dari serudukan badak atau bom. Kalau memakai bahasa Thukul sendiri; kata-kata adalah puluru! Eh, Thukul sendiri adalah peluru. Dan Thukul menuliskan kata-katanya. Menjadi puisi.
Aku Ingin Menjadi Peluru, begitu bunyi judul buku kumpulan puisi karyanya yang diterbitkan tanpa kehendak pengarangnya. Jadi, kata-kata Thukul adalah sebuah tembakan.
Pertanyaannya, benarkah sebegitu kuatkah kata-kata? Mengapa orang sampai gemetar, marah, takut, atau menagis gara-gara membaca sesobek pemberitaan di koran atau dua larik puisi di sebuah buku yang tak laku?

Entahlah. Toh pada banyak kasus, kata-kata bisa diabaikan begitu saja meski diucapkan bahkan sampai mulut berbusa. Tapi juga sebaliknya, kata-kata bisa diindahkan bahkan sebelum ia menjelma kata-kata.

Di belahan dunia yang lain, Federico Garcia Lorca, yang lahir 19 Agustus lalu, di tahun yang berbeda, yang ini tidak hilang, melainkan sampai meregang nyawa sebab kata-kata. Penyair yang gosipnya menjalin asmara dengan Salvador Dali sang legenda itu ditakuti juga karena kata-kata. Tiga butir peluru menembus dadanya. Peluru sungguhan. Peluru yang sepintas lalu lebih punya kuasa ketimbang peluru dalam pengertian Thukul.

Yah, begitulah. Setidaknya, orang baiknya percaya pada kekuatan kata-kata. Agar kata-kata tidak dikeluarkan dengan ngawur. Kata bijak Arab menyebutkan; Salaamatul Insaan Bi Hifdhil Lisaan. Kalau ingin selamat, ada baiknya orang mesti menjaga kata-katanya.

Sudah. Sampai di sini saja. Ada baiknya kita simak baris 'tembakan' Thukul berikut ini :
            apabila usul ditolak tanpa ditimbang
           suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
           dituduh subversif dan mengganggu keamanan
           maka hanya ada satu kata: lawan!
          (Peringatan, 1986)

Biasa saja ya? Karena, disadari atau tidak, toh semua sudah melawan. Entah dalam makna apa.
Oh, iya..., lupa. Selamat ulang tahun, Thukul!

26 Agustus 2015

*Pemuda biasa. Pembaca cerita silat. Tinggal di Desa Klampok, Bojonegoro

Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates