PEK NGGO


Oleh Mohamad Tohir

Bambang Sumantri Memilih Kawin

PAGI TADI, saya mengikuti prosesi nikah seorang kawan, Bambang Sumantri. Dia setahun lebih tua dari saya. Kami sering bersama dalam banyak hal. Saya sudah biasa seperti di rumah sendiri saat dolan ke rumahnya, dan juga sebaliknya.
Saat masih sekolah dulu, selepas masa baktinya sebagai ketua OSIS, saya adalah satu rekomendasi dia sebagai calon ketua OSIS dan akhirnya saya pun jadi ketua OSIS. Saya patut berterimaksih tentunya. Karena ketua OSIS punya akses ke luar lebih lebar, dari sinilah saya berkenalan dengan banyak hal. Saya berkenalan dengan bacaan selain kitab kuning adalah dari sini. Saya merancang rubrik Sebatas Menengok dan menulis apa saja yang ingin saya tulis di sana adalah ketika masa itu.
Pagi tadi dia menikah. Saya mengiring perjalanan kaki dari rumahnya ke rumah, yang perempuan yang jaraknya hanya sekitar seratusan langkah kaki. Kami melewati jalan berkerikil. Melewati terowongan pohonan bambu yang rimbun. Dan tanjakan tanah lembab yang lumut-lumutnya nampak lapuk. Beberapa hari belakangan, saya memang lumayan ikut riwa-riwi persiapan menikah dia, sambil seperti merasa dia akan pergi entah kemana... Mengiring seorang kawan menikah, rasanya seperti turut melemparkan dia ke subuah dunia antah berantah dan ada sedikit rasa haru dan khawatir bahwa ini adalah momen terakhir sebuah pertemuan... Sepanjang perjalanan kaki, pikiran saya seperti terlontar pada sebuah ruang berbentuk persegi empat dan ada gambar saya dan seorang perempuan yang wajahnya gelap dan tiga anak lelaki yang cerewet-cerewet...
AH, Bambang Sumantri. Saya menyapa dia dengan sebut Tri (comotan dari Sumantri). Saya tak bisa memberikan apa-apa yang besar kecuali sebuah doa. Semoga padang dalanmu, Bambang Sumantri... Kuucapkan kata-kata itu.
Dia menikah dengan seorang perempuan yang juga sama-sama satu desa. Satu dusun juga. Satu RT. Lisan orang Jawa, menyebutnya peknggo. Singkatan dari ngepek tonggo; memiliki tetangga. Prosesi ijab kabul memakai bahasa Arab. Ijab diwakilkan oleh ayah si perempuan pada Kiai Miftah. Kiai Miftah ini adalah guru saya juga saat Aliyah dulu. Dia mengajari saya bagaimana membaca tulisan plungker-plungker tanpa harakat itu meskipun hingga sekarang saya belum kunjung bisa. Kiai Miftah membuat saya belajar mengakrabi seribu bait legendaris karya Ibnu Malik itu, Alfiyah, kanon Tata Bahasa Arab yang indah bukan main itu...
Mauidhah kawin oleh seorang gendut tua berjenggot lebat yang tak lain adalah kakek pengantin perempuan. Selain joke-joke dan gojlogan yang maut abis, ada tiga pesan yang dolontarkan ki jenggot itu kepada mempelai. Musyawarah, Sabar, dan ah, yang ketiga saya lupa (saya yakin Bambang Sumantri dan istrinya juga lupa). Kata-kata yang saya rekam dan masih ingat adalah : “janganlah menikah itu menjadi seperti yang ditampilkan di setan kotak....” Saya tertawa mendengar ki jenggot itu menyebut televisi dengan istilah itu...
Sepulang dari iring-iring itu, saya memandangi pematang sawah yang tiba-tiba terasa sepi sekali. Hanya tanah-tanah-dan tanah...

Mohamad Tohir
Catatan ini hanyalah dokumentasi. Tanpa peretensi dan tendensi apa-apa.



Posting Komentar

Páginas

 

Copyright © Sebatas Menengok | Powered by Blogger | Template by 54BLOGGER | Fixed by Free Blogger Templates