Oleh Mohamad Tohir
DI UJUNG 2008 lalu, saya
baru saja angkat kaki dari pesantren dan mencoba berkelana ke Pare, Kediri.
Kota Pare begitu berisik oleh pendatang dari berbagai penjuru. Di sana, seorang
imigran dari Sulawesi bernama Mr. Kalend (dia memperoleh Piala Citra tahun
ini), merintis kampung Inggris. Di warung, di serambi rumah, di bawah pohon
mangga, orang-orang bicara dengan bahasa Inggris.
Di
sana saya belajar bahasa Inggris dengan rutin selama 5 hari dalam seminggu,
Sabtu dan Minggu yang lodang saya gunakan bepergian ke hutan, Garuda Park,
kolam renang, goa-goa dan candi-candi. Saya menikmati petualangan di luar
rutinitas saya. Dan memang, bahwa ‘petualangan’ itulah tujuan saya sebenarnya,
lebih pasnya lagi petualangan spiritual. Saat itu saya masih terlalu muda untuk
bergelut dengan petualangan spiritual itu, sehingga belajar bahasa Inggris
menjadi modus. Di balik hutan, di balik berkilo-kilo jalan, dipisahkan oleh
Kali Brantas, di sanalah saya harus menclok, sebagai manifestasi
perjalanan saya.
Adalah
sebuah candi bernama Tegowangi, masih masuk Kecamatan Pare. Di sekitar candi
ini ada sebuah surau kecil yang dijaga seorang lelaki tua bernama Nur. Saya
memanggilnya Mbah Nur. Saya akrab dengan beliau meskipun sekarang terputus
komunikasi. Kami biasa makan bareng, nasi liwet berlaukkan bumbu pecel yang
habis dirubung semut dengan sayur daun kenikir (kembang telek-telekan). Mbah
Nur ini adalah pengikut tarekat Syathariah. Saya mengenalnya dari seorang putra
guru mursyid tarekat Syathariyah, Dhoharul Arifin. Saya masih ingat, saat itu
saya berjalan kaki dari terminal Kertosono, melewati Baron, hingga Tanjunganom.
Di Tanjunganom inilah berpusat Pondok Sufi, kantor pusat tarekat Syatariyah.
Sering juga disebut POMOSDA (Pondok Modern Sumber Daya at-Takwa). Sepanjang
perjalanan, saya mengompori diri sendiri dengan kata-kata yang juga saya tulis
di buku harian saya; “Siapa yang mendatangi Tuhan dengan berjalan, Maka
Tuhan akan menyambutnya dengan berlari.” Mantra itu cukup ampuh untuk
membuat saya tak merasakan lelah berjalan kaki sejauh 15km.
Sampai
di Tanjunganom, saya bertemu dengan Dhoharul Arifin itu, karena Sang Guru (KH.
Munawwar Afandi) sedang tidak enak badan. Dhoharul Arifin menyambut saya dengan
hangat dan mengatakan bahwa saya harus prosedural kalau mau masuk dalam
komunitasnya, syathoriyah. Saya harus mesuk melalui cabang atau ranting di
kabupaten atau kota terdekat dimana saya tinggal. Dia memberitahu saya alamat
itu; Tegowangi. Dari situ tersambunglahsilaturrahmi saya dengan Mbah Nur.
Sekarang
saya sedang teringat dengan beliau. Saya tak lagi tahu kabarnya, sama sekali,
sejak saya hengkang dari Pare. Apalagi, dengan kondisi saya yang menjadi
pengkhianat komunitas Syathariyah. Saya tak lagi aktif sejak saya merasa bosan
dan malas dengan diri sendiri yang selalu merasa benar sendiri. Saya tak lagi
bisa menjadi orang patuh, satu hal yang menjadi prasyarat orang memasuki dunia
tarekat. Saya mengantuk ketika forum yang hanya berjalan sepihak dalam
komunikasi. Saya hengkang dengan sendirinya ketika merasa bahwa ruang untuk
dialog serasa tidak ada.
Apa
yang dipertanyakan Mbah Nur dulu benar. Saat itu saya ditanya apakah akan
sungguh-sungguh menjaga komitmen- istiqomah saya dalam menapaki jalan Tuhan
ini? Saya menjawab bahwa saya sungguh-sungguh. Pada akhirnya itu hanya bualan
seorang pemuda bernama mohamad tohir belaka. Saya bukan orang pilihan.
Rasa-rasanya, neraka menunggu saya.
Maaf,
Mbah Nur!
|K040720140032|
1 comment
Hem...luar biasa bung
Posting Komentar