BEBERAPA malam
yang lalu, di sela obrolan saat ngopi, meski saya pesannya bukan kopi melainkan
es teh, dia bertanya pada saya tentang pentingnya buku atau membaca.
Saya kaget karena tiba-tiba sadar bahwa saya belum pernah ditanya
seperti itu dan saya sungguh mampus karena tidak bisa menjawab (rasa-rasanya
saya juga tidak pernah menjawab pertanyaan. Pertanyaan selalu saya lawan dengan
pertanyaan biasanya). Saya yakin dia lumayan asing pada buku dan menganggap
membaca hanya urusan orang sekolahan, kuliahan, orang-orang pintar dst.
“Apakah sebab buku orang jadi benar-benar pintar dan baik?” lanjut dia.
Saya masih diam (memangnya kapan saya tidak diam?). Saya mengumpulkan bahan
untuk mencari alasan. Alasan, ya, alasanlah yang saya butuhkan. Karena yang
menjadi sasaran pertanyaan itu adalah saya, bukan orang pada umumnya.
“Yang penting adalah perbuatan. Tidak ada ukuran lain untuk menilai
seseorang,” lanjut dia. Kata-kata ini seolah menyatakan bahwa buku dan membaca
tidak punya tempat apapun. Dan dia hendak menilai perbuatan saya. Saya merasa
seperti orang goblok dan bandit di depannya.
Saya malah melamun. Saya teringat buku-buku saya di rumah yang
berserakan di meja, kasur, lantai, sajadah, lemari, dll. Saya jadi geli dengan
ocehan-ocehan sok tahu saya saat di hadapan seorang dua orang tentang betapa
bagusnya buku ini atau itu sampai-sampai mereka terpaksa mencari dan
membacanya.
“Entahlah. Saya hanya merasa ada yang kurang kalau sehari tidak menyentuh,
melihat, dan membaca buku,” akhirnya kata-katapun keluar. Menjengkelkan sekali.
Cuma begitu. Saya pisuhi diri saya sendiri.
Dia tersenyum. Saya tahu dia hanya menguji saja dan baginya saya tak
lulus. Kelas membaca saya masih kroco. Karena baru sekadar “hanya”…
“Saya tahu betapa menderitanya dirimu. Saya pernah merasakan susahnya
meninggalkan minum-minum. Saya tahu bahwa itu tak ada untungnya. Tapi susahnya
setengah mati untuk meninggalkan. Sehari tanpa melihat dan menyentuh botol
minuman rasanya hidup ini ada yang kurang. Saya jadi pemurung, bokek terus, jomblo,
tak pernah salat, dan tukang tidur gara-gara minum. Dan saya tak bisa
menjelaskan mengapa saya demikian. Kurang lebih begitu ya apa yang kau alami?”
“Yaa, begitulah. Buku memang hanya membuat saya mendem.” Malam makin malam
dan kamipun kami berpisah. Hingga subuh, saya tak bisa tidur semantara tanganku
membolak-balik halaman sejilid buku berbau harum kertas tua.
NB : Saya sedang membaca Komik Tin-Tin karya Herge yang segede kardus Ale-Ale.
Bonus foto Milo (nama pada terbitan Elexmedia. Pada INDIRA namanya Snowy): http://images6.fanpop.com/image/photos/32200000/Tintin-GIF-tintin-comic-book-club-32269408-400-400.gif
Posting Komentar