Oleh
: Mohamad Tohir
Nicholas Saputra (sebagai Gie) baca buku. |
KALAU menyadari bahwa aku memiliki
koleksi sekitar 200-300an buku, aku merasa luar biasa sekali. Belum tentu
seorang dosen di Bojonegoro ini punya koleksi sebanyak punyaku. Tidak menggenalisir
sih. Beberapa minggu yang lalu aku ketemu seorang dosen yang mengaku punya tak
lebih dari 2o buku di raknya, Itupun kebanyakan buku-buku praktis yang how to how to itu. Dia menyebutkan
sebuah novel miliknya yang dia suka tapi lupa judulnya. Kutebak judulnya
setelah dia cerita sekilas mengenai garis besar isi buku itu yang ternyata
benar. Buku itu adalah Tuhan Ijinkan Aku menjadi
Pelacur karya Muhidin M. Dahlan.
Tapi menyadari bahwa buku-buku yang
kupunyai itu ternyata tidak membuatku berkembang lebih baik, rasanya
menyedihkan sekali. Dari aku membeli buku pertama di tahun 2007an lalu hingga
sekarang, aku masih begini-begini saja.
Aku juga menyadari bahwa dari sekian
buku-buku itu, hanya segelintir saja yang kubaca tuntas dan benar-benar serius.
Kebanyakan buku-buku yang kubeli adalah yang menurut para pesohor bagus dan recommended
yang aku langsung percaya begitu saja. Kucatat dalam ingatan dan begitu ada
kesempatan uang dan waktu aku langsung beli. Sepertinya buku telah menjadi
berhala bagiku.
Rasanya aku malu sekali. Di belahan dunia
sana, bertahun-tahun yang lalu, Frans Kafka bilang : “BUKU HARUS MENJADI KAPAK”. Kapak di desaku disebut perkul atau
pecok.
Sekilas
Info :
Aku sedang membaca ulang Norwegian Wood karya haruki Murakami.
Tokoh utama buku ini, Toru Watanabe, membaca berulang – ulang hingga lima kali
buku karya F. Scott Fitszgerald The Great
Gatsby tanpa sedikitpun bosan. Rasa seperti itulah yang kurasakan saat
mengulang Norwegian Wood.
Posting Komentar