MOHAMAD TOH
AKU punya seorang kawan bernama Tulus. Tulus ini, entah mengapa, mengingatkanku
pada Ajay Devgan, aktor India itu. Bukan tentang sifat atau sikap atau
kepribadian tentunya, karena aku tak pernah kenal langsung dengan Devgan selain
adalah suami Kajool. Juga dengan Tulus yang aku hanya mengamati dari tawa,
kata-kata, dan langkah kakinya yang bisa saja palsu sepertiku. Hanya karena
kemiripan. Karena, sepintas lalu, mata mereka mirip. Perhatikan saja kedua mata
ini :
Aku menyukai film
India. Saat duduk di MI dulu, sepulang sekolah film India adalah film wajib.
Film India diputar habis-habisan setiap hari oleh RCTI atau TPI saat itu,
seakan-akan sudah kehabisan stok film Indonesia. Saat itu aku hanya suka
bintang-bintang laki-lakinya; Govinda, Salman Khan, dan Jackies Roof. Ajay Devgan
tidak begitu. Film Ajay Devgan yang aku tonton saat itu adalah Dil Kya Karee,
tentang konflik suami istri dan cinta pada anak.
Beranjak tua, aku
menyukai yang perempuan. Aku kenal Kareena Kapoor dan jatuh cinta dan teringat
terus bibirnya yang oh! Preity Zinta dengan senyumnya yang aucgh! Aku suka
Katrina Kaif yang lembut dan meluluhlantakkan sisi bengalku sebagai lelaki.
Maka, kemudian, film
India bukanlah sekadar film India. Dalam bahasa Mahfud Ikhwan, film India adalah
perlawanan. Dushman Duniya Ka; dengan film India, akau melawan dunia, katanya
dalam blog khusus kajian India yang dikelola dia.
Kembali ke Tulus. Dia membuatku teringat pada Ajay Devgan. Aku baru sadar dia jarang sekali muncul di seputaran film-film India yang moncer itu. Maka aku segera mencari-cari informasi mengenai kabar dia. Dan sekarang, aku
menjadi suka Ajay Devgan. Rasanya, dia aku lupakan dari sekian deret bintang
film India. Dia jarang tampil gemerlap memang, seperti Sahrukh Khan, Salman
Khan, Amiir Khan, Hrithik Roshan, dan sederet nama lainnya. Film yang
dibintangi Devgan kerap bukan film konvensional. Dia pernah membintangi The Legend of Bhagat
Singh. Bhagat Singh adalah tokoh legendaris India. Dia adalah tokoh
revolusi dan kemerdekaan India yang jarang diperhatikan dibanding Gandhi. Dia
tidak kompromis seperti Gandhi. Dia agak bengal. Dia hampir seperti Tan Malaka kalau di Indonesia.
Devgan juga main
dalam film berjudul Lajja.
Film ini diangkat dari novel karya Taslima Nasrin. Aku pernah membaca novel
ini. Tentang masa-masa genting antara Pakistan dan Bengali. Pendudukan masjid.
Sebuah rekaman dan interpretasi atas tragedi kamanusiaan yang perih dan
benturan agama yang miris. Di sampul belakang buku itu ditulis begini : Cukuplah agama berubah nama menjadi kemanusiaan. Penulisnya, konon, dicap sebagai Salman Rushdie betina! Tragedi Ayat-Ayat Setan terulang padanya. Buku itu diterbitkan oleh
LKiS, aku ‘temu’kan di tahun 2009an lalu. Sayang aku tak tuntas membaca.
Tanggal 10 kemarin,
Tulus ulang tahun. Aku memberi dia hadiah sebuah kaset film India. Dengan
aktornya Ajay Devgan. Bukan muluk-muluk. Aku tak tak tahu apa yang dia suka.
Dan memberi tidak harus mempertimbangakan yang kita beri itu suka atau tidak
bukan?
Semoga dia jadi
seperti Ajay Devgan? Oh, jangan! Terlalu dong! Itu kelewatan. Mending aku
sendiri kalau begitu (kok nampaknya tidak tulus begini ya?).
Lalu? Hanya selipan
doa. Doa agar dia bahagia dan sengsara sekaligus. Sebab apa arti bahagia tanpa
merasakan sengsara?
Salam dari sudut
gelap kegoblokan, Tulusno...
Bojonegoro, 11
Desember 2014
1 comment
ini mengulas tentang tulus atau ajay defgan sih?
Posting Komentar