Mohamad Tohir
Lelaki itu
sedang melamun di bawah pohon saat seorang
serdadu Belanda berlari melintasinya.
I
DI BAWAHNYA, setelah melewati tebing, adalah sungai terpanjang se-Jawa, Bengawan Solo.
Belanda itu tergopoh-gopoh dan langsung jongkok begitu sampai di bawah, pada
pasir tepian bengawan.
Lamunannya
buyar. Ia amati si Belanda. Sering ia bertanya-tanya, pada dirinya sendiri, apa
sebenarnya makanan orang Belanda kok bisa galaknya minta ampun itu dan apakah
mereka juga berak seperti dirinya?
Dia
bisa mendengar suara kentut dari bawah sana.
Saat kembali naik, Belanda itu bicara
entah apa padanya. Dia sama sekali tak paham.
“Maman,”
katanya. Barangkali menanyakan namanya, pikir Maman. Tapi si Belanda tambah
berang. Mungkin dia marah karena dilihat saat berak. Maman mantuk-mantuk.
Tapi Belanda itu malah meludahi
dadanya lalu pergi dan bergabung dengan kawan-kawannya. Maman ingin marah, tapi Belanda itu bawa
bedil. Mereka puluhan jumlahnya, beberapa di antaranya berkuda, menuju ke arah
selatan.
Maman melihat kuda mereka lalu melirik ke
semak-semak beberapa langkah di kirinya. Ada pohon di sana dan kudanya ia
kekangkan di batang pohon itu. Semak-semak menghalangi pandangan siapapun.
Kalau saja Belanda-Belanda itu tahu, bisa-bisa mereka rampas. Ia duduk kembali,
menyandarkan kepalanya di batang pohon, melanjutkan lamunannya.
Dia sedang melamunkan perempuan desa
sebelah. Shinto namanya. Ia putri terakhir seorang tumenggung di desa itu. Ia
sering menemuinya di pasar. Seminggu yang lalu mereka jalan-jalan di gisik
sungai. Shinto pintar sekali bercerita. Sore itu dia bicara tentang pahlawan.
“Jadi, Diponegoro adalah pahlawan.”
“Apa itu pahlawan?” Maman bertanya.
Shinto diam saja. Dia belum pernah
mendengar apa arti pahlawan. Tapi ia tahu siapa
itu pahlawan. Ia tahu bahwa Diponegoro adalah pahlawan.
“Aku tak tahu. Tapi pahlawan selalu
berperang melawan Belanda.”
“Juga pasti bisa naik kuda.”
“Belum tentu. Bapakku pintar berkuda. Tapi dia pemalas dan teman Belanda.”
“Berarti kau juga teman Belanda.”
“Bukan. Aku tak suka Bapakku!”
Supaya
tidak bingung, perlu dijelaskan bahwa sebenarnya Shinto berbohong. Bapaknya
bukan teman Belanda, bahkan musuh Belanda. Dia hanya kesal karena kehendaknya
untuk ikut melawan Belanda seperti bapaknya tidak disambut baik karena ia
perempuan. Begitu.
Lalu mereka bicara tentang kuda. Shinto
juga juga bisa naik kuda. Sejak umur tiga tahun ia sudah diajak keliling
kabupaten naik kuda oleh bapaknya. Orang-orang membungkuk saat dia lewat
bersama kuda. Maman hanya mengandai-andai
alangkah hebatnya bisa membuat orang-orang menunduk padanya.
“Kau harus bisa naik kuda.”
“Tapi aku tak punya kuda.”
Shinto diam dan berpikir.
“Pakai saja kudaku!”
Dipinjamkannya kuda itu pada Maman.
Seminggu lagi dia harus bisa naik kuda untuk menjemput Shinto. Mereke berencana
minggat.
Mereka
memang tampak klop, tapi sebenarnya tidak. Shinto hanya mempermainkan Maman.
Maman harus gagal datang padanya dengan naik kuda.
Maman bangkit hendak pulang. Tapi dia
kaget sekali saat mendapati tak ada apa-apa di pohon tempat kudanya dikekang
tadi. Ia turuti bekas-bekasnya di tanah berpasir hingga ke jalan. Di sana
banyak sekali bekas tapak kaki kuda. Rombongan tadi pasti pencurinya.
Maman bingung sekali. Dia tak punya uang
untuk mengganti kuda milik Shinto. Dan kalau kuda itu tak dia temukan tentu
saja ia tak jadi minggat. Masih tersisa waktu tiga hari yang semestinya dia
buat berlatih kuda.
Maman sedih sekali. Orang di kampung
melihatnya berjalan gontai. Tadi pagi dia engkek sekali berkuda di depan
mereka. Mereka semua kagum.
II
Malamnya ia tak bisa tidur. Ia ikut
berkumpul di pos ronda di pintu masuk kampung.
Dia minum wedang kopi di sana bersama beberapa warga. Dia yang paling
muda.
Belum lama betul, seorang warga berlari
ke arah mereka dari luar kampung. Nafasnya mengkos-mengkos. Seperti ada sesuatu
yang penting yang ingin disampaikannya. Apa ada penyerangan lagi. Semua panik,
tapi orang itu tak kunjung bicara.
“Hoh, hoh, hoh, Raden Tumenggung akan ke sini,” katanya.
Maman kaget sekali. Mungkin dia yang
dicari. Tumenggung pasti tahu kudanya hilang dan diberikan padanya oleh
putrinya dan sekarang kuda itu hilang.
“Tumenggung siapa?”
“Anu, Sosrodilogo. Pejuang dari Rajekwesi!”
Sosrodilogo sedang dalam pengejaran oleh
ratusan pasukan Belanda. Sosrodilogo harus diamankan. Dia sedang dalam
penantian menunggu bantuan pasukan dari Jawa Tengah, dari Pangeran Diponegoro. Nampaknya Belanda
mendengar dan kebetulan bertemu di tengah
jalan lalu memburunya. Yang lainnya akan mengecoh biar mereka yang diburu.
Tumenggung biar sembunyi dulu. Di rumah siapa Tumenggung harus istirahat?
“Istriku pasti ketakutan.”
“Rumahku jelek.”
Maman lega, ternyata bukan bapaknya Shinto.
“Di rumahku saja,” Maman usul.
Semua memandangnya. Semua sebenarnya
takut ada apa-apa di kampungnya.
“Kau punya apa di rumah untuk makan
malam tumenggung.”
Maman tak punya apa-apa.
“Minum wedang saja kau datang ke sini.”
Maman tersinggung. Mereka terdiam saat
seorang berkuda muncul dari balik kegelapan di depan gerbang kampung.
Sosrodilogo bersedia menginap di rumah Maman.
Dia turun dari kuda dan Maman langsung meraih tali kekangnya dan saat itulah
dia kaget sekali bahwa ternyata itu
adalah kudanya yang hilang tadi siang.
Maman ingin protes atau sekadar bertanya
tapi tak berani.
Dan malam itu Tumenggung Sosrodilogo
menginap di rumah Maman. Maman sendirian saja di rumah. Bapak dan maknya telah
mati limatahun yang lalu. Dia senang sekali mendapat tamu. Apalagi tamunya
adalah seorang pahlawan. Dipandanginya selalu wajah Sosrodilogo dengan mata
yang berbinar-binar sambil sesekali menyeruput wedang kopi yang dibawanya dari
pos ronda tadi. Sosrodilogo, namanya bagus sekali seperti nama raja, pikir Maman.
Maman
mendengar lelaki sangar itu bercerita tentang negara yang telah tercabik-cabik
lalu bangkit lagi lalu tercabik-cabik lagi lalu bangkit lagi tercabik-cabik
lagi lalu bangkit lagi.
”Itulah
negerimu, anak muda!”
Maman
bingung sekali. Ia tak pernah berpikir
tentang negeri-negeri.
Sosrodilogo bercerita tentang Pangeran Diponegoro.
“Apa kau sering bertemu Pangeran Diponegoro?”
Maman teringat Shinto yang
mengenalkannya dengan nama Diponegoro. Ah, dua hari lagi dia harus bisa naik kuda dengan baik dan
menjemput Shinto lalu minggat.
Kuda itu hilang dan sekarang ia tahu siapa yang mengambil. Ternyata seorang
pahlawan. Dia bingung apakah harus memintanya kembali atau tidak tapi apa yang
harus dikatakannya pada Shinto?
Shinto
tak akan marah karena pencuri kudanya adalah seorang pahlawan yang berperang
melawan Belanda, pikir Maman. Kalau perlu dia harus ikut bersama Sosrodilogo.
Tapi dia takut perang. Dia membayangkan dirinya berkuda dan membabat kepala
seorang prajurit Belanda dengan pedang. Ia benci sekali Belanda. Mereka bicara
ngawur dan gemar meludah. Rokok mereka besar-besar dan bau nafasnya membuat
orang semaput. Tapi ia takut. Ia takut melihat darah muncrat dari potongan
leher dan kepala. Dia pasti semaput melihatnya.
“Sebaiknya
kita bicara yang lain saja. Perjuangan bukan untuk diceritakan. Kebanyakan kita
masih takut dengan kata perjuangan.”
Maman
merasa ucapan itu ditujukan padanya.
“Aku
tidak takut,” sahutnya tangkas. Ia sendiri heran mengapa ketakutannya hilang
sama sekali. Tetapi ketakutan itu muncul lagi sesaat setelah bicara.
“Sudahlah.
Kau punya rokok?”
Maman
tak menjawab tapi langsung lari keluar rumah, menuju pos ronda dan kembali
bersama kotak kayu berisi tembakau dan klobot jagung.
Mereka
merokok bersama-sama dan itu adalah kali pertama Maman mengisap rokok. Saat
kecil dulu, ia sering berpikir tentang neraka yang menakutkan dan panasnya
sejuta kali panas di dunia. Ia tak bisa membayangkan betapa panasnya. Kepala
kanak-kanaknya hanya mampu membayangkan panas neraka adalah sepanas bara ujung rokok.
Lagipula tembungnya hampir sama,
rokok-nerokok. Dan sekarang ia telah mengisap asap neraka. Rasanya seperti
menjadi seorang pejuang! Tapi mengapa orang musti perang.
“Perang
belum selesai, anak muda!” Maman terperanjat. Lelaki di sampingnya tahu saja
isi kepalanya.
“Mengapa
mesti perang, Tumenggung?” Maman mengelus dada. Lega sekali bisa melepaskan
uneg-unegnya.
“Ha
ha ha ha ha ha….!”
Sosrodilogo
tertawa panjang. Maman jengkel, ia ditertawakan. Ia malu, mengapa menjadi orang
goblok. Tapi ia senang bisa membuat seorang pejuang tertawa. Betapa
mengerikannya hidup dalam perang dan saling bunuh. Kepala putus, darah muncrat
dari dada yang lubang, darah menyembur dari leher dan mulut, hiiii…!! Maka
tertawa adalah rahmat yang tiada terkira besar dan indah.
“Kau
pasti takut, anak muda. Jangan perang kalau takut!”
Siapa yang mau perang? Jawabnya dalam
hati. Tapi tunggu sampai saya bisa naik kuda. Naik kuda menghapus rasa takut,
yakin Maman.
“Siapapun
adalah penakut,” lanjut Sosrodilogo, “Saya juga. Tapi ketakutan itu hilang
begitu saya ada di atas kuda.”
Maman
kaget lagi. Perasaan bahwa ia goblok semakin meningkat berada di samping
pejuang itu. Tapi mengapa sang pejuang mencuri kudanya?
“Ajari
saya naik kuda!” Pintanya setengah hati. Ia merasa bersalah karena itu demi
Sinto. Ia ingin membuat Sinto terkesan. Seperti Sosrodilogo yang juga ingin
membuat rakyat banyak terkesan dengan perjuangannya.
“Naik
kuda bukan untuk gagah-gagahan!”
Maman
merasa semakin tergencet tapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara lari kaki
kuda yang semakin mendekat dan tiba-tiba ia sudah ditarik tangannya dan
dilempar di atas kuda. Ia tak sempat mengaduh, kuda telah membawa tubuh mereka
berdua menembus kegelapan ujung malam.
Dari
jauh mereka melihat api menyala di rumah Maman. Maman ingin menangis. Ia
semakin benci pada Belanda. Pagi tadi ia diludahi. Malamnya rumahnya dibakar.
Ia menyesal telah menyembunyikan Sosrodilogo. Tapi ia juga senang bisa bersama
seorang pejuang. Ia ingin mencabut keris di balik ikat pinggang sang pejuang
dan mencukil bola mata dan memotong kelamin para tentara Belanda itu.
Dilihatnya
wajah Sosrodilogo yang tenang sekali. Perang tak harus ngotot dan kebrangas,
pikirnya menyimpulkan.
III
Mereka
istirahat di tepi sungai, mandi dan makan ikan dari sana hingga malam tiba kembali.
Di keheningan malam dan was-was penuh waspada, bala bantuan dari Pangeran
Diponegoro datang. Mereka empatpuluh jumlahnya, berkuda semua.
Maman
meringkuk di bawah pohon, membiarkan para pejuang duduk melingkar di tengah
nyala api, menyusun rencana esok hari. Dia tak bisa menahan kantuk. Ia ingin
tidur dan memimpikan Shinto. Sekarang ia sudah sampai di batas melarat paling
ujung. Ia tak punya apa-apa lagi. Rumahnya telah musnah dibakar Belanda.
Diejanya
dengan pelan nama Shinto. Nyaring dan lembut sekali, oh! Maman lelap memimpikan
Shinto, semoga!
Para
pejuang akan menuju ke selatan pagi buta melewati tengah hutan di sepanjang
Bengawan Solo, menuju Rajekwesi, kediaman Sosrodilogo yang ditinggalkan.
Orang-orang di sana banyak yang diancam dan disiksa semenjak kepergiannya untuk
bergabung dengan gerakan Diponegoro di Jawa Tengah. Sosrodilogo merasa bersalah
meninggalkan mereka dan ingin membalas perasaan itu dengan semangat membara
menyulut perlawanan orang-orang pada Belanda.
Perlu
dijelaskan juga sepertinya, supaya yang belum mengikuti sejarah bisa menikmati
cerita. Cerita ini terjadi di masa-masa sebelum lahir nama Bojonegoro.
Rajekwesi itu namanya. Kejadiannya persis ketika terjadi pergolakan Pangeran
Diponegoro yang membuat imperialis Belanda kocar-kacir di Pulau Jawa. Di
kawasan Rajekwesi, pergolakan juga mencuat yang dipimpin oleh Tumenggung
Sosrodilogo itu, orang dekat Diponegoro sendiri.
Belanda
sedang kalangkabut dimana-mana. Orang-orang Diponegoro bergerak bak melawan
begejil paling laknat dunia akhirat. Begitu melihat Belanda, orang-orang
seperti melihat sabab musabab diri mereka terusir dari dunia mereka.
Tiba-tiba
Maman bangun. Ia langsung berdiri dan berteriak-teriak.
“Keris,
mana keris? Keris, mana, goblok!” katanya meraung-raung.
Sosrodilogo
mendekat dan menyiram kepalanya dengan air kelapa. Maman gelagapan.
Rupanya
dia ngelindur. Bukannya bertemu Shinto dalam mimpi, dia malah bertemu
Diponegoro dan masuk barisan perangnya. Ia diberi kuda dan keris sakti
mandraguna yang bisa menyentrongkan kekuatan dahsyat. Ia bertemu dengan lelaki
Belanda yang pernah meludahinya lalu. Tapi saat ingin mencukil mata si Belanda
dengan keris pemberian Diponegoro, tiba-tiba kudanya roboh kena bedil dan
kerisnya jatuh. Dan dia bangun. Bangun dari tidur maksudnya!
“Bagaimana
wajah Pangeran?” salah satu pejuang bertanya. Ia tahu Maman belum pernah
melihat Diponegoro.
Maman
diam.
“Didepan
sekali tuan menanti. Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan,
keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati,”[1]
katanya tiba-tiba.
Orang-orang
tertawa.
IV
Sebelum
berangkat, mereka menyantap bader bakar dan air kelapa sampai puas. Mereka berangkat
saat pagi masih belum sepenuhnya terjaga. Maman taklagi memikirkan soal
kudanya. Shinto pasti lebih bangga kalau tahu dirinya menjadi pejuang bersama
Diponegoro. Ia akan ceritakan semua tentang Sosrodilogo yang adalah pengikut
setia perjuangan Diponegoro.
Pertempuran
meletus sebelum mereka masuk gerbang samping kota Rajekwesi. Benteng-benteng
pertahanan telah dibangun kokoh dimana-mana. Mereka diberondong peluru dan
peledak-peledak besar. Mereka terus melawan, melemparkan benda-benda tajam,
tombak dan panah. Nyali Maman kempis seketika. Ia bersembunyi di balik pohon
besar, menutupi tubuhnya dengan ranting-ranting dan dedaunan. Saat ledakan
terdengar, dia teriak dan mengaduh. Sosrodilogo geregetan dengan pemuda itu.
Ingin ditendangnya Maman, tapi ia teringat malam itu. Maman telah menyambutnya
dengan senang hati dan rela rumahnya terbakar.
Diberikannya
kudanya pada Maman. Disuruhnya pergi saja lelaki yang belum tatag berperang
itu.
Maman
menangis. Ia merasa bersalah sekali. Ia benci sekali mengapa takut perang. Ia
tak tahu mengapa. Ia minta maaf. Sosrodilogo tersenyum sambil menghunus keris. Maman
masih menangis. Ia ingin ditusuk saja kepalanya dengan keris di tangan
Sosrodilogo. Sosrodilogo gemas sekali dan tertawa.
Maman
pulang dengan kuda pemberian Sosrodilogo yang sebenarnya adalah kudanya. Akan
diceritakannya pada Shinto bahwa ia ikut bertempur bersama pejuang Diponegoro
tapi ia ragu. Ia tak melakukan apa-apa malah mundur pulang dengan belas kasihan
sang pejuang. Dia hanya merasa sok kenal saja. Tidak! Ia akan diam saja.
Ia
segera menemui Shinto di pasar.
“Katanya
kudaku kau hilangkan?” Tanya Shinto sambil memperhatikan kudanya.
Maman
hanya tersenyum nyengir tanpa curiga bahwa hilangnya kuda sebenarnya adalah
ulah Shinto.[2]
Mereka
minggat ke utara hingga jauh sekali dan membuat rumah di pinggir jalan. Ia membuat
warung kopi di depan rumah. Kalau serdadu Belanda yang marung, ia ludahi wedang kopinya sebelum disuguhkan. Sesekali
prajurit Rajekwesi mampir. Ia menggratisinya dan meminta prajurit itu bercerita
tentang Sosrodilogo. Rajekwesi telah berhasil diduduki Sosrodilogo. Ia menjadi
bupati yang disegani di sana. Belanda dan orang-orang yang mendukung tersingkir
jauh dari Rajekwesi.
Maman
menyesal sekali mengapa ia ketakutan bukan main saat itu.
Panglima Polim
Nomor 24, Oktober 2013
[1] Kutipan sajak Diponegoro, karya Chairil Anwar
[2] Suatu siang, Shinto mencuri kudanya yang diikatkan
oleh Maman pada sebuah pohon. Maman saat itu sedang melamun jadi tidak
mengetahuinya. Shinto memberikan kuda itu pada Tumenggung Sosrodilogo yang
sebenarnya adalah bapaknya sendiri. Dan tentu saja cerita ini hanyalah fakta
yang berbaur dengan fiksi.
Posting Komentar